Belajar untuk…. Belajar (?)

Untuk apa sih kita belajar? Tiba-tiba kepikiran pertanyaan ini karena pada awal-awal tahun ajaran baru ini, saya cukup banyak bertemu dengan orang tua murid dan para murid dengan berbagai cerita mereka. Ada yang khawatir mendapatkan nilai jelek, ada yang khawatir tidak diterima di perguruan tinggi, ada lagi yang mempertanyakan untuk apa mereka belajar dan bersekolah.

Saat berdiskusi dengan seseorang, ada satu pernyataan yang saya ungkapkan… lalu saya revisi… lalu saya pertanyakan. Saya bilang “Yah, belajar kan bukan untuk nilai…”. Sebagai pendidik dan konselor yang berkata seperti itu, langsung dong saya diprotes oleh orang tua murid. Langsung pula saya revisi “Maksudnya, nilai itu tetap dikejar, tetapi kalau memang siswa memiliki ketertarikan, belajar seharusnya jadi menyenangkan tanpa harus ‘didorong’ oleh motivasi mendapatkan nilai bagus’. Yah, begitulah kira-kira. Tapi nih, saya jadi berpikir dan bertanya lagi. Belajar untuk apa?

Mohon maaf lahir batin kalau apa yang saya pahami dan yakini berbeda dengan pemahaman banyak netijen, hehe. Bagi saya, belajar ya untuk belajar. Mendapatkan pengetahuan dan informasi, mendapatkan kesempatan untuk melakukan refleksi, mendapatkan kesempatan untuk berpikir. Cukupkah hal-hal tersebut menjadi motivasi yang membuat kita belajar? Bagi saya, pengalaman belajar itu lah yang harus bermakna dan menjadi inti dari belajar – bukan lalu mendapat nilai berapa. Kalau semua diukur dengan nilai, kapan mau jadi pembelajar sepanjang hayat?

Saya juga percaya bahwa menempuh pendidikan dan belajar bukanlah persiapan untuk hidup. It is life itself. Ya masa ketika kita belajar, kehidupan kita di-freeze, gitu? No, right? Makanya, belajar bisa dilakukan dimana saja. Institusi, organisasi, atau situasi hanyalah alat belajar. Esensi dari belajar sendiri menjadi proses yang dijalani dan dimaknai secara sangat individual. Banyak juga kok, orang-orang yang bersekolah dan berpendidikan tinggi, tetapi pada prosesnya tidak belajar. Hal ini juga yang membuat saya percaya bahwa belajar tidak terbatas ruang dan waktu.

Yah, intinya, belajar itu proses yang dimaknai sendiri oleh individu yang kemudian membuat si individu tersebut berubah. Berubahnya bisa dalam hal kognitif, afektif, perilaku, apa saja. Hasil berupa sesuatu yang terukur ini tentunya akan mengikuti proses yang dilakukan. Pastinya, hasil tersebut juga dipengaruhi oleh hal-hal lain seperti stimulus yang diterima, bagaimana individu memproses informasi, dan lain-lain. Namun, bagi saya, belajar dilakukan bukan melulu karena hasil yang harus atau akan diperoleh. Toh, ilmu dan pengalaman pasti akan ada manfaatnya. Bagi saya, belajar ya untuk belajar.

Advertisement

Home Away from Home: Pendidikan (Secondary School & High School)

Minggu ini, giliran pendidikan tingkat menengah yang akan kami bahas, sebagai lanjutan dari seri penjelasan pendidikan anak di Inggris. Seperti edisi sebelumnya, untuk menambah keakuratan informasi yang disajikan, selain melakukan riset sederhana, kami juga melakukan wawancara dengan seorang warga Indonesia yang tinggal di Birmingham dan memiliki putri yang bersekolah di secondary school, yaitu mbak Ari Kristiana. Secondary school ini jika di Indonesia akan setara dengan tingkat SMP dan SMA kelas 7-11, sehingga bagi anda yang memiliki putra-putri dengan rentang umur 11-16 tahun, maka anda bisa menyimak pembahasan yang akan kami paparkan berikut. Bagaimana dengan anak usia 17 tahun? Di Indonesia, anak usia 17-18 masih ada di tingkat kelas 12 SMA. Namun, Inggris memiliki sistem high school yang agak berbeda. Anak lulus SMA pada usia 16 tahun dan pada usia 17 tahun mereka dapat memilih untuk langsung bekerja, masuk ke college (dengan syarat mendapatkan sertifikat A level agar dapat mendaftar ke universitas), atau mengikuti kelas khusus untuk mendapatkan sertifikat tertentu.

Pendaftaran Sekolah

Sistem pendaftaran sekolah, secara umum memang sama saja seperti pada nursery maupun primary school, yaitu memerlukan dokumen berupa akta kelahiran dan bukti alamat tempat tinggal. Eligible atau tidaknya anak untuk masuk ke level secondary ini, tetap akan didasarkan pada sudah cukupkah usia calon murid tersebut sesuai yang disyaratkan. Selain itu, sistem rayon juga berlaku disini, dimana calon murid akan dialokasikan pada sekolah dengan jarak terdekat dari tempat tinggal.

Sama juga dengan primary school, pendaftaran bisa dilakukan online. Bagi Anda yang akan tinggal di Inggris dan Wales, website ini: https://www.gov.uk/apply-for-secondary-school-place bisa digunakan untuk menemukan cara pendaftaran secondary school di area tempat tinggal Anda.

Perlengkapan Sekolah

Lagi-lagi mirip dengan apa yang diterapkan di primary school, perlengkapan sekolah di secondary school pun mirip-mirip. Meskipun buku tulis disediakan oleh masing-masing sekolah, alat-alat tulis yang akan digunakan anak harus dibeli sendiri oleh orang tua. Seperti biasa, buku paket rujukan pun disediakan oleh sekolah dengan sistem ‘pinjaman’. Jadi, anak-anak tidak diharuskan memiliki text book atau buku paket.

