Mari Namai Emosi

Beberapa minggu yang lalu di awal Easter Holiday, saya bersama keluarga-keluarga Indonesia yang ada di Birmingham berwisata ke Wales. Perjalanan yang ditempuh dari Birmingham hingga sampai ke tempat tujuan cukup jauh dan berliku. Yah, mirip-mirip jalan di Puncak lah. Kami mengendarai bus dan masing-masing keluarga kemudian sibuk dengan obrolan masing-masing. Kebetulan, saya dan suami duduk di depan bangku paling belakang yang berisi sebuah keluarga. Saat itu, saya mendengar sebuah percakapan menarik.

Pemandangan sepanjang perjalanan memang sangat indah. Kami melewati banyak pertanian-pertanian kecil. Anak perempuan yang duduk dibelakang kami asik bernyanyi sambil sesekali mengobrol dengan ibunya. Di salah satu kesempatan, ia sempat berkata “I am happy, mom”. Saya bahagia. Lucu rasanya mendengar seorang anak dapat dengan begitu mudahnya mengelaborasi perasaan dalam ucapan dan tindakannya. Ia menamai emosi yang ia rasakan dengan ‘bahagia’ dan mengekspresikannya dalam nyanyian sepanjang perjalanan.

Lalu seperti biasa, saya yang hobinya terbang ke angan-angan ini langsung berpikir… bisa ya, anak-anak ini menyebutkan nama emosi dengan tepat, sementara orang dewasa saja kadang-kadang kesulitan mengidentifikasi perasaannya. Saya jadi ingat, beberapa tahun yang lalu seorang kerabat saya meninggal dunia. Pada saat itu, anaknya yang masih kecil menangis tersedu-sedu. Semua orang kebingungan menghadapi sang anak dan meminta saya untuk ‘mendiamkan’ anak tersebut. Pertanyaan saya, kenapa harus didiamkan? Kalau saya berada di posisi anak tersebut, mungkin saya akan menangis lebih kencang. Tangisan itu adalah refleksi dari perasaannya, bukan? Apa tidak perlu kita mencoba mengerti lebih jauh mengenai perasaan si anak sebelum ‘memaksa’nya untuk berhenti menangis?

Understanding emotion is surely a difficult thing. Bagi orang-orang yang tidak terbiasa menghayati perasaan, mungkin setiap emosi yang ada langsung diekspresikan lalu kemudian hilang terganti oleh emosi lain atau dihiraukan sampai tidak terasa lagi. Betul kah? Saya mengalami sih, masa-masa saat saya secara impulsif mengekspresikan emosi saya tanpa paham apa sih yang sebetulnya saya rasakan atau tanpa tahu penyebab munculnya emosi tersebut. Sebagai orang Indonesia yang mungkin kebanyakan dididik untuk tidak menunjukkan emosi ekstrim, terutama ekstrim negatif, saya juga mengalami masa-masa saat saya terbiasa menghiraukan emosi saya hingga akhirnya menumpuk dan meledak. Pada akhirnya, saya tidak tahu apa yang saya rasakan dan tidak juga paham apa yang menyebabkan saya merasakan emosi tersebut. Indeed, saya menyadari bahwa kedua cara me-manage emosi tersebut tidak sehat. At least menurut persepsi saya.

Kenapa Za, tergoda menulis tentang hal ini? Karena pada akhirnya saya menyadari bahwa emosi adalah bagian dari hidup manusia yang harus juga loh diberi perhatian. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat untuk menghiraukan atau melebih-lebihkan emosi harus diperbaiki sehingga emosi dan perasaan berada di posisi mereka yang seharusnya. Banyak sekali penelitian yang telah menemukan dampak positif dari kemampuan regulasi emosi? Misalnya, seseorang dengan kemampuan regulasi emosi yang baik memiliki kecenderungan untuk dapat mengontrol diri, fokus pada tujuan, memiliki ketahanan yang baik, dapat menjalin hubungan sosial yang sehat, dan dapat beradaptasi dengan lebih baik di lingkungan. In the long run, kemampuan-kemampuan tersebut bisa memprediksi kesuksesan karir, hubungan sosial yang sehat, dan overall well-being.

Melihat dampak-dampak positif tersebut, saya jadi termotivasi untuk mengeksplor kembali mengenai emosi. Bagi saya yang sudah dewasa (katanya) ini, mencoba berefleksi dan mengerti mengenai emosi semakin penting lagi karena kemampuan orang tua dalam meregulasi emosi akan terlihat oleh anak dan mempengaruhi kemampuan anak dalam meregulasi emosi mereka. Nah, kalau sekarang saja masih kesulitan, bagaimana saya mendidik anak-anak saya nanti? Saya mencoba untuk mulai menghayati emosi dengan satu langkah kecil yang cukup mudah: Mari namai emosi!

Siapa yang bisa menyebutkan sebanyak-banyaknya nama emosi? Semua yang punya HP pasti tau feature emoticon. Ada berpuluh-puluh jenis emoticon, kan? Menggambarkan apa saja ya, mereka? Mungkin mengidentifikasi nama-nama emoticon adalah cara yang bisa dilakukan untuk mulai tahu berbagai jenis emosi. Pada umumnya, ilmuan mengacu pada penelitian yang dilakukan pada tahun 1970-an dalam menjelaskan emosi dasar manusia. Emosi-emosi tersebut adalah bahagia, terkejut, takut, sedih, marah, dan jijik. Jenis-jenis emosi tersebut kemudian dipopulerkan dalam sebuah film Pixar yang banyak dibicarakan, Inside Out. Saya senang sekali menonton film ini karena insight yang didapat cukup dalam. Selain ngena bagi anak-anak, isi film ini juga bagus sekali untuk ditonton oleh orang dewasa. Anyway, selain emosi dasar, ada juga berpuluh-puluh jenis kata yang dapat digunakan untuk menggambarkan emosi.

Selesai? Mengetahui nama-nama emosi tentu tidak berarti kita bisa menamai emosi yang kita rasakan. Ekspresi emosi manusia kadang-kadang tercampur, ambigu, dan sulit diidentifikasi. Misalnya, seseorang yang menangis belum tentu sedih, kan? Saya kenal orang-orang yang kalau sedang merasa sangat bahagia juga menangis. Berteriak belum tentu marah, kan? Kadang, teriakan juga bisa berarti takut. Maka, langkah menamai emosi selanjutnya adalah menyadari emosi yang dirasakan lalu menamainya dengan perbendaharaan kata emosi yang sudah dimiliki. Then, penjelasan ‘yaa… gitu deh’ bisa sedikit demi sedikit diganti dengan penjelasan mengenai emosi yang kita rasakan.

Mari namai emosi sehingga kita dapat lebih baik mengenali diri, dapat menjalin hubungan sosial yang sehat, dapat beradaptasi dengan lebih baik, dan tentunya dapat menjadi contoh bagi anak-anak kita nanti. Simple step counts.

Advertisement

Live the Life

Beberapa waktu yang lalu, saya mengikuti sebuah acara jalan-jalan bersama warga Indonesia di Birmingham. Kami mengunjungi beberapa tempat di Wales sebagai pembuka liburan paskah kami. Di Britania Raya ini, liburan paskah memang menjadi salah satu liburan panjang selain libur musim panas dan libur natal. Biasanya, sekolah dan universitas menghentikan kegiatan mereka selama dua minggu untuk merayakan paskah. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai di tempat tujuan dari Birmingham cukup lama, yaitu sekitar 3.5 sampai 4 jam. Dengan dua bus, kami berkendara menuju Wales.

Jumlah warga yang mengikuti acara jalan-jalan ini cukup banyak. Terlebih lagi, kebanyakan peserta membawa seluruh anggota keluarga, termasuk anak-anak dan bayi. Terbayang kan, perjalanan cukup jauh, satu hari saja, dan membawa anak-anak. Sebelum pergi, saya mengira bahwa perjalanan akan heboh, ramai dengan tangisan atau keluhan anak-anak yang merasa bahwa mereka terlalu lama di dalam bus. Siap-siap bersabar. Ternyata? Semua itu tidak terbukti. Berdasarkan hasil pengamatan, anak-anak cukup tenang dan bisa ‘menikmati’ perjalanan, walaupun ada juga yang mabuk dan sesekali menangis. Kalau kata orang Indonesia, anak-anak ini nggak ribet lah saat dibawa ke perjalanan jauh. Disogok apa ya, mereka sampai nggak rewel? Well, sepanjang perjalanan, mereka mengobrol, bernyanyi, main, melihat pemandangan, membaca buku, dan tidur. Bosan kegiatan yang satu, pindah ke yang lain, lalu pindah lagi ke yang lain. Yang jelas, mereka tidak mengganggu.