Selain itu, seragam juga merupakan perlengkapan sekolah yang cukup penting. Seragam sekolah umumnya bisa didapat di toko-toko atau supermarket, sedangkan sweater atau setelan jas (ya, beberapa SMP di Inggris memiliki seragam berupa setelan jas lengkap dengan dasi) bisa dibeli di sekolah masing-masing. Pada jenjang ini, karena jumlah barang bawaan juga lebih banyak, sekolah membebaskan siswa untuk membawa tas yang sesuai dengan pilihan pribadi. Seluruh jenjang pendidikan wajib di Inggris memberlakukan sistem full day, dimana siswa berada di sekolah mulai dari sekitar pukul 08.45 hingga 15.30. Oleh karena itu, makanan adalah hal yang wajib disediakan, baik oleh sekolah maupun orang tua. Biasanya, siswa SMP bisa membawa bekal dari rumah atau membeli makan di kantin sekolah. Mirip ya, dengan di Indonesia. Tentunya harga setiap jenis makanan berbeda-beda. Bagi Muslim, beberapa sekolah menyediakan pilihan menu halal sehingga tidak perlu khawatir apabila tidak membawa makan siang.

Kurikulum dan Kegiatan Sekolah

Secara umum, kurikulum dibagi menjadi dua yaitu Key Stage 3 untuk sekolah year 7-9, dan Key Stage 4 untuk year 10-11. Mata pelajaran wajib untuk kedua tingkat tersebut adalah Matematika, English (writing dan reading), dan Science.

Jumlah mata pelajaran yang dipelajari di Key Stage 3 adalah yang paling banyak diantara jenjang pendidikan lain. Pelajaran-pelajaran wajib tersebut adalah Art and Design, Citizenship, Design and Technology (misalnya tata boga, tata busana, dan pertukangan), Languages (bahasa asing selain Inggris), Computing, Geography, History, Music, dan Physical Education (olahraga). Seperti biasa, Religious Education adalah mata pelajaran wajib, ditambah dengan Sexual Education bagi siswa SMP-SMA. Mata pelajaran yang kami sebutkan merupakan panduan general yang isinya akan tergantung sekolah masing-masing. Misalnya, ada sekolah yang menentukan tata boga sebagai isi mata pelajaran Design and Technology, atau menentukan bahasa Perancis dan bahasa Spanyol sebagai isi dari mata pelajaran Languages.

Bagaimana dengan Key Stage 4? Pada jenjang ini, selain tiga mata pelajaran wajib di atas, siswa juga akan mendapatkan Religious Education, Sexual Education, Citizenship, Computing, PE, salah satu dari pelajaran Arts (Music, Art and Design, Drama, Media Arts, Dance), Design and Technology, salah satu dari pelajaran Humanities (History, Geography), dan salah satu dari pelajaran Languages (bahasa asing yang ditawarkan oleh masing-masing sekolah).

Biasanya, sekolah akan menetapkan target nilai pada awal term berdasarkan pencapaian anak di akhir studinya di jenjang primary school. Nah, ketika ada siswa yang merupakan non-UK dan baru masuk sekolah Inggris pada level secondary, pihak sekolah akan sedikit kesulitan untuk menentukan target nilai karena tidak memiliki dasar nilai jenjang sekolah sebelumnya, sehingga tidak jarang target yang ditetapkan untuk anak tersebut tergolong cukup rendah.

Sekolah di Inggris berbeda dengan sekolah di Indonesia, dimana sekolah di sini memang lebih banyak menekankan kepada praktek daripada teori. Di level secondary ini, seperti halnya jenjang pendidikan sebelumnya, kegiatan di dalam dan luar sekolah juga di seimbangkan porsinya. Misalnya saat anak sedang diajarkan materi science, maka pihak sekolah akan memberikan jadwal dimana anak akan diajak berkunjung ke museum science untuk lebih mengenalkan mereka terhadap objek yang sedang diajarkan.

Untuk menunjang kelancaran belajar siswa, setiap anak juga diberikan school planner book oleh pihak sekolah yang gunanya untuk mempermudah siswa mengorganisir homework dan juga membantu komunikasi antara orang tua dan pengajar. Melalui school planner book ini, murid juga diajarkan untuk dapat berlatih bertanggung jawab atas aktivitas belajar apa yang mereka kerjakan di sekolah dan di rumah. Setiap hari, anak diharuskan mencatat homework apa saja yang diberikan dan juga memberikan tick mark untuk pe er yang telah selesai dikerjakan. Kemudian, seminggu sekali, orangtua murid harus menandatangani school planner ini sebagai tanda kontrol dan monitoring terhadap belajar anak. Pengajar pun akan melakukan pengecekan berkala terhadap isi dan pemeliharaan buku tersebut oleh siswa.

Selain melalui planner book, orang tua juga dilibatkan dalam monitoring progress perkembangan siswa di sekolah. Orang tua mempunyai hak untuk bertemu dengan guru setidaknya satu kali dalam setahun. Pertemuan ini dilakukan untuk membahas perkembangan anak dan waktunya tidak harus di akhir tahun. Jadi, tidak seperti di Indonesia, report tidak harus diambil oleh orang tua. Terkadang, report diberikan melalui anak atau sudah tersedia online. Disamping satu pertemuan wajib, orang tua bisa saja meminta pertemuan khusus dengan guru untuk membahas hal-hal tertentu. Biasanya, perjanjian dan komunikasi seperti ini dilakukan melalui email.

Evaluasi Belajar

Adapun penilaian yang diberikan oleh sekolah di Inggris sangat lengkap, meliputi bagaimana effort dan attitude siswa terhadap pelajaran tersebut. Dalam report yang diberikan dari sekolah, disajikan urut setiap mata pelajaran dan sangat jelas tertulis pendapat dari masing-masing guru yang mengajar setiap pelajaran tentang bagaimana siswanya melakukan effort untuk bisa mengikuti pelajaran yang ada, termasuk pujian dan masukan untuk perkembangan anak pada term berikutnya. Meskipun begitu, di Inggris, anak-anak akan selalu naik kelas, hanya saja mungkin ada yang hasil nilai akhirnya di bawah atau di atas target yang telah ditentukan.