Setelah dipikir-pikir lagi, iya juga ya… sebagian besar anak-anak Indonesia disini memang tidak rewel dan tidak ribet. Mereka seperti mengerti bahwa keadaan menuntut mereka untuk mandiri dan tidak banyak mau. Jadi malu karena saya sendiri sering BM (banyak mau). Kemudian, saya membandingkan hal tersebut dengan pengalaman saya di Indonesia. Bekerja beberapa tahun sebagai guru di berbagai tingkat pendidikan, saya merasa kok ya beberapa anak-anak ini cukup ribet untuk diurus. Seperintilan kecil-kecil macam nangis-nangis saat di makanannya ada sayur yang ‘nyelip’ seringkali saya lihat. Ada lagi urusan jemput menjemput yang repot karena harus naik mobil ini, harus dijemput sama dia, mau pulang mampir kemana dulu. Lalu, saya jadi penasaran. Apa sih yang membuat perilaku merek bisa berbeda? Well, menjelaskan perbedaan perilaku itu ribet, seribet-ribetnya. Sebagai mantan mahasiswa psikologi, saya mengerti betul bahwa satu hal tidak dapat menjelaskan perilaku seseorang. Banyak sekali faktor yang mempengaruhinya. Tapi, saya mencoba melakukan refleksi dan berpikir logis dengan mengambil sebuah contoh. Anyway, seperti biasa ya, tulisan saya ini berdasarkan hasil observasi pribadi dan persepsi saya, sehingga tidak bisa di-generalisasi.

Selama beberapa bulan ke depan, saya memiliki tugas untuk mengantar dan menjemput anak sekolah. Mengamati berbagai hal yang terjadi pada saat saya mengantar-jemput anak sekolah disini, saya mengambil contoh tentang naik kendaraan umum di Inggris dan di Indonesia. Saya tanya, berapa banyak dari Anda yang berkendaraan umum pada saat sekolah? Dari SD? Apakah menyuruh anak untuk naik kendaraan umum untuk pergi dan pulang sekolah atau mengantar-jemput anak dengan kendaraan umum menjadi pilihan Anda? Mungkin tidak. Kalau punya kendaraan pribadi, kenapa harus susah-susah naik kendaraan umum? Kasusnya tentu berbeda disini. Anak-anak cukup terbiasa kemana-mana jalan kaki atau naik bus. Setiap pagi, bus penuh dengan anak sekolah, orang tua yang mengantar, lengkap dengan kereta bayi bagi para orang tua yang masih memiliki anak kecil.

Berdasarkan pengalaman pribadi, naik kendaraan umum di Jakarta selalu menarik. Selalu ada cerita yang dibawa saat mengamati perilaku orang-orang di dalam kendaraan umum. Satu hal yang cukup mencolok dan saya ingat adalah bagaimana perilaku orang tua dan anak saat berada di kendaraan umum. Tidak hanya satu dua kali saya mendengar ‘omelan’ para ibu mengenai repot dan susahnya naik kendaraan umum. Harus pindah, bawa barang, ada anak, dan lain-lain. Keluhan itu seperti tidak ada hentinya, hingga sampailah pada kesimpulan bahwa ‘enak jadi orang kaya, bisa naik mobil atau motor kemana-mana’. Sadarkah para orang tua ini bahwa omelan dan keluhan mereka didengar oleh para anak? Saya percaya bahwa pesan yang terdengar terus menerus dari significant others pasti sedikit atau banyak akan membekas dan membentuk pola pikir seorang anak. Kalau setiap hari diomeli tentang sesuatu yang bukan salahnya juga harus naik kendaran umum, bagaimana pola pikir anak-anak tersebut, ya? Mungkin mereka akhirnya memiliki keyakinan bahwa saya miskin, naik kendaraan umum tidak menyenangkan, dunia tidak adil karena saya terpaksa susah-susah di jalan, boleh mengeluh dan marah pada keadaan, dan segala hal yang berhubungan dengan hidup yang tidak menyenangkan. Mungkin, ini juga yang membuat angka penjualan motor, sebagai kendaraan pribadi yang cukup murah, selalu meningkat di Indonesia.

Lalu, bagaimana dengan naik angkutan umum di Inggris? Saya sendiri melihat bahwa anak-anak dan para orang tua yang harus setiap hari naik angkutan umum tidak banyak protes. Mereka menjalani rutinitas dengan flat. Harus naik bus? Yasudah naik saja. Harus jalan kaki? Ya memang kok tidak ada kendaraan umum yang berhenti di depan rumah. Sepertinya, perkara naik kendaraan umum tidak serta merta berhubungan dengan keadilan sosial. Toh, banyak juga bapak-bapak mapan berjas yang juga naik bus. Tentunya, komentar ‘hidup tidak adil’ dan ‘enak jadi orang kaya’ tidak terdengar. Well, terdengar sih ‘hidup tidak adil’ di kalangan remaja yang memang kerjaannya protes terhadap hal-hal sekecil apapun. The point is, saya tidak pernah mendengar orang mengeluh karena kondisi hidupnya yang terbatas saat berada di angkutan umum. Hasilnya? Anak-anak sepertinya cukup menikmati harus pergi dan pulang sekolah dengan bus. Lagi-lagi ya, argumen ini saya kemukakan dengan mengabaikan perbedaan kondisi kendaraan umum di dua negara yang saya bandingkan.

Kasus yang saya ceritakan di atas adalah pengamatan saya terhadap orang-orang lokal. Bagaimana dengan keluarga Indonesia yang ada disini? Lebih hebat lagi. Saya rasa anak-anak orang Indonesia yang tinggal disini sudah didoktrin dulu. Haha… Entah kenapa, saya merasa bahwa anak-anak orang Indonesia disini jauh lebih dewasa dan pengertian. Mereka tidak banyak protes, tidak terlalu banyak minta ini-itu, dan mengerti kondisi orang tuanya yang… mungkin kondisi hidupnya tidak sebaik saat masih tinggal di Indonesia. Bagi banyak keluarga, mereka harus mengucapkan selamat tinggal kepada mobil pribadi. Tapi toh, anak-anak ini tidak merasa miskin dan tidak menuntut orang tuanya untuk membeli mobil baru. Bahkan, beberapa waktu lalu, seorang anak Indonesia yang masih SD sempat bercerita, ‘Kata Bunda, beli mainannya nanti aja kalau sudah di Indonesia. Disini nggak beli-beli dulu.’ And again, mungkin yang terdengar di telinga para anak juga berbeda. Mereka mendengar orang tuanya berterima kasih karena mereka tidak banyak menuntut, mereka mendengar penjelasan orang tua mereka mengenai kondisi hidup mereka. All in positive light.

Mengamati dan melakukan refleksi terhadap hal-hal tersebut, saya jadi tersadar kembali. All in positive light. Hidup ini tidak mudah, kenapa harus ditambah lagi dengan pandangan-pandangan negatif? Saya melihat bahwa disini, hidup ya dijalani saja. Sebagai manusia, tentu pernah mengeluh dan merasa tidak suka dengan kondisi yang dialami. Tapi, ya itulah hidup. Live the life. Memangnya dengan mengeluh dan marah-marah lalu kondisi hidup kita bisa berubah? Menurut saya, justru dengan begitu malah meracuni pikiran orang-orang di sekitar. Hal ini tentu lebih ditekankan pada orang tua, seperti contoh saya di atas. Sadarkah bahwa perkataan yang didengar anak mengenai bagaimana orang tua memaknai hidup mereka bisa membentuk pola pikir anak mengenai dunia? Sepertinya manusia memang perlu lebih banyak bersyukur, termasuk saya… terutama saya.

Life Balance

Sekitar dua tahun yang lalu – Gosh, I’m old! – saya mengikuti sebuah pelatihan. Pada saat itu, semua peserta pelatihan diminta untuk menuliskan karakter diri masing-masing, baik yang bersifat positif maupun negatif. Setelah menuliskan karakter diri, saya baru menyadari bahwa kelebihan saya juga adalah kekurangan saya – to some extent. Kok bisa? Saya lupa seluruh jawaban saya pada saat itu, tapi beberapa karakter yang saya tulis adalah determined (positif), organized (positif), stubborn (negatif), dan over thinker (negatif). Tentunya, semua karakter tersebut tidak muncul dalam satu waktu yang sama. Kalau iya, aneh banget. Haha. In a way, karakter-karakter yang saya sebutkan saling berhubungan. Di satu sisi, saya adalah orang yang keukeuh kalau punya keinginan. Believe me, my parents know it well! Pada situasi yang baik, tentunya jadi karakter yang baik karena saya jadi berusaha untuk mencapai tujuan saya. Di situasi lain, hal tersebut menjadi suatu karakter negatif karena saya menjadi keras kepala, nggak mau dibilangin. Saya juga tipe orang yang organized. Saya suka merencanakan sesuatu, saya berpikir dan mengatur hidup saya. To some negative extent, saya bisa menjadi orang yang terlalu banyak berpikir sehingga keputusan yang saya buat lama, terlalu banyak pertimbangan, dan lain-lain. Saya lalu menyadari bagaimana cara saya meminimalisir kekurangan saya – hidup seimbang. Kalau saya bisa menjaga agar karakter saya tidak ekstrem maka seharusnya saya bisa menjadi manusia yang memiliki karakter lebih baik. Right?