Tidak seperti di Indonesia dimana ujian dilakukan pada akhir masa SMP (kelas 9) dan akhir masa SMA (kelas 10), di Inggris, ujian dilakukan sepanjang kelas 10-11. Wah, mungkin juga ini alasannya mengapa pelajaran di Key Stage 4 lebih sedikit dibandingkan pelajaran di Key Stage 3. Sistem ujiannya pun berbeda dengan yang dilakukan di Indonesia. Pada akhir masa sekolah wajib, siswa di Inggris akan mengikuti ujian final yang disebut GCSE  (General Certificate of Secondary Education). Ujian ini terdiri dari 9 mata pelajaran dengan Math, English, dan Science sebagai mata pelajaran wajib. Lalu 6 pelajaran sisanya dapat dipilih sendiri oleh siswa pada awal kelas 9. Jadi, di kelas 9 siswa sudah memiliki gambaran mengenai pelajaran apa yang akan ia tempuh ujiannya. Ketiga pelajaran wajib tersebut akan diujikan dalam bentuk exam, ya semacam UAN di Indonesia. Namun, exam ini bukanlah satu-satunya metode yang diberlakukan sebagai dasar pengambilan nilai dalam GCSE. Pelajaran Science, misalnya, memulai ujian GCSE di kelas 10 yang tesnya dibagi-bagi menjadi beberapa bagian yang beragam bentuknya, nah penilaian semacam ini dikenal dengan control assessment. Oh ya, waktu pengambilan GCSE ini juga disesuaikan dengan tingkat kemampuan anak. Jadi, ada siswa yang mulai ujian GCSE di kelas 10 dan ada juga yang mulai ikut ujian GCSE di kelas 11. Apa gunanya nilai GCSE? Tentunya bukan untuk menentukan kelulusan, ya.. Hehe. Setelah selesai menempuh GCSE ini, usai sudah wajib belajar untuk siswa di Inggris, dan mereka pada tahap ini sudah eligible untuk melamar pekerjaan. Tentu saja semakin baik nilai GCSE nya, semakin terbuka lebar pula kesempatan mencari pekerjaan. Waah.. bisa anda bayangkan bukan jika dalam usia 16 tahun saja anak-anak di Inggris sudah harus mulai menentukan masa depan mereka apakah akan kuliah atau bekerja?

Bagaimana jika setelah lulus GCSE anak ingin melanjutkan kuliah? Nah, ternyata ujian GCSE saja tidak cukup, melainkan harus melanjutkan ke sixth-form atau jenjang A-level selama dua tahun dan terdiri dari year 12 dan 13. Sixth-form ini sudah bukan lagi merupakan wajib belajar ya, tetapi tetap akan gratis dari biaya, untuk yang melanjutkan di state school atau state college. Subject yang dipilih untuk pendidikan A-level ini sebaiknya sudah harus ditentukan dari awal agar sesuai dengan minat atau keinginan mereka akan kuliah di bidang apa di collegenya nanti.

 

Dengan berakhirnya sharing tentang secondary school ini, maka selesai juga pembahasan kami tentang pendidikan anak di Inggris. Dengan semua plus minus yang ada dalam sistem pendidikan di sini, maka kini giliran anda memutuskan apakah akan membawa serta anak dan menyekolahkannya di Inggris. Meskipun terlihat sepele, tidak ada salahnya lho mempersiapkan anak anda terutama dari segi mental dan jika memungkinkan penggunaan bahasa Inggris dalam keseharian mereka. Harapannya, ketika sampai di sini, anak-anak lebih cepat beradaptasi baik dengan lingkungan, sistem, dan komunikasi di sekolah yang baru. Yakin saja bahwa anak anda pasti mampu kok catch-up dengan sekolahan di sini.

Photo Source: http://images4.content-bc.com/commimg/eduk/article/4070.jpg

Home Away from Home: Pendidikan (Primary School)

Pembahasan minggu ini merupakan postingan lanjutan untuk seri pendidikan anak di Inggris yang akan lebih rinci menjelaskan tentang reception dan primary school. Untuk anda yang membawa serta anak dengan rentang usia 4-11 tahun, maka rasanya perlu untuk mencermati hal-hal terkait dengan jenjang pendidikan dasar ini. Tulisan ini, lagi-lagi, kami sampaikan dengan dasar pencarian dokumen-dokumen terkait pendidikan SD dari pemerintah UK (https://www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/210969/NC_framework_document_-_FINAL.pdf) dan Birmingham City Council (http://www.birmingham.gov.uk/online-admissions) serta hasil wawancara kami dengan Mbak Lutvi Suroya, seorang warga Indonesia yang tinggal di Birmingham yang memiliki 3 orang anak yang bersekolah di jenjang sekolah dasar. Berikut ini penjelasan kami.

 

Pendahuluan

Sekolah dasar, atau primary school, dimulai dari jenjang kelas Reception hingga Year 6. Reception class mungkin semacam TK B apabila disandingkan dengan sistem pendidikan dasar di Indonesia. Kelas ini berfungsi sebagai kelas transisi antara TK (Nursery) dan SD (Year 1). Ada beberapa sekolah yang menamai fase mulai dari Reception hingga Year 2 sebagai ‘Infant School’. Setelah itu, siswa kelas 3-6 berada pada tahap ‘Junior School’. Nah, perpindahan dari Infant School ke Junior School pun membutuhkan proses ulang pendaftaran sekolah. Ya, jadi anggap saja tahap SD ini dibagi menjadi 2.

 

Mendaftarkan Anak ke Sekolah Dasar

Beberapa state primary school biasanya juga mempunyai nursery dan reception dalam satu manajemen, meskipun terkadang ada pula yang letak bangunannya terpisah. Dalam hal ini, jika putra-putri anda sudah bersekolah di nursery dan ingin melanjutkan di jenjang primary school yang sama, maka anak tidak bisa otomatis masuk dan diakui status kesiswaannya, melainkan tetap harus melakukan pendaftaran ulang dan mengikuti tahapan screening untuk level reception yang ada. Sistem pendaftaran pun menganut siapa cepat dia dapat, alias kuota yang tersedia tetap terbatas dan bergantung kepada siapa yang terlebih dahulu mendaftar. Memang ada kecenderungan adanya prioritas bagi calon murid yang berasal dari nursery yang sama, akan tetapi anda tetap tidak boleh terlalu pede ya, karena kemungkinan tidak diterima juga tetap ada. Apabila anda datang ke Inggris pada tengah-tengah tahun ajaran baru, anda tetap bisa datang ke sekolah dan mencoba mendaftar. Setelah mendaftar, dan apabila diterima, maka pihak sekolah akan memberitahukan via telepon. Beberapa sekolah juga akan mengeset jadwal home visit untuk mengetahui kebenaran keberadaan tinggal anak dengan keluarga, melihat keseharian anak, serta membicarakan tentang peraturan sekolah dan makanan.

Sebaiknya mendaftar sekolah sejak dari Indonesia atau setelah sampai di Inggris? Nah, sebenarnya urusan sekolah anak ini juga tidak terlalu ribet kok ya, asalkan anda sudah mencari informasi sebelumnya. Jadi, saran kami sih, sebaiknya datang dan sampai dulu disini, kemudian setelah mendapat rumah tinggal baru mendaftar sekolah. Dengan begitu, selain anda dan anak bisa sedikit beradaptasi dengan suasana dan lingkungan sekitar, kemungkinan mendapatkan sekolah yang lebih dekat dengan lokasi rumah juga lebih besar. Meskipun demikian, jika anda tetap ingin mendaftar sejak sebelum sampai di Inggris, tidak mengapa. Namun, anda harus siap dengan risiko kehilangan kursi karena sekolah pasti akan mendahulukan calon murid yang mendaftar dan sudah berdomisili di lokasi terdekat.

Seperti yang telah disebutkan di atas, untuk mendaftarkan anak ke sekolah tertentu, Anda bisa langsung datang ke sekolah tersebut dan berbicara dengan pihak sekolah. Namun, beberapa tahun belakangan ini, pendaftaran sekolah sudah bisa dilakukan secara online. Hal ini tentu memudahkan orang tua karena tidak perlu mendatangi satu per satu sekolah tujuan (in case anak tidak diterima di sekolah tujuan utama). Melalui sistem online, anak akan langsung dirujuk ke sekolah terdekat dengan rumah dan apabila kuota sekolah tersebut telah penuh, secara otomatis anak akan dipindahkan ke sekolah lain yang terdekat dengan lokasi rumah.

Dokumen apa saja yang diperlukan pada saat mendaftarkan anak ke sekolah? Sederhana. Tidak seperti sistem pendaftaran sekolah di Indonesia yang mengharuskan orang tua menyiapkan belasan dokumen serta menyiapkan anak untuk ikut tes, di Inggris, mendaftarkan anak ke sekolah hanya membutuhkan akte kelahiran anak serta bukti yang menunjukkan alamat tempat tinggal. Akte kelahiran digunakan untuk mengetahui usia anak, yang berkaitan dengan jenjang kelas anak, sedangkan bukti tempat tinggal digunakan untuk mengetahui apakah benar anak tersebut mendaftar di sekolah yang memang dialokasikan untuk daerah tempat tinggal tersebut. Selain itu, orang tua juga diminta untuk mengisi formulir pendaftaran dari internet apabila mendaftar online atau dari sekolah langsung apabila langsung mendaftar ke sekolah. Ingat, tidak ada pungutan biaya sepanjang proses pendaftaran ini, ya.

 

Perlengkapan Sekolah

Awal masuk sekolah bagi anak identik dengan berbelanja perlengkapan sekolah, seperti buku, tas, sepatu, dan lain-lain. Di inggris, perlengkapan yang diperlukan diantaranya adalah seragam sekolah. Seragam sekolah, selain melalui online shopping, tersedia juga di toko-toko yang umum seperti ASDA, Tesco, dan sesekali di ALDI dengan harga standar. Selain itu, seragam sekolah dapat juga dibeli di departemen store menengah ke atas seperti di Mark & Spencer, debenhams, dan BHS, tentunya dengan harga yang lebih mahal. Selain itu, siswa sekolah di Inggris juga dianjurkan untuk memakai sepatu hitam yang juga bisa diperoleh di supermarket tersebut di atas. Namun, ada juga perlengkapan sekolah yang harus dibeli di sekolah karena ada badge atau logo sekolah sebagai penanda identitas. Barang-barang tersebut adalah tas sekolah, dan jumper atau cardigan. Cukup sudah acara beli-beli perlengkapan sekolah di Inggris. Bagaimana dengan buku?

Peralatan belajar seperti alat tulis dan buku pelajaran sepenuhnya difasilitasi gratis dari sekolah, dimana siswa akan dipinjami buku ajar sesuai dengan materi yang diajarkan selama di sekolah. Pada akhir kelas, peralatan tersebut akan disimpan di sekolah pada rak yang ditentukan sesuai dengan nama mereka, lalu siswa hanya akan membawa pulang buku untuk homework dan latihan saja. Buku pelajaran yang free ini khusus untuk buku ajar wajib saja. Artinya, jika orang tua merasa perlu untuk mencarikan buku tambahan di luar buku materi utama, maka dipersilahkan untuk membelinya secara bebas di toko buku. Selain buku pelajaran, para siswa akan diberikan pinjaman buku sebagai bahan bacaan selama di rumah, dimana setiap minggunya buku cerita ini akan dikembalikan untuk memperoleh buku yang lain, dan anak-anak bebas memilih judul buku sesuai keinginan mereka. Dengan begitu, diharapkan minat baca anak akan meningkat dan wawasannya bertambah karena mereka dapat membaca beragam judul buku secara kontinyu.

Sama halnya seperti kelompok nursery, siswa primary school juga diwajibkan membawa bekal makanan (meal) untuk makan siang bersama di sekolah. Sebenarnya sekolah menawarkan paket meal gratis untuk year 1-2 saja, sedangkan untuk year 3 dan seterusnya orangtua harus membayar sekitar GBP 11-15 untuk penyediaan makan selama satu minggu. Menu yang disediakan sebenarnya tidak mengandung olahan daging, akan tetapi untuk murid yang muslim, anda bisa menanyakan apakah disediakan opsi menu halal atau vegetarian. Namun, jika tetap kurang yakin dengan kehalalannya dan juga agar bisa lebih berhemat, murid diperkenankan membawa bekal sendiri dari rumah.

 

Kegiatan Sekolah

Kurikulum dan Pelajaran

Mengenai kurikulum, siswa Reception mengikuti kurikulum yang disebut EYFS (Early Years Foundation Stage), siswa kelas 1-2 mengikuti kurikulum yang disebut Key Stage 1, dan siswa kelas 3-6 mengikuti kurikulum yang disebut Key Stage 2. Apa sih yang dipelajari di kurikulum-kurikulum tersebut?