Kejadiannya dua tahun lalu, tapi kenapa sekarang menulisnya? Mungkin karena paparan media sosial yang cukup besar saya terima akhir-akhir ini (ya, ini salah saya sendiri). Banyak sekali berita mengenai berbagai isu dan beberapa diantaranya menarik perhatian saya. Misalnya, mengenai gaya hidup para penerima beasiswa, mengenai orang tua yang memboikot televisi bagi anak-anak mereka, hingga mengenai jumlah jam tidur. Intinya, ada banyak perspektif dan komentar mengenai bagaimana seseorang harus mengatur hidupnya. Do we have the right to judge and to direct other people?

Membaca banyak artikel-artikel tersebut membuat saya melakukan refleksi diri (bukan pijat refleksi, OOT kangen banget pijet…). Mana yang benar? Mana yang harus saya ikuti? Hingga saya sampai pada kesimpulan bahwa kuncinya adalah keseimbangan dan niat. Life is short and death is sure. Sekarang, bagaimana memanfaatkan yang ada di dunia untuk akhirat. Toh, semua yang jadi perbincangan dan pro kontra akan balik-balik lagi ke tujuannya apa. Ya, kan?

Contoh, satu isu yang cukup menarik dan menggelitik adalah beberapa opini mengenai gaya hidup para penerima beasiswa. Sebagai orang yang terpapar langsung terhadap hal tersebut, saya mencoba menghayati apa sih yang mendasari pendapat yang berbeda-beda tersebut. Berdasarkan artikel-artikel yang saya baca, banyak yang mempertanyakan keseriusan para penerima beasiswa dalam belajar dan mempertanyakan aktivitas jalan-jalan mereka. Intinya, para penerima beasiswa seharusnya bisa serius belajar dan membalas budi beasiswa yang tidak sedikit jumlahnya tersebut ke rakyat Indonesia. Setuju!But are we not allowed to spend money?

Saya yakin, insyaAllah para penerima beasiswa pun amanah dan menepati janji mereka pada saat mendaftar beasiswa. Namun, bagi saya keseriusan dalam belajar dan berprestasi tidak 100% relevan dengan jumlah jalan-jalan dan aktivitas yang katanya foya-foya dengan uang rakyat. Apa tidak bisa, seseorang berprestasi baik, berkontribusi besar, dan tetap bisa menikmati hidup? Semua orang berpendapat berbeda, tapi apabila saya melihat dari kacamata keseimbangan dan niat, rasanya kegiatan beraktivitas non-akademis tidak bisa dieliminasi begitu saja semata-mata karena harus berprestasi dan berkontribusi. Kalau seseorang bisa mendapatkan nilai distinction di semua mata kuliah, aktif membantu masyarakat Indonesia dan berorganisasi tapi tetap jalan-jalan saat liburan untuk refreshing, apa itu salah? And again, it comes back to personal opinion. Dan lagi, uang negara adalah hal yang sensitif dan bukan untuk main-main.

Let’s move to another example. Kali ini mungkin lebih bisa dipahami oleh semua orang. Lagi-lagi masalah uang – kali ini uang pribadi. Beberapa minggu lalu, saya sedang mengobrol dengan salah satu teman mengenai keinginan saya untuk membeli sebuah tas. Komentarnya, “Tas X bukannya terjangkau ya, Za untuk orang seumuran kita, apalagi kalau suami istri bekerja?” Lalu kami berdiskusi dan sampai pada kesimpulan bahwa ya, mungkin saya punya uang untuk membeli tas tersebut tanpa harus menabung tapi saya punya hal-hal lain yang ingin saya lakukan sehingga tabungan saya harus direlakan untuk hal-hal lain tersebut. Saya harus membuat prioritas, saya harus mengerti mana yang didahulukan. Saya sendiri pernah mengalami masa-masa tidak mau membeli barang baru – sama sekali. Lalu saya ditegur oleh ibu saya. Ibu saya bilang, jangan membuat diri sendiri menderita kalau memang saya tidak harus menderita dan mampu. Indeed, money is not an easy thing to deal with.

Selain uang, ada juga waktu. Suatu hal yang harus digunakan dengan bermanfaat (at least bagi saya). Kenapa? Karena waktu tidak akan pernah kembali. What we’ve spent were spent, period. Setiap orang tentu memiliki cara berbeda untuk menghabiskan waktu. Ada yang banyak bekerja, ada yang banyak bersosialisasi, ada yang banyak beribadah, ada juga yang banyak tidur. Semua itu adalah pilihan pribadi. Dan pilihan, selalu memiliki konsekuensi. Ya, tinggal dipikirkan saja toh, niatnya apa? Tujuannya apa? Lagi-lagi, bagi saya kuncinya adalah seimbang. Terlalu banya bekerja, tidak baik juga. Terlalu banyak bersosialisasi, (bagi saya, sih) cape juga. So what? Berkacalah pada kebutuhan masing-masing, aturlah berdasarkan standar masing-masing.

Bagi saya, orang yang paling berpengaruh dalam membentuk pendapat saya mengenai keseimbangan dan niat adalah ibu saya. Melanjutkan cerita saya yang tidak mau membeli barang baru, ibu saya bertanya lima hal. Pertama, berapa uang yang saya miliki? Kedua, sudahkah saya membayar zakat dan bersedekah? Ketiga, apakah saya membutuhkan barang tersebut? Keempat, apakah saya mampu membeli barang tersebut? Kelima, apakah saya bisa menyisihkan uang saya untuk menabung? Kalau jawaban dari empat pertanyaan terakhir adalah ya, kenapa tidak saya menggunakan uang saya untuk membeli barang yang saya inginkan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merefleksikan sebuah prinsip:do your responsibility, help people in need, spend based on your needs and capabilities. Tentunya, prinsip tersebut tidak hanya bisa diaplikasikan dalam konteks finansial, tetapi juga dalam berbagai konteks lainnya.

Menulis artikel ini membuat saya banyak berpikir lagi, mengevaluasi diri lagi. Sepertinya, banyak area hidup saya yang masih belum seimbang. Saya belum mengatur waktu saya dengan baik, saya masih cukup boros dan ignorant terhadap spending saya, dan lain-lain. Anyway, realizing is the first step of change. Semoga saya bisa menjadi orang yang lebih seimbang dan diluruskan niatnya oleh Allah.

O children of Adam, take your adornment at every masjid, and eat and drink, but be not excessive. Indeed, He likes not those who commit excess. Say, “Who has forbidden the adornment of Allah which He has produced for His servants and the good [lawful] things of provision?” Say, “They are for those who believe during the worldly life [but] exclusively for them on the Day of Resurrection.” Thus do We detail the verses for a people who know. (Quran, Chapter# 7, Verses#31-32)

Feb 12, 2016

For you who just want to give up because postgraduate study is so damn difficult

Entah kenapa tetiba ingin menulis tentang hal ini. Kenapa? Well, sepertinya memang pembahasan mengenai bagaimana kuliah S2 tidak akan habis-habis. Setiap individu punya cerita, setiap individu go through a different path. Setelah adik saya menulis tentang “Siapa bilang kuliah di luar negeri enak”, rasanya ini adalah sudut pandang saya tentang bagaimana kehidupan S2 saya diwarnai dengan minggu-minggu ‘mainan oven’ hingga lelahnya kerja pada saat puasa di musim panas. Memang, kehidupan S2 penuh dengan tantangan, seperti teman saya yang baru saja bercerita “Pernah nggak sih mau nyerah aja kok kuliah gini-gini amat”.

Pernah dengar bahwa individu bisa berkembang ketika keluar dari zona nyaman? Ini bukan sekedar kata-kata motivator jargon seminar pengembangan diri. I truly believe that. Saat belajar mengenai psikologi kognitif, saya mengenal sebuah kata yang selalu saya ingat hingga sekarang: disonansi kognitif. Istilah tersebut berarti adanya kesenjangan antara apa yang diketahui atau diyakini dengan apa yang terjadi, dilakukan, atau dengan informasi baru yang didapatkan. Hal ini menyebabkan ketidaknyamanan yang dialami oleh individu sehingga ia ‘dipaksa’ untuk melakukan sesuatu agar ketidaknyamanan tersebut berkurang atau hilang. Disonansi kognitif, meskipun mungkin baru-baru ini saja istilahnya Anda atau saya kenal, ternyata sudah terjadi sejak bayi. Disonansi kognitif adalah cara belajar, cara untuk memperbaiki lagi struktur pengetahuan yang dimiliki lagi, cara untuk menyesuaikan lagi sikap yang dimiliki, dan cara untuk mengubah perilaku. Namun, saya selalu ingat bahwa disonansi kognitif selalu menimbulkan ketidaknyamanan. Dari pengetahuan ini, saya menyimpulkan bahwa kita tidak belajar apabila tidak mengalami ketidaknyamanan yang berasal dari disonansi kognitif.