Seperti yang telah dijelaskan di atas, kelas reception digunakan sebagai jembatan antara TK dan SD. Oleh karena itu, siswa di kelas ini masih “bermain”, tetapi juga mulai serius belajar. Di kelas ini, siswa mulai belajar membaca dan menulis, walaupun porsi-nya masih tergolong sedikit. Di kelas ini, siswa dibebaskan untuk memilih kegiatan yang ia inginkan, meskipun kadang-kadang guru memimpin siswa dalam belajar sesuatu, misalnya matematika. Pada sebagian besar hari, siswa terlihat ‘bermain-main’ saja di dalam kelas. Jadi, tidak ada jadwal pelajaran atau buku tugas bagi siswa. Mereka bisa memilih apa yang ingin mereka lakukan sepanjang hari. Namun,  guru-guru sigap melakukan observasi dan mencatat kemajuan siswa dalam bidang-bidang tertentu, seperti dalam hal sosialisasi dan kemandirian. Catatan hasil observasi ini lah yang digunakan untuk melaporkan kemajuan siswa.

Perbedaan antara Key Stage 1 dan Key Stage 2 terletak pada pendekatan guru dalam proses pembelajaran. Tentunya, karena perbedaan usia anak, guru bisa mengatur seberapa banyak kontrol yang ia berikan di dalam kelas. Anak-anak di jenjang Key Stage 2 diberikan lebih banyak kebebasan untuk mengatur proses pembelajaran mereka sendiri. Tugas-tugas yang diberikan lebih menantang dan menuntut mereka untuk lebih banyak berpikir secara kritis dan kreatif. Namun, dalam hal mata pelajaran, keseluruhan jenjang SD memiliki mata pelajaran wajib yang sama. Ada tiga mata pelajaran wajib yang harus diberikan oleh semua sekolah, yaitu English (membaca dan menulis), Math, dan Science. Selain itu, setiap sekolah wajib memberikan pelajaran Religious Education (RE). Nah, ini bukan pelajaran agama seperti di Indonesia, ya. Dalam RE, siswa belajar semua agama, tapi bukan dari perspektif praktik dan internalisasi nilai, melainkan dari sisi sejarah. Selain pelajaran utama, sekolah dapat memilih beberapa dari pelajaran tambahan yang terdiri dari computing, creative arts, humanities, citizenship, design and technology, languages (bahasa asing), geography, music, dan physical education (pendidikan jasmani). Jadi, mata pelajaran yang didapatkan oleh siswa bisa saja berbeda di setiap sekolah.

Metode Belajar dan PR

Lalu, bagaimana proses pembelajaran di dalam kelas? Di Inggris, metode yang digunakan dalam belajar adalah metode tematik. Jadi, bagi Anda yang sudah merasakan kurikulum 2013, mungkin ini agak-agak mirip. Di setiap term, guru memilih satu tema yang dijadikan acuan untuk mengarahkan pembelajaran. Setiap mata pelajaran juga akan mengacu dan membahas tema tersebut. Meskipun struktur di dalam kelas cukup fleksibel, guru tetap memiliki jadwal pelajaran. Hal ini juga membedakan antara Reception dan Primary. Lagi-lagi, siswa adalah pusat pembelajaran sehingga guru tidak banyak ‘berceramah’ di depan kelas, tetapi siswa banyak melakukan kegiatan dan mengarahkan proses belajar mereka sendiri.

Oh iya, di sini anak tidak banyak mendapatkan pe er (homework), bahkan bisa dibilang sangat jarang. Biasanya saat libur half-term tiba, anak akan diberikan pekerjaan rumah dengan harapan untuk mengisi waktu luang dan tetap menjaga rutinitas belajar selama liburan. Bagi anak-anak yang memiliki bahasa ibu non-Inggris, biasanya pada saat baru saja pindah sekolah, anak diberikan agak lebih banyak PR. Hal ini berguna untuk mengakselerasi adaptasi anak dalam berbahasa Inggris. Oleh karena itu, orang tua tidak perlu terlalu khawatir anak tidak bisa mengejar ketertinggalan karena mereka juga di-support oleh sekolah.

Kegiatan Sekolah

Kegiatan siswa diseimbangkan antara di dalam maupun luar sekolah, dan pelaksanaanya mengikuti topik yang sedang di sampaikan di dalam kelas. Misalnya, saat materi sains diajarkan, akan ada kegiatan mengunjungi museum sains. Topik tentang geologi dan lingkungan akan dilengkapi dengan kunjungan anak ke taman flora dan fauna atau kebun binatang, dilanjutkan lagi dengan kegiatan menonton film bersama bioskop dengan tema pengetahuan alam. Hal ini cukup menarik bagi siswa, karena dengan begitu mereka memperoleh gambaran secara utuh baik dari sisi materi tertulis maupun penerapan melalui sisi praktikal (teknis). Selain kegiatan di luar sekolah, fasilitas penunjang belajar anak yang disediakan juga sangat bagus, misalnya untuk memperdalam skill bermain alat musik, anak-anak diperbolehkan meminjam dan membawa pulang salah satu instrumen untuk berlatih di rumah. Waah, sungguh menakjubkan mengetahui bahwa sekolah di sini memiliki totalitas yang luar biasa dalam hal penyediaan fasilitas dan pengelolaannya.

Jika di Indonesia terdapat banyak ekstrakurikuler, di Inggris juga ada kegiatan di luar jam sekolah yang biasa disebut after school club. Kegiatan ini tidak wajib, tetapi jika siswa ingin turut serta, biasanya akan dikenai biaya sebesar GBP1-3 setiap event. Anak-anak bisa berlatih gardening, art, musik, dan bisa berlatih drama maupun kegiatan lain yang sifatnya dilakukan mengasah nilai teamwork mereka.

 

Evaluasi Pembelajaran

Sistem penilaian yang diterapkan di sekolah di Inggris sangat fair. Artinya, berimbang antara usaha dan hasil akhir yang dicapai anak didik sehingga apabila ada anak yang hasil akhirnya tidak terlalu tinggi, guru akan melihat sejauh mana effort yang dilakukan dan dari situ akan ada penilaian untuk mengapresiasi proses yang ditempuh oleh siswa. Sebagai contoh, ada anak yang bahasa utama nya bukan bahasa Inggris, biasanya pencapaian untuk reading dan writing akan berada di bawah temannya yang menggunakan English sebagai bahasa utamanya, namun karena sikap dan antusiasme anak yang besar untuk belajar dalam materi ini, maka effort nya bisa jadi akan diapresiasi sangat baik oleh para pengajar. Rapor yang diberikan akan mencakup penjelasan detail untuk masing-masing pelajaran baik wajib maupun tambahan, termasuk bagaimana sikap anak, kekurangan dan kelebihan mereka dalam menghadapi mata pelajaran yang ada.

 

Hubungan Sekolah dan Orang Tua

Sama halnya dengan yang terjadi di Indonesia, sekolah juga berusaha untuk melibatkan orang tua dalam kegiatan-kegiatan sekolah. Oleh karena itu, keaktifan orang tua dalam menghadiri acara-acara tersebut sangat diharapkan. Gunanya, selain agar terbangun komunikasi antara sekolah dan orang tua juga untuk membuat anak lebih bersemangat karena melihat orang tua terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang ia ikuti.

Pertemuan sekolah dan orang tua biasanya terjadi di awal tahun ajaran. Rapat orang tua, atau parent’s meeting, digunakan sebagai sarana pengenalan orang tua dengan sekolah dan sebagai media sosialisasi berbagai kebijakan sekolah. Pada acara ini, orang tua dapat bertanya dan berinteraksi dengan guru serta orang tua lain. Orang tua juga dapat menyatakan concern mereka terhadap suatu isu. Apabila ada keluhan atau aspirasi yang ingin disampaikan diluar rapat orang tua, biasanya orang tua dapat berkomunikasi dengan guru dan sekolah melalui email atau dengan datang langsung ke sekolah. Pertemuan tatap muka antara orang tua dan guru juga terjadi pada saat penerimaan ‘rapor’ anak. Pada sesi ini, guru akan memberikan laporan mengenai perkembangan anak dan orang tua juga dapat bertanya mengenai hal tersebut pada guru.

Keterlibatan orang tua dalam kegiatan belajar juga ditunjukkan melalui kegiatan-kegiatan sekolah yang melibatkan anak dan orang tua. Biasanya, orang tua diundang untuk datang menonton pertunjukan musik atau drama yang dilakukan oleh anak-anak. Selain itu, beberapa sekolah juga memiliki waktu khusus ‘assembly’ yang digunakan oleh siswa untuk menunjukkan hal yang telah mereka pelajari di kelas. Penampilan ini dapat dilihat oleh orang tua. Selain itu, ada juga bazaar dan hari olahraga yang juga membutuhkan partisipasi orang tua. Kali ini, orang tua tidak hanya berperan sebagai penonton, tetapi juga sebagai peserta. Nah, jangan harap kegiatan-kegiatan ini akan sering diadakan di akhir pekan. Seringnya, orang tua harus ‘izin’ dari pekerjaan di siang hari untuk dapat berpartisipasi. Oleh karena itu, siapkan diri untuk meluangkan waktu menghadiri acara-acara ini.

 
Ternyata cukup banyak juga ya, hal baru dan berbeda mengenai pendidikan di sekolah dasar di Inggris. Kami berharap tulisan ini dapat membantu memberikan gambaran bagi Anda yang akan datang membawa anak berusia SD. Minggu depan, kami akan kembali dengan artikel mengenai pendidikan jenjang sekolah menengah atas. Nantikan ya!

 

Photo source: http://www.talklist.co.uk/wp-content/uploads/2014/09/Primary-Schools-in-UK.jpg

Home Away from Home: Pendidikan Anak (Preschool)

Tahapan pertama pendidikan anak di Inggris adalah preschool atau biasa juga disebut dengan nursery. Well, sebenarnya ini bukan pendidikan atau sekolah yang official untuk anak-anak, melainkan ditujukan sebagai tempat memperkenalkan anak tentang suasana dan dunia sekolah, bagaimana bersosialisasi dengan orang lain, dan lebih mengasah kemampuan dan nilai interpersonal anak. Pendidikan dasar anak dimulai pada umur 5 tahun, tetapi orang tua dapat memutuskan untuk memasukkan anak mereka pada jenjang ini. Nah, minggu ini kami akan membahas lebih dalam tentang preschool. Informasi yang kami sajikan kali ini, merupakan gabungan dari hasil research kami dan hasil wawancara dengan Kak Sondang, seorang warga Indonesia yang tinggal di Birmingham.

Sebenarnya sebelum masuk nursery, jika anda memiliki anak dibawah umur 3 tahun, di Inggris sini ada juga lho alternatif aktivitas yang memang dirancang untuk anak-anak, biasanya disebut toddler time yang biasanya digawangi oleh city council bagian children center dan diadakan di hampir semua perpustakaan. Toddler time ini umumnya hanya berlangsung selama 30 menit dan anda bisa langsung datang bersama buah hati tanpa dipungut biaya. Sebagian besar aktivitasnya adalah story telling, bernyanyi bersama dan berlatih membuat prakarya. Ada lagi yang disebut play and stay, dimana programnya berlangsung lebih lama dibandingkan toddler time, ya sekitar 2 jam, satu kali dalam seminggu. Biasanya stay and play ini diadakan oleh yayasan atau local club dan kegiatannya juga dilengkapi dengan makan bersama, membuat craft sederhana dan ada iuran sekitar GBP 1-2 saja setiap kedatangan. Oh iya, di stay and play ini orang tua harus ikut datang dan menunggui anak-anak hingga selesai.

Bagaimana seandainya anda dan pasangan sama-sama tidak bisa menjaga buah hati karena bentrok dengan jadwal kuliah bekerja? Nah, yang ini tetap ada solusinya yaitu child care atau tempat penitipan anak, tetapi hitungan biayanya memang mahal. Anak-anak bisa dititipkan dalam harian, mingguan, maupun bulanan. Bahkan jika ingin menitipkan hanya setengah hari juga bisa, biasanya child care ini buka dari jam 07:30 pagi hingga pukul 18:00 sore. Biaya yang dipatok cukup menguras tabungan yang  rata-rata berkisar GBP 42 per hari, atau GBP 780 per bulan. Ada pula child care yang tarifnya lebih murah yaitu yang dikelola oleh yayasan atau tempat ibadah, tetapi sebaiknya anda tetap survey terlebih dahulu untuk menentukan cocok tidaknya dengan anak anda. Hampir sama dengan sekolah, penitipan anak inipun memiliki jumlah terbatas, sehingga tetap harus mendaftarkan anak sesegera mungkin dan tergantung ada atau tidaknya kuota.