Intinya? Ya belajar itu tidak nyaman, ingin menjadi lebih baik dan mencapai mimpi itu memang harus keluar dari zona nyaman karena mahluk bernama disonansi kognitif ini. Lagipula, apa rasanya lulus tanpa perjuangan? Gitu-gitu aja lah pastinya… Justru yang terkenang adalah perjuangannya, kan?

Ketika ditanya, pernah nggak sih mau nyerah aja karena nggak kuat kuliah S2? Honestly, no. Entah kenapa saya tidak pernah merasa perkuliahan yang menyita waktu dan bikin pengen nangis itu nyaris membuat saya menyerah. Not at all. Tapi, saya juga tidak mengatakan bahwa masa perkuliahan saya mudah. Not at all. Jadi maunya apa, Za? I’d say… challenging.

Kuliah S2 itu sulit, Jenderal! Bagi saya yang berkuliah S2 di luar negeri, sulitnya bertambah-tambah karena harus juga beradaptasi dengan budaya sosial dan budaya akademis. Saya harus membangun hubungan baik dengan teman-teman yang berasal dari seluruh belahan dunia, yang tentunya tidak semua memiliki value yang sama dengan saya. Saya harus beradaptasi dengan cara berinteraksi orang-orang lokal, berusaha menjaga nama baik negara saya (ya, disini saya merasa nasionalis – hal yang kadang-kadang saja saya rasakan, hehehe…). Dalam hal budaya akademis, adaptasi yang dilakukan jauh lebih sulit dan jauh lebih banyak. Menggunakan bahasa Inggris dalam keseharian, dalam konteks akademis tentunya merupakan tantangan. Bahkan bagi orang-orang yang lancar berbahasa Inggris, hal ini bisa jadi cukup sulit. Belum lagi dengan materi-materi kuliah yang ada, bagaimana mahasiswa dituntut untuk berpikir kritis, dan bagaimana tugas beribu-ribu kata menunggu untuk dikerjakan.

Salah satu hal yang saya sangat rasakan pada saat berkuliah S2 adalah saya jadi rajin membaca. Bukan hanya reading list yang seabrek-abrek, individual research pun harus dilakukan untuk menambah wawasan. Mengapa? Karena kuliah disini mengharuskan mahasiswa untuk aktif berdiskusi. Masuk kelas dengan 0 pengetahuan? A big NO. Belum lagi membaca untuk mengerjakan tugas-tugas esai yang sungguh sangat banyak itu. Pastinya, seperti mungkin semua mahasiswa S2 disini, saya mau menangis saja. Trik saya adalah memanfaatkan waktu. Saya menempel sebuah post-it di meja belajar saya dengan tulisan ‘If you are not doing something great, do something useful’. Cukup berhasil untuk mengingatkan saya agar tidak menyia-nyiakan waktu. Dari waktu bangun saya, mungkin 70% saya habiskan untuk membaca.

Saya cukup beruntung (atau tidak beruntung, ya?) karena 100% nilai mata kuliah saya ditentukan oleh nilai esai saya. Setiap mata kuliah mengharuskan saya menulis esai 4000-6000 kata sebagai tugas akhir. Dalam satu semester, saya mengikuti 4-5 mata kuliah. Jadi, at the end of semester, saya harus mengumpulkan tulisan yang kalau ditotal jumlahnya adalah 25000 kata. Mau pingsan. Nggak kebayang sih bagaimana teman-teman yang masih ada pula tugas kelompok, presentasi, dan ujian. Lebih mau pingsan. Start early adalah kuncinya. Saya selalu berusaha memulai menulis esai right after the semester starts. Itu pun, biasanya 1-2 minggu sebelum pengumpulan tugas saya harus rela ‘mainan oven’ karena tidak sempat memasak. Beli frozen food yang tinggal di oven lah yang jadi solusi bagi saya. Nggak heran ya, sepanjang kuliah S2 berat badan saya turun drastis hingga 10-15kg. Lumayan, diet tanpa usaha. Saran saya sih, banyak-banyak konsultasi ke dosen mata kuliah agar dapat mengerjakan tugas sesuai dengan ekspektasi. Tidak sekali dua kali tugas saya yang sudah ditulis hingga 1000 kata lalu ditolak mentah-mentah oleh dosen dan saya harus menulis ulang lagi dari awal. Sedih, ya? But that’s life.

Di semester kedua, mahasiswa yang berkuliah S2 dalam waktu 1 tahun harus mulai memikirkan disertasi (disini disebut disertasi untuk S2, instead of tesis seperti di Indonesia). Tentu pusinya bertambah-tambah. Lagi-lagi, start early. Saya sendiri mulai berkonsultasi dengan dosen pembimbing saya sejak bulan Januari dan mulai menulis disertasi saya sejak bulan Februari. Penelitian saya berapa lama? 4 bulan, saudara-saudara. 4 bulan saya bolak-balik mengambil data di sebuah sekolah sambil berkuliah dan sambil bekerja (ya, sotoy nya saya adalah udah tau sibuk tetep aja mau kerja demi jalan-jalan). Pastinya ada saat-saat saya tidak mau bangun pagi karena lelah, maunya santai, maunya tidur aja, dan bertanya-tanya ‘kok hidup gue gini-gini amat?’. So little time so much to do. Trik saya? Hadapi saja! The whole thing will all pass. Fokus dengan tujuan, luruskan niat.

At the end, semua usaha yang dikeluarkan akan terbayar. Pada akhirnya, disonansi kognitif itu berakhir, ketidaknyamanan itu berkurang, dan tujuan tercapai. Equilibrium, keseimbangan antara apa yang diketahui dan apa yang terjadi. Keseimbangan antara tujuan dan hasil. Hopefully. Saya pun tidak sadar seberapa banyak hal yang sudah saya kerjakan, seberapa banyak hal yang sudah saya alami, dan seberapa berharganya pengalaman saya kalau saja teman serumah saya dulu baru-baru ini bercerita. Saat itu, saya sedang mengunjungi kota tempat saya berkuliah dulu dan bertemu dengan teman saya tersebut. ‘I don’t know how you’ve done all those things in a year! Studying, doing your dissertation, working, volunteering, and travelling. You’ve always been busy but you also always have time to hang around and chat. Dan sejujurnya, saya pun tidak tahu, saya pun tidak sadar bagaimana cara saya melakukan semua hal tersebut dulu. Ternyata bisa ya, melakukan itu semua walaupun dengan acara nangis-nangis di depan buku dan laptop.

So, for you who just want to give up because postgraduate study is so damn difficult, you just have to push through. You are capable of what you are doing and this all shall pass. At the end, you won’t believe how much you’ve learned and how much you’ve gained. Good luck!

Feb 01, 2016

Super Woman Called Mom

Entah kenapa masih aja ya, perdebatan tentang working mom vs stay at home mom marak. Mulai dari cerita dan pendapat yang mendukung ibu rumah tangga dan mungkin yang agak nyinyir tentang ibu bekerja, hingga cerita tentang usaha keras ibu bekerja yang membela diri dari pandangan negatif yang ditujukan pada mereka. Susah memang, budaya di Indonesia yang cukup kental oleh konsep patriarki dan kemudian diterjang modernisasi kemudian membuat banyak orang bingung mengenai jati diri, termasuk wanita.

Rasanya tergelitik sekali ingin menulis ini, terlebih setelah diskusi di sebuah grup Whatsapp saya. Pastinya saya belum qualified ya, untuk bercerita tentang pengalaman saya karena saya belum menjadi seorang ibu. Tapi, saya punya dua orang wanita super yang memilih dua jalan berbeda, ibu saya dan mama mertua saya. Bagi saya, both are super women called moms.

Menarik sekali membaca artikel-artikel berisi pengalaman para ibu rumah tangga yang mendedikasikan waktu mereka untuk keluarga. Mereka mencurahkan tenaga dan pikiran dengan sepenuh hati untuk membangun keluarga yang baik. Bagi saya, cara para ibu rumah tangga mendidik anak-anak mereka harus diapresiasi. Dari banyak artikel yang saya baca, anak-anak dari para ibu rumah tangga tumbuh menjadi anak yang sukses. Mereka berkembang dengan baik, penuh dengan kasih sayang dan perhatian yang berlimpah dari para ibu. Melihat beberapa teman saya yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, saya mengerti mereka sangat paham perkembangan anak mereka, pengetahuan terbaru tentang perkembangan anak, dan kreatif dalam memberikan yang terbaik bagi anak-anak mereka. Tentunya, disini saya mengkategorikan ibu rumah tangga sebagai ibu yang memang mengurus anak mereka sendiri, ya… Bukan ibu-ibu tidak bekerja yang memiliki pengasuh khusus bagi anak mereka.