Sejak usia 3 tahun, anak sudah dapat didaftarkan ke nursery school (mungkin kalau di Indonesia semacam playgroup dan PAUD ya) yang ada di sekitar rumah tinggal anda, dengan jatah 15 jam gratis dalam satu minggu. Sedangkan di kota Birmingham sendiri, sejak tahun 2016 ini, ada peraturan baru yaitu usia minimal anak 2 tahun sudah mendapatkan jatah sekolah gratis tersebut. Sayangnya, jatah sekolah gratis mulai dari 2 tahun ini tidak berlaku bagi para imigran seperti kita. Jadi, warga Indonesia yang ada di Birmingham, dan Inggris pada umumnya, dapat mulai bersekolah 15 jam gratis di usia 3 tahun. Jika dalam satu minggu ada 5 hari kerja, maka anak bersekolah selama 3 jam per hari, dong? Tidak juga. Peraturan setiap sekolah berbeda-beda mengenai arrangement waktu sekolah kelas nursery ini. Ada yang pengaturannya 3 hari setiap hari dalam seminggu, ada yang 3 kali dalam seminggu dengan 2 hari full day (9-15) dan 1 hari setengah hari (9-12), dan lain-lain. Pemilihan hari nya pun bisa anda atur sesuai kebutuhan, tetapi tidak ada jaminan juga pilihan hari masuknya mendapat persetujuan langsung dari pihak sekolah karena tetap akan bergantung pada kuota hari yang available. Lalu apakah hanya dibatasi 15 jam saja? Kalau orang tuanya tetap tidak bisa mengawasi anak-anak di rumah karena kesibukan di kampus atau tempat kerja, bolehkah mengambil lebih dari itu? Ya memang 15 jam tersebut adalah jam gratis yang diberikan dan merupakan standar pemerintah. Jika menginginkan jumlah jam lebih dari itu, diperbolehkan tetapi tentu saja harus membayar biaya tambahan, dan tiap nursery memiliki tarif berbeda-beda.

Karena bukan jenjang sekolah yang resmi, maka pemilihan lokasi sekolah pun tidak diwajibkan untuk memilih yang terdekat jaraknya dengan lokasi rumah tinggal, tetapi tetap dianjurkan demikian untuk mempermudah mobilitas orang tua dalam proses antar jemput si anak. Biasanya sebelum mendaftar, para orang tua mencari informasi terlebih dahulu ke nursery-nursery school yang ada yang menjadi incaran mereka, misalnya untuk mengetahui seperti apa suasana ruang belajar dan bermainnya, fasilitas apa saja yang diperoleh, tools ajar dan bermain apa saja yang ada di nursery tersebut, apakah kira-kira para pengajar memiliki karakter yang cocok dan memiliki jiwa penyayang kepada anak-anak, sampai kepada masih adakah biaya tambahan yang perlu dibayar oleh orang tua. Sebaliknya, pihak sekolah pun berusaha untuk tahu mengenai kebiasaan anak. Ada yang melihat melalui kelas trial yang diikuti oleh anak, ada juga yang memberlakukan home visit sebelum anak mulai sekolah. Waduh, apa pula yang dilakukan saat home visit? Biasanya, pihak sekolah akan melihat kebiasaan sehari-hari anak, budaya di rumah, dan juga pola pengasuhan orang tua. Selain itu, sekolah juga akan bertanya mengenai riwayat kesehatan anak.

Kebanyakan warga Inggris, sudah memulai mendaftarkan anaknya pada nursery yang diinginkan sejak bayi mereka lahir. What? Masa iya bayi baru lahir udah didaftarin sekolah? Begitulah, saking banyaknya jumlah anak dan terbatasnya kuota pada nursery tertentu, hal ini memang sering terjadi demi memperoleh kursi di bangku playgroup nya. Sehingga untuk anda yang baru datang juga jangan lupa untuk mendaftarkan segera anak di nursery yang memang sudah menjadi pilihan. Jika tidak punya waktu untuk survey atau mendatangi nursery, sebaiknya bertanya ke sesama warga Indonesia yang lebih dulu tinggal di sini untuk memperoleh informasi dan mencari tahu nursery mana yang direkomendasikan. Setelah mendaftar, tentu saja yang dilakukan adalah menunggu dari pihak nursery apakah masih terdapat kuota.

State nursery biasanya menyediakan meal atau makan siang untuk siswanya. Makan siang ini disediakan oleh sekolah, tetapi tidak gratis. Biaya penyediaan makanan ini bervariasi dalam range GBP15-30 setiap bulan, dan pilihan makanannya sudah ditentukan oleh sekolah. Bagi anak yang muslim, kemungkinan besar menu makanan utamanya ada yang tidak dapat dimakan karena tidak halal, tetapi ada juga option menu vegetarian sehingga anak tetap bisa bersantap bersama teman-temannya di sekolah. Wah, apa saja menu yang ada di sekolah? Jangan bayangkan makanan seperti di Indonesia, ya. Tidak ada menu nasi goreng dan bubur ayam. Di Inggris, anak-anak dibiasakan untuk makan makanan sehat di sekolah. Biasanya, menu vegetarian terdiri dari pasta atau kentang, sayuran rebus, dan buah. What? Anak saya makan seperti biasa saja sayurnya dipisah, bagaimana dia makan seperti itu di sekolah? Tenang saja, lama-lama anak akan terbiasa, kok. Sejauh ini, makanan tidak terlalu menjadi masalah. Bahkan, kadang-kadang anak pun terbawa pola makan di sekolah dan jadi hobi makan wortel mentah. Hihihi. Selain melatih makan sehat, peraturan makan di sekolah juga baik untuk mendidik anak-anak bersosialisasi dan memupuk kebersamaan diantara mereka, sehingga memang sekolah sepertinya tidak memperkenankan si anak membawa bekal sendiri dari rumah.

Selain urusan makanan, anak-anak juga memerlukan seragam sekolah. Untuk seragam, sekolah biasanya akan menunjuk toko tertentu yang menjual seragam ini, khususnya untuk nursery dengan seragam yang berbeda (memiliki ciri khas tersendiri), dan karenanya harga seragam ini kadang menjadi sedikit mahal. Tetapi, untuk seragam sejuta umat (yang biasanya beberapa nursery menggunakan model dan warna seragam yang sama), anda bisa mendapatkannya di departemen store atau supermarket semacam ALDI dan ASDA yang harganya pasti lebih miring, dan tidak ada badge lambang sekolahnya. Masih juga ingin seragam dengan harga lebih murah? Tenang saja, biasanya ada juga charity shop yang menjual seragam secondhand, bahkan beberapa sekolah tertentu menyediakan seragam bekas namun masih layak pakai ini jika ada orang tua yang menginginkan membelinya dengan harga sangat murah.