Saya juga kagum terhadap para ibu bekerja yang sepertinya punya tenaga ekstra hingga sanggup melakukan banyak hal sendiri. Beberapa artikel mengenai ibu bekerja yang saya baca menceritakan perjuangan para ibu bekerja ini – yang mudah-mudahan bukan ‘tumpangan’ keluhan mereka ya… Semoga semua ibu bekerja ikhlas dalam menjalankan semua peran mereka. Membaca dan melihat sendiri pengalaman ibu bekerja kadang-kadang membuat saya membayangkan bagaimana rasanya harus ‘membelah diri’ agar bisa memenuhi semua tuntutan, bagaimana rasanya meninggalkan anak yang sakit karena sudah tidak ada cuti, atau bagaimana harus ‘kabur’ dari kantor agar bisa cepat pulang ke rumah dan mengurus keluarga. Pastinya bukan perjuangan yang mudah.

Selalu ada dua, atau lebih, perspektif yang harus dilihat ketika berargumen, bukan? Melihat kedua sisi tersebut, saya yakin sekali bahwa setiap ibu memiliki alasan masing-masing saat memilih untuk menjadi ibu rumah tangga atau menjadi ibu bekerja. Saya juga yakin, mereka pasti tahu konsekuensi atas pilihan mereka. We cannot judge because we are not on their shoes, right? Semua orang punya preferensi masing-masing, setiap orang punya alasan masing-masing. Jangan paksakan, jangan salahkan karena semua ibu pasti berjuang demi keluarga. Bagi saya, pilihannya bukan di bagian menjadi ibu rumah tangga atau menjadi ibu bekerja, tetapi di bagian keluarga seperti apa yang ingin dibangun, anak-anak seperti apa yang ingin dibesarkan. Bagaimana caranya, tentu akan tergantung pada kondisi masing-masing keluarga dan individu.

Siapa bilang anak-anak dengan ibu yang fokus mengurus mereka pasti berhasil? Tidak ada jaminan juga. Siapa bilang ibu rumah tangga tidak memiliki keterampilan dan kapabilitas untuk bermanfaat bagi komunitas yang lebih luas? Siapa bilang ibu rumah tangga kerjanya leha-leha di rumah tanpa pekerjaan berat? Mama mertua saya seorang ibu rumah tangga. Sejak menikah, ia memilih untuk tinggal di rumah mengurus anak-anak. Santai? Haha tentunya tidak. Dengan 4 orang anak yang sibuk luar biasa di tempat kursus, organisasi, dan sekolah, Mama sibuk mengurus semua kebutuhan anak-anaknya. Bangun super pagi untuk memasak bekal (ya, Mama memasak sendiri walaupun ada pembantu rumah tangga di rumah) bagi anak-anaknya, mencari informasi terbaru untuk pengembangan diri anak-anaknya, hingga ikut sibuk ketika anak-anaknya akan ujian. Melihat keseharian Mama, saya melihat bagaimana ibu rumah tangga pun update terhadap informasi yang ada dan selalu membangun hubungan baik dengan para ibu lain. Mengapa? Agar ia bisa mengobrol, berkomunikasi dengan anak-anak serta suaminya. Mama adalah seorang ibu yang cerdas, yang selalu memberikan masukan berarti bagi suami dan anak-anaknya. Jadi, siapa bilang menjadi ibu rumah tangga itu mudah?

Siapa bilang anak-anak dengan ibu bekerja kurang perhatian? Belum tentu! Siapa bilang ibu bekerja hanya fokus pada karir mereka dan membiarkan anak-anak mereka diasuh oleh pembantu, pengasuh, atau nenek-kakek? Siapa bilang ibu bekerja pulang ke rumah tinggal beristirahat? Saya anak dari seorang ibu bekerja. Jawaban dari pertanyaan di atas adalah tidak. Sejak kecil, saya terbiasa di rumah tanpa Ibu, tapi saya ingat bahwa setiap siang Ibu selalu menelepon rumah untuk absen. Saya juga terbiasa mandiri dan belajar tanpa disuruh oleh Ibu, tapi setiap pulang kerja, ibu selalu ada untuk mengecek hasil belajar dan PR saya. Dan ibu bekerja, harus melawan stigma yang ada di masyarakat, yang semoga sekarang sudah mulai berkurang, bahwa anak-anak mereka tidak terurus dan tidak mungkin berprestasi. Saya ingat, Ibu saya pernah bercerita bahwa guru SD saya tidak percaya saya bisa mendapatkan nilai bagus dan curiga bahwa saya seringkali mencontek teman saya yang ibunya ada di rumah. Kalau jadi Ibu, saya sih akan marah luar biasa. Indeed, stok sabar dan tenaga ibu bekerja pun harus super banyak. Selain mengecek hasil belajar saya, Ibu tidak pernah absen membacakan dongeng atau cerita apa pun sebelum saya tidur, hingga saya duduk di kelas atas SD. Jadi, siapa bilang menjadi ibu bekerja berarti tidak perhatian pada anaknya?

Dua sisi dari satu koin. Mereka sama-sama ibu. Anak dan keluarga adalah dua hal yang menjadi fokus dari hidup mereka. At least pada kasus kedua ibu yang saya ceritakan, ya… Keduanya memiliki cara yang berbeda untuk memberikan yang terbaik bagi keluarga. Apa kesamaan dari kedua ibu tersebut? Doa. Mama dan Ibu selalu berdoa untuk anak-anak mereka. Saya tahu persis bahwa Ibu tidak pernah absen bangun tengah malam untuk mendoakan keluarganya. Saya pun tahu bahwa Mama akan bangun malam untuk mendoakan kemudahan urusan anak-anaknya.

Lalu, siapa kita yang berani menilai mana yang lebih baik? Mengapa tidak kita hargai semua ibu di dunia yang berdoa untuk keluarga mereka? Apa pun cara mereka, apa pun pilihan mereka, yakinlah semua ibu ingin memberikan yang terbaik bagi keluarga mereka, bagi anak-anak mereka.

Feb 02, 2016

Salah Jurusan

Menulis mengenai cerita perjalanan saya ke Itali, saya menyadari bahwa dalam perjalanan tersebut, sering sekali saya nyasar, salah jurusan. Lucu sih melihat bagaimana dalam sebuah perjalanan yang hanya berdurasi beberapa hari saja, saya bisa-bisanya hampir setiap hari tersesat. Untungnya, saya bisa kembali ke jalan yang benar. Hehehe…

Pernah salah jurusan? Mungkin hampir semua orang pernah, ya.. Ada yang seperti saya, salah jurusan di perjalanan. Ada juga yang salah jurusannya melibatkan hal yang lebih besar dalam hidup, seperti…. jurusan hidup? Wah, jangan sampai tersesat di hal yang satu itu. Well, selain pengalaman nyasar saya, saya juga pernah salah jurusan dan untungnya lagi, saya bisa kembali ke jalan yang benar. Salah jurusan dalam hal apa? Dalam hal cita-cita.

Tentu semua orang punya cita-cita. Mulai dari hal yang kecil, seperti saya yang bercita-cita ingin makan baso besok malam, sampai cita-cita besar seperti ingin menjadi pembawa perubahan (bahasanya mahasiswa yang masih berapi-api banget, ya). Saya ingat, cita-cita saya pertama kali bukan ingin menjadi dokter seperti kebanyakan anak-anak. Saat saya masih duduk di kelas awal SD, saya bercita-cita ingin menjadi arkeolog. Terima kasih kepada buku ensiklopedia yang membuat saya tahu bahwa ada dinosaurus, fosil, dan berbagai peradaban purba lainnya. Anehnya, saya tidak tertarik ingin meneliti fosil dan dinosaurus. Saya lebih tertarik pada peradaban dan budaya manusia di zaman dahulu kala. Yak, itu sih salah saya ya, namanya bukan arkeolog, kalii… Saya baru-baru ini saja sadar bahwa dulu, saya sebenarnya ingin jadi antropolog. Sayangnya, saya tidak tahu istilah tidak populer itu, sehingga saya bilang saja arkeolog tapi yang meneliti manusia. Hahaha.

Kemudian, cita-cita kedua saya adalah ingin menjadi jurnalis. Masih di masa SD, ekstrim-nya, saya ingin jadi wartawan perang. Menyatakan keinginan saya kepada orang tua, ibu saya melarang. Katanya, jadi wartawan perang itu berbahaya, nanti tidak bisa berkeluarga dan banyak pergi ke daerah konflik. Sedih sih, saat itu. Saya sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan saya bercita-cita ingin jadi wartawan perang. Tapi saya ingat, dari dulu saya suka menulis. Mungkin itu yang menjadi alasan saya ingin jadi wartawan, ditambah lagi dengan karakter saya yang memang suka bertualang (mungkin ini akibat terlalu banyak membaca novel Lima Sekawan).

Seperti anak kecil pada umumnya, cita-cita saya berubah lagi. Come on, siapa sih sekarang yang benar-benar menjalankan pekerjaan sesuai dengan cita-citanya? Bahkan si Susan-nya Kak Ria Enez saja tidak berhasil menjadi dokter (ya, iya lah yaa..). Kali ini, saya ingin jadi psikolog. Dan ini adalah perubahan cita-cita saya yang terakhir, well at least perubahan terakhir yang saya jiwai. Alasan saya ingin jadi psikolog? Saat itu sangat sederhana: Semua psikolog wanita yang saya temui cantik. Za, za… menentukan cita-cita kok alasannya tidak logis seperti itu. Masih lebih bagus logika di kedua cita-cita saya sebelumnya, toh? Untungnya, kemudian saya ingat sebuah peristiwa yang bisa jadi mendasari keinginan saya untuk jadi psikolog juga, peristiwa yang tidak bisa dianggap cetek. Saya pernah ditantang ibu saya untuk bermain bersama seorang anak dengan autisme. Kata ibu saya, kalau saya bisa berarti saya hebat. Bisakah saya? Tentu tidak. Sekarang sudah bisa? Ya belum tentu juga. Anyway,intinya ini yang sekarang menjadi alasan saya mengapa saya ingin menjadi psikolog.

Cita-cita tersebut tidak pernah berubah. Saya lulus SMP dan masuk ke SMA yang saya inginkan. Pada saat itu, budaya ke-IPA-an memang dijunjung tinggi, tidak hanya di sekolah tetapi juga di rumah. Kesannya, apabila tidak masuk IPA, maka saya akan jadi second class citizen. Sialnya, jurusan psikologi di Universitas Indonesia adalah jurusan IPS. Nah loh… Sekolah saya pada saat itu memfasilitasi siswa dengan tes minat dan bakat. Hasil tes tersebut digunakan untuk memberikan masukan bagi siswa dalam memilih jurusan. Guess what? Sekolah saya punya 10 kelas reguler dan 9 diantaranya adalah kelas IPA. Tidak aneh jika kemudian saya pun diberi masukan bahwa saya cocok untuk melanjutkan ke jurusan IPA. Waktu itu, saya bertanya kepada beberapa orang mengenai masalah penjurusan ini. Suara yang diberikan sama: pilih saja jurusan IPA, peluangnya lebih terbuka. Pada saat itu, tidak hanya saya yang mengalami dilema (iya, anak SMA zaman saya dilemanya adalah pemilihan jurusan). Banyak yang merasa lebih suka IPS, ingin melanjutkan kuliah di jurusan IPS, dan berbagai alasan lainnya. Sebagian akhirnya dengan berani meminta pindah jurusan, sebagian lainnya seperti saya, memilih jalan aman. Pikiran saya waktu itu, toh bisa belajar lagi nanti.

Dan saya pun salah jurusan.

Memang nilai saya tidak terlalu jelek, tapi tidak terlalu bagus juga. Saya berjuang keras untuk mengerti segala rumus fisika dan kimia, selalu minta teman saya untuk menggambar tiga dimensi di pelajaran seni rupa, dan beberapa kali mengulang ujian karena nilai saya kurang. Saya tidak bangga dengan hal-hal tersebut, tapi apa daya, saya memang tidak bisa. Kalau kata orang-orang yang optimis, tidak ada yang tidak bisa – well, mungkin saya tidak mau. Saya menolak untuk belajar lebih keras lagi. Sepanjang dua tahun terakhir saya di SMA, saya hanya menyukai dua pelajaran, matematika dan bahasa Inggris.The rests were nightmare! Terbayang nggak sih, setiap hari datang ke sekolah dan belajar semua hal yang saya tidak suka, saya tidak tertarik? Yang jelas, saya tidak mau mengulanginya lagi! Not in a lifetime. 

Memasuki kelas 3, saya mulai fokus pada tes masuk perguruan tinggi. Tentu saja, bukan jurusan IPA yang saya ambil pada saat tes, tetapi jurusan IPS. Bahkan IPC (percampuran antara IPA dan IPS) pun tidak saya lirik. Saya banting setir. Saya belajar IPA hanya untuk lulus SMA. Saya tidak peduli berapa nilai saya, yang penting saya lulus. Pada saat itu, memang kriteria penerimaan perguruan tinggi murni hasil tes SPMB (ketauan ya, tuanya saya) jadi, berapa pun nilai saya di SMA tidak akan berpengaruh. Oleh karena itu, saya belajar IPA secukupnya dan belajar IPS sekuat tenaga. Rajin sekali saya saat itu belajar, demi cita-cita menjadi psikolog. Sempat beberapa kali saya tergoda ingin menjadi dokter, atau memilih jurusan teknik industri. Namun, keinginan tersebut luntur oleh kekeraskepalaan saya ingin masuk psikologi UI.

Belajar tidak serius begitu, memang boleh? Untungnya, orang tua saya cukup demokratis dan tidak pernah memaksa saya melakukan sesuatu yang saya tidak suka (bukan berarti saya dimanja, ya). Memang, jurusan psikologi bukan jurusan favorit mereka untuk saya pilih. Ayah saya menyarankan saya untuk memilih jurusan teknik industri. Katanya, mirip-mirip lah ada sisi psikologi-nya. Saya tidak mau. Lalu beliau menyarankan lagi, pilihlah psikologi, tapi fokus pada peminatan industri organisasi (ketebak banget ya, secara beliau pada saat itu manager HRD). Lagi-lagi saya tidak mau. Orang saya mau belajar tentang manusia kok malah disuruh belajar tentang kantor (anggapan saya waktu itu, belum tahu kan, isinya psikologi industri dan organisasi seperti apa – setelah tahu ya tetap tidak mau karena masuk kelas dalam satu semester saja hanya 3 kali – ini jangan dicontoh ya).

Pada akhirnya, seluruh perjuangan (dan kemalasan saya belajar IPA) saya terbayar. Saya diterima di jurusan psikologi di UI. Berkuliah dan meniti cita-cita saya untuk menjadi psikolog. Sekarang sudah jadi psikolog? Belum, dan sepertinya tidak. Ternyata, saya lebih suka dunia pendidikan, bukan dunia klinis. Sudah cantik seperti psikolog wanita yang dulu saya cita-citakan? Kalau kata suami saya sih sudah, but objectively speaking, ngarep lo, Za!

Kembali lagi ke salah jurusan, jadi menyesal? Seperti cerita perjalanan saya, rasanya memori saya tidak akan berwarna apabila saya tidak salah jurusan. Mungkin saya tidak punya pengalaman unik dan menarik kalau saya tidak tersesat. Mungkin saya jadi tidak hafal peta kota Roma kalau saya tidak nyasar2 jam disana. Tentang jurusan SMA saya? Saya sedikit menyesal, tapi mungkin saya tidak akan mendapat nilai bagus di psikologi faal kalau saya bukan anak IPA. Saya beruntung, salah jurusan saya pada saat itu bisa saya perbaiki. Saya bisa kembali ke jalan yang benar sehingga dapat belajar sesuai dengan passion saya. Tapi, kedua salah jurusan yang saya alami punya akibat yang sama: sama-sama membuat saya harus bekerja lebih keras. Nyasar membuat saya harus membaca peta, bertanya kesana kemari, berjalan jauh dan bolak-balik. Salah jurusan saat SMA membuat saya harus belajar dua cabang ilmu, IPA dan IPS. Rasanya otak saya seperti terbelah dua. Lelah!

Intinya, seperti semua hal di dunia, salah jurusan memiliki upside dan downside. Kalau saya boleh sarankan, terutama untuk hal-hal yang besar dalam hidup seperti cita-cita, jangan sampai salah jurusan. Mungkin saya salah satu orang yang beruntung sehingga bisa kembali ke jalan yang benar. Kalau tidak? Mungkin saya akan terjebak melakukan hal yang tidak saya suka seumur hidup saya. Lalu, bagaimana caranya agar tidak salah jurusan?

Sebenarnya kalau melihat track record cita-cita saya, jelas sekali terlihat kemana minat saya. Saya adalah orang yang tertarik pada hal-hal yang sifatnya sosial. Ingin menjadi antropolog, ingin menjadi jurnalis. Semua berhubungan dengan ilmu-ilmu sosial. Kalau saja saat itu saya melakukan refleksi dan mengenal diri saya dengan lebih baik, mungkin saya tidak salah jurusan. Jadi, sebenarnya caranya mudah, kenali diri sendiri! Kita yang paling mengenal diri kita sendiri, kita yang paling mengetahui apa yang kita inginkan.

Selamat berefleksi, selamat kembali ke jalan yang benar!

Jan 19, 2016

Cara Cepat Belajar Bahasa Inggris

Seringkali saya mendapatkan pertanyaan mengenai cara cepat untuk bisa berbahasa Inggris dengan lancar. Sebenarnya, tulisan ini terinspirasi dari sebuah pertanyaan yang baru-baru ini saya dapatkan: Bagaimana cara menghafal dan mendapatkan banyak kosa kata dengan cepat?

Jujur, saya bingung. Maklum saja, saya merasa tidak sadar belajar bahasa Inggris. Saya merasa, bisa saja dengan sendirinya. Ditanya pertanyaan seperti itu membuat saya berpikir. Baca kamus? Ya, saya pernah melakukannya. Mungking saking tidak ada kerjaan, waktu SMP saya pernah membaca kamus setiap hari. Bodoh sih sebenarnya karena membaca kata dan arti tanpa menempatkannya pada suatu konteks justru menimbulkan kebingungan. Lalu jawaban saya berikutnya adalah membiasakan diri dengan berbagai materi berbahasa Inggris, seperti buku, koran, program di TV, dan radio. Berbagai media tersebut memang bisa digunakan untuk membantu belajar bahasa Inggris. Lagi-lagi, hingga sekarang saya melakukannya. Bahkan ekstrimnya, dulu saya benar-benar tidak mau menonton film berbahasa Inggris dengan terjemahan. Selalu saya matikan sehingga saya ‘dipaksa’ untuk mengerti apa yang dibicarakan orang-orang di film itu. Tidak puas dengan jawaban tersebut, ada lagi cara lain yaitu dengan menghafalkan kosa kata secara tematik. Ini yang paling mudah karena struktur pengetahuan kita, kalau menurut Piaget, seperti peta yang menghubungkan suatu konsep dengan konsep lain. Saya langsung teringat kamus bahasa Inggris pertama saya yang memang bentuknya tematik. Saya teringat juga guru bahasa Jerman saya pernah memaksa seluruh muridnya untuk me-label barang-barang di sekitar kami dengan kosa kata bahasa Jerman sehingga kami selalu ingat – ini berlaku ketika belajar tentang barang-barang sehari-hari, ya.

Dari seluruh tips di atas, sepertinya satu benang merah bisa ditarik. Belajar bahasa membutuhkan latihan karena bahasa bukan hanya pengetahuan, tetapi juga keterampilan. Keterampilan bahasa, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti “ kecakapan seseorang untuk memakai bahasa dalam menulis, membaca, menyimak, atau berbicara”. Kata kerja di dalam definisi tersebut adalah ‘memakai’. Jadi, bagaimana cara belajar bahasa Inggris? Ya dipakai! As simple as that! Masalahnya…. banyak masalahnya. Tidak tahu mau menggunakan dimana, malu belum lancar, tidak tahu kosa kata yang tepat, dan lain-lain. Sayangnya, alasan tersebut tidak akan berlaku kalau dipaksa, kan? Mau tidak mau, suka tidak suka.

Bicara mengenai paksa memaksa, saya ingin berbagi pengalaman saya yang dipaksa belajar bahasa Inggris. Tidak dari SMP, tidak dari SMA, saya dipaksa berbahasa Inggris sejak sebelum masuk TK. Mungkin ada yang lalu berkomentar, kejam ya orang tua saya? Dulu, saat malas-malasnya belajar bahasa Inggris, tentu saya menganggap orang tua saya kejam. Sekarang? Saya merasakan sekali besar manfaat dari keterpaksaan saya berbahasa Inggris itu. Sekarang, kalau mendapat pertanyaan “Jadi, Za, berapa lama kamu belajar bahasa Inggris?”, jawaban saya adalah “My whole lifetime”.

Sejarah belajar bahasa Inggris saya dimulai ketika orang tua saya menggabungkan saya dengan sebuah kelompok kecil anak-anak seusia saya, sekitar 3-4 tahun, yang bersama-sama bermain sambil belajar. Saat itu, guru bahasa Inggris saya ‘bule’ tulen yang berasal dari Australia. Kami akan datang di sore hari setiap seminggu sekali ke rumahnya. Saya ingat, Beth namanya. Disana, kami melakukan banyak kegiatan, seperti mewarnai, menggambar, dan mainan-mainan anak kecil lainnya. Lalu bahasa Inggris-nya dimana? Anak sekecil kami, yang bahasa Indonesia pun masih minim sekali, lalu harus mengerti dan berkomunikasi dengan Beth yang bahasa Inggrisnya pun Australian sekali. Tentu saja saat itu saya…. tidak mengerti sama sekali! Walaupun tidak mengerti dan sulit berkomunikasi, saya ingat bahwa saya suka sekali datang ke rumah Beth. Berhasil kah saya berbahasa Inggris? Oh, tentu tidak! Sedih ya? Hehe.. Tapi, waktu itu manalah saya mengerti tentang malu kalau tidak bisa karena anak kecil memang banyak tidak bisanya. Saya ambil saya positif-nya, senang-senangnya. Orang tua saya pun tidak pernah memaksa saya untuk menggunakan bahasa Inggris (pada saat itu).

Masuk SD, saya pun beralih ke lembaga kursus bahasa Inggris yang lebih ‘proper’ dengan guru-gurunative speaker, atau ‘bule’ asli. Dengan kemampuan yang sedikit lebih karena sudah terbiasa mendengar kata-kata berbahasa Inggris, masuklah saya ke level 2 untuk anak-anak. Hingga awal kelas 6 SD, saya tidak pernah berhenti kursus bahasa Inggris. Saya berhenti ketika kelasnya sudah habis alias mentok. Saya sudah masuk di kelas anak-anak, hingga remaja, hingga kelas dewasa – ya, di usia saya yang masih SD saat itu. Pintar dong, saya? Hahaha lagi-lagi jawabannya tentu tidak. Beberapa kali ujian bahasa Inggris saya mendapat nilai ‘Poor’. Tidak mengerti struktur bahasa atau yang biasa dikenal sebagai ‘grammar’, itulah masalah saya. Membaca,  mendengar, dan berbicara, semua saya bisa. Mengisi pilihan ‘grammar’? 0 lah nilai saya. Memalukan juga kalau diingat-ingat.

Tidak hanya di tempat kursus, saya pun harus berbahasa Inggris di rumah. Ya, setidaknya pada saat makan malam. Saya ingat, orang tua saya memberlakukan aturan bahwa kami semua hanya boleh berbahasa Inggris saat makan malam. Mau tidak mau, ini harus kami lakukan. Dengan bahasa Inggris yang minim, tidak apa-apa! Yang penting mencoba. Pembiasaan ini, saya rasakan sekali manfaatnya saat ini. Jangan pernah menyepelekan kondisi apapun karena kita bisa berlatih bahasa Inggris dimanapun dan dengan cara apapun. Selain itu, saya juga mulai membaca buku berbahasa Inggris pada saat SD. Buku berbahasa Inggris pertama yang saya baca adalah Harry Potter. Ngerti, Za? Not at first. Saya berhenti di bab pertama dan beralih ke buku bahasa Indonesianya. Setelah itu, saya coba baca lagi buku yang berbahasa Inggris sampai selesai.

Selain orang tua saya, saya ingat dulu sekali waktu saya belum masuk sekolah, saya sering diajak oleh nenek saya pada saat ia kursus bahasa Inggris bersama ibu-ibu Dharmawanita. Saya sih tidak ingat apa yang dibicarakan dan dipelajari saat itu karena saya masih terlalu kecil. Tapi saya ingat, ketika saya mulai mengerti bahasa Inggris, nenek saya sering menggunakan bahasa tersebut untuk berbicara dengan saya mengenai hal-hal yang ‘rahasia’. Maksudnya, hal-hal yang tidak boleh diketahui adik-adik sepupu saya. Dulu saya sering menginap di rumah nenek saya bersama dengan adik dan adik-adik sepupu saya. Saat ingin berbicara mengenai hal yang ‘rahasia’, nenek saya menggunakan bahasa Inggris. Senang rasanya saat itu karena dianggap dewasa oleh nenek saya. Haha.

Intinya, selama bersekolah hingga SMA, saya tidak pernah diperbolehkan berhenti kursus bahasa Inggris. Orang tua saya tidak terlalu peduli dengan hasil ujian bahasa Inggris saya atau berapa kali saya absen kelas bahasa Inggris. Mereka hanya ingin saya kursus agar terus-menerus melatih kemampuan saya berbahasa Inggris. Lucunya, saat SMP saya baru menyadari bahwa nilai bahasa Inggris saya di sekolah cukup bagus, tetapi saya tidak pernah bisa menjelaskan mengapa saya memilih jawaban tertentu untuk pertanyaan tertentu. Saya tidak tahu alasan saya memilih jawaban yang benar. Saya selalu bilang, “Pakai perasaan saja”. Tentunya, semakin lama saya tidak bisa selalu mengandalkan perasaan karena banyak bahasa Inggris yang saya gunakan merupakan bahasa tidak formal. Di SMA, saya ingat sekali saat satu kelas saya diharuskan menulis 12 jenis tenses dalam bahasa Inggris beserta dengan contohnya. Saat itu lah saya baru mengerti mengenai logika struktur dalam bahasa Inggris. Bahasa Inggris menjadi semakin mudah dimengerti, sekarang tidak hanya dalam hal membaca, mendengarkan, dan berbicara, tetapi juga dalam hal struktur bahasa.

Di perkuliahan, sebagian besar buku yang digunakan berbahasa Inggris. Hal ini membantu saya untuk selalu berlatih menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, saya juga mulai menerapkan kemampuan bahasa Inggris saya dalam mengajar. Saya mengajar bahasa Inggris untuk siswa SD, SMP, SMA, kuliah. Niat saya hanya satu, membantu. Tidak berarti saya lebih pintar dari orang-orang yang saya ajar, saya mungkin lebih banyak berlatih. Hingga saat ini, saya masih menggunakan bahasa Inggris dalam kehidupan saya sehari-hari. Bahkan, kalau diingat-ingat lagi, saya mendapatkan semua pekerjaan saya karena keterampilan saya berbahasa Inggris. Lucu, ya? Tidak pernah kuliah jurusan sastra Inggris atauTeaching English as Foreign  Language tapi kok jadi guru bahasa Inggris?

Lalu, bagaimana cara cepat berbahasa Inggris? Tidak ada. Keterampilan bahasa membutuhkan latihan. Menjadi lancar menguasai bahasa tertentu membutuhkan waktu, banyak untuk beberapa orang dan sedikit untuk orang-orang lain. Saya tidak belajar bahasa secara instan. Saya belajar dengan perjuangan. Selamat berlatih berbahasa Inggris!

*Tulisan ini dibuat hanya untuk berbagi pengalaman dan tidak menunjukkan bahwa bahasa Inggris lebih penting dari bahasa lain, ya. Saya masih berbahasa Indonesia dan masih belajar bahasa-bahasa lainnya juga. 🙂

Jan 12, 2016

Belajar Berumah Tangga dari Negeri Seberang

12196229_10153731241693679_1202522400558471331_n

First of all, pardon my language karena sudah lama sekali tidak menulis dalam bahasa Indonesia. Tulisan ini akan menggunakan bahasa yang lebih santai dan tidak formal, anggap saja seperti saya berbicara.

Anyway, sebenarnya hanya ingin sharing sih tenang rumah tangga. Walaupun saya adalah newbie di ranah ini, tapi boleh lah yaa sekedar curcol-curcol dan menyampaikan opini. Jadi, 3 bulan terakhir ini adalah periode terpanjang saya dan suami hidup bersama.

Walaupun sudah lebih dari 1 tahun menikah, kami awalnya hidup terpisah dan mengalami LDM – Long Distance Marriage. Well, setiap kondisi hidup memiliki ujiannya masing-masing, kan? We’ve succeeded going through that phase. Lalu kami harus berpindah ribuan kilometer jauhnya dari ‘rumah’ kami. A fresh start for us to build a new life. Disini, di tanah rantau di negeri orang ini, kami mulai benar-benar berumah tangga.

Beberapa tahun lalu, saya adalah pengamat. Saya tinggal di negara asing dan mengamati keluarga-keluarga Indonesia, yang boleh dibilang anti-mainstream. Kenapa? Karena kehidupan berumah tangga disini, walaupun dari sisi pengamat, memang berbeda dengan apa yang dianggap ‘normal’ di Indonesia. Yang jelas, hasil pengamatan saya saat itu membuat saya kagum. Di keluarga pelajar Indonesia, saya tidak melihat ada perilaku klise ‘ayah bekerja dan ibu memasak’. Yang ada, ‘ayah dan ibu bekerja dan keduanya juga memasak bersama’ dan karena salah satu atau salah dua dari ayah dan ibu adalah pelajar, maka mereka juga belajar. Sebagai contoh, sebuah keluarga yang cukup dekat dengan saya menunjukkan bagaimana pasangan suami istri dapat bekerja sama dengan baik. Sang suami setiap hari ke kampus untuk belajar, meninggalkan istrinya yang harus mengantar anak dan kemudian bekerja paruh waktu. Siangnya, si istri yang sudah selesai bekerja harus menjemput anak. Apabila si istri bekerja lebih lama, maka suami harus menggantikan tugas menjemput anak. Lalu sorenya si istri – dan suami kalau sudah ada di rumah – memasak bersama sambil mengobrol. Kemudian mungkin malamnya mereka harus membersihkan rumah atau memasak pesanan makanan. Melihat kondisi ini, saya kagum karena kerja sama antara suami dan istri ini seperti well-oiled machine. Keduanya bekerja, keduanya berusaha tanpa mengesampingkan kewajiban dasar sebagai suami dan istri.

Dari hanya berperan sebagai pengamat, sekarang saya mengalaminya sendiri. Saya dan suami hidup berdua di negara yang jauh. Now, we call this place home. Karena kami baru berdua saja, semua memang lebih mudah, tidak se-hectic gambaran diatas. Tapi tetap saja hidup disini berbeda dengan di Indonesia. Tidak ada ‘mbak’ atau ‘bibi’ yang membantu, tidak ada juga warteg yang meringankan beban memasak. Semua harus dikerjakan sendiri. Disini, suami saya banyak menghabiskan waktu untuk belajar di kampus dan berorganisasi (iya, suami saya aktivis – nggak bisa diam maksudnyaa). Saya? Saya banyak berkegiatan dengan ibu-ibu warga Indonesia yang bermukim disini sambil melakukan usaha kecil-kecilan yang menghasilkan tambahan uang jajan. Kondisi ini membuat saya dan suami harus pintar-pintar membagi waktu dan pekerjaan sehingga hidup kami lancar. Kadang-kadang suami harus rela jajan diluar ketika saya terlambat bangun dan tidak sempat menyiapkan bekal. Kadang-kadang juga saya harus bangun hingga larut malam menunggu suami pulang dari rapat organisasinya. Untungnya, kami memahami posisi masing-masing dan menghargai pasangan kami sebagai individu. Saya tidak harus diam di rumah menunggu suami saya pulang karena kata suami saya ‘Kalau kamu dirumah terus dan nggak bersosialisasi, kamu nggak akan jadi diri kamu sendiri dan nggak akan jadi diri kamu yang aku suka’. Beberapa kali saya membantu suami saya belajar dan kemarin, saat banyak pekerjaan menumpuk, suami saya menyuapi saya saat bekerja. Mungkin kami memang belum di tahap well-oiled machine, but we’re getting there.

Seringkali saya berdiskusi dengan suami. Mungkin kalau tidak tinggal disini, kami tidak akan seperti ini ya? Mungkin saya tidak akan belajar macam-macam resep masakan. Mungkin suami saya tidak akan pernah bisa memasak. Mungkin kami tidak akan berlatih tentang kerja sama. Kondisi saat ini tentu jauh dibandingkan dengan keinginan kami sebelum menikah. Suami saya ingin istri yang tinggal di rumah dan mengurus anak-anak. Kerja dan kegiatan lain diperbolehkan asal hanya menghabiskan sedikit saja waktu di luar rumah. Suami saya akan bekerja, pergi pagi pulang malam. Kenyataannyaa? Jauh ya dari mimpi kami.

Tapi dengan begini kami belajar bahwa idealisme akan kalah dengan realita. How to cope with the reality is what important. Kami belajar bahwa intinya dalam berumah tangga kami harus bekerja sama dan saling mendukung. Masih ada beberapa bulan lagi untuk melatih kebiasaan baik tersebut dan semoga sampai di Indonesia nanti kami masih akan terus menerapkannya!

Dec 09, 2015

Crossing Path

We cross path with people we meet during our life. I crossed path with my husband when we were still in elementary school. We were just acquaintance until we became friend years later, when we were in junior high school. We walked the same path but then we moved to different directions. I was here, he was there. I am sure that we were in a very opposite side of the world. I may not be his type; he was definitely not my type.

Then, we crossed path again. We communicated with each other and found the similarities between us. Funny how people can feel very close even when they are so far away, right? It was indeed funny how we could connect although we spent years apart. After that we met again, and again and again.

Now here we are, walking on the same path; hopefully not for a short crossing path, but forever and ever.

Photo Credit: https://www.instagram.com/ryantoanugroho/

Nov 19, 2015

Ngebadut

The word above means ‘being a clown’. This is not about being a clown in literal meaning. This is being something that you do with all your heart.

Today I saw a post of my friends saying that she is now in a rural area doing her job as a researcher – I assume because she is collecting data and interviewing. However she cannot help herself not to ‘ngebadut’, her term of saying that she is teaching. It may not really teaching in a classroom, but giving instruction to a classroom. Yeah, it still counts as teaching, right?

After reading that, I remembered my aunt once said that it is difficult to find a teacher. There are many people with good qualification and experience, but finding one with the ‘heart’ to teach is difficult. I agree with that. I agree that for some people, they cannot resist themselves to not ‘ngebadut’ because that’s what their heart always tell them.

Maybe I kind of miss it. I kind of miss having that kind of interaction with students. It is not a job, it is not just something to do to have fun or to have money. It is something that needs to be done with the heart. Maybe that’s the reason that a simple cute message from my students can make me smile, because it touched my heart.

Oct 14, 2015