Bagaimana aktivitas anak-anak di nursery tersebut? Meskipun saat ini di Indonesia semakin banyak PAUD dan playgroup yang dikelola secara profesional, ternyata nursery di Inggris pun digarap secara lebih profesional, dimana dari awal program dan kurikulum ditetapkan dengan jelas, serta adanya manajemen sekolah yang lebih ketat. Mostly aktivitasnya memang pengenalan anak terhadap kemampuan dasar seperti bahasa, matematika, dan sosialisasi mereka dengan teman sebaya dan yang lebih tua yaitu para pengajar. Kegiatan yang ada didesain semenarik mungkin untuk anak-anak dan diseimbangkan  antara indoor dan outdoor. Selain kegiatan bermain dan belajar di dalam kelas, banyak pula aktivitas yang dilakukan di luar sekolah semisal field trip ke public facilities (perpustakaan, kantor polisi, pasar, kebun binatang), berkunjung ke farm, menonton film bersama, dan kegiatan lain yang mendorong anak untuk lebih cinta kepada alam. Anak-anak juga dibiasakan untuk meminjam buku dari perpustakaan sekolah, sehingga hal ini menanamkan budaya membaca bagi mereka.

Dari sisi pengelolaannya, pihak sekolah melibatkan orang tua terhadap banyak hal mulai dari awal hingga akhir term. Salah satu aspek yang menjadi concern adalah kehadiran si anak, karena pihak sekolah selain ingin membiasakan anak untuk berdisiplin dan bersiap diri memasuki tahapan sekolah yang sebenarnya. Di sini, peran orang tua sangat besar karena setiap hari anak-anak diharapkan sudah hadir 15 menit sebelum kelas dimulai, selain itu orang tua juga harus memberikan alasan apabila anak datang terlambat. Jam menjemput pun diatur oleh sekolah lho, sehingga jika ada orang tua yang telat menjemput, guru akan menanyakan dan meminta keterangan dari orang tua. Jumlah ketidakhadiran juga tidak kalah pentingnya diperhatikan; meminta izin untuk tidak masuk sekolah tidak selalu dikabulkan, kecuali dengan alasan yang sangat penting.

Lalu, adakah pertemuan one-by-one antara guru dan orang tua seperti saat terima raport di Indonesia? Biasanya kalau pun ada, sesi ini bertujuan untuk membahas progress anak. Tentu saja, pada tahapan nursery ini anak-anak tidak memiliki raport yang berisi nilai. Namun, guru memiliki catatan tertulis yang juga dapat diakses oleh pihak sekolah untuk melihat kemampuan anak dan kesiapan si anak untuk masuk ke jenjang pendidikan berikutnya. Tenang saja, anak pasti akan naik kelas. Catatan tersebut hanya digunakan untuk merancang pembelajaran yang tepat bagi anak.

Hal yang cukup sering juga ditanyakan adalah mengenai adaptasi anak di sekolah. Ya, namanya juga anak baru pindah dari Indonesia, masih kecil, dan mungkin belum terbiasa berbahasa Inggris. Bagaimana kondisi mereka saat baru masuk sekolah? Pertama-tama, nursery adalah jenjang pendidikan (agak) wajib pertama di Inggris. Oleh karena itu, kemungkinan besar anak-anak lain pun sedang berada dalam tahap adaptasi yang sama. Jadi, anak kita tidak ‘aneh’ sendiri lah, di kelas. Pihak sekolah biasanya mengizinkan orang tua untuk menemani anak di kelas nursery hingga anak siap untuk ditinggal. Berapa lama tuh? Tergantung anak. Ada yang sehari saja sudah bisa ditinggal, ada yang seminggu, ada pula yang sampai tiga bulan masih harus ditemani oleh orang tua. Jangan khawatir, lama-lama anak akan terbiasa dan bisa bermain sendiri. Sedangkan mengenai masalah bahasa, sejauh yang kami lihat, anak-anak yang terhitung masih kecil ini sangat cepat beradaptasi dengan bahasa. Bahkan kadang-kadang, orang tua pun kesulitan menangkap apa yang diucapkan anak – bukan karena tidak jelas, tetapi karena aksennya sudah British banget.

Dengan sekolah yang hanya 15 jam per minggu dan baru bisa masuk sekolah pada usia 3 tahun, lalu apalagi yang bisa dilakukan oleh anak-anak di Inggris? Banyak sekali fasilitas pendidikan yang ada untuk anak di bawah 5 tahun. Salah satu kegiatan yang paling populer adalah berkunjung ke perpustakaan. Nah, jangan bayangkan perpustakaan di Indonesia yang penuh dengan rak buku dan sunyi senyap. Perpustakaan di Inggris didesain dengan sangat baik sehingga tempatnya nyaman untuk anak-anak. Di setiap perpustakaan, ada bagian khusus anak yang menyediakan banyak sekali buku yang dapat dibaca, dipinjam, bahkan dibeli dengan harga sangat murah (10 pence saja! 2000 rupiah untuk satu buku, dimana lagi bisa dapat buku semurah itu?). Selain membaca, anak-anak juga bisa menghadiri sesi pembacaan cerita dan kegiatan anak yang biasanya diadakan 1-2 kali dalam seminggu. Dijamin, anak-anak akan sangat senang dibawa ke perpustakaan karena pada akhir kegiatan mereka bisa mendapatkan sertifikat, oleh-oleh hasil karya mereka, dan kadang-kadang goodybags.
Nah, sudah dapat gambaran kan tentang preschool di Inggris? Semoga anda sebagai orang tua tidak lagi terlalu panik untuk membawa balita untuk tinggal dan bersekolah di sini. Usai sudah pembahasan kami tentang jenjang preschool kali ini, dan minggu depan kami akan lanjutkan sharing mengenai primary school.

 

Photo source: http://www.asquithnurseries.co.uk/uploads/images/Gallery/Nurseries/Bush-Hill-Park/Carousel/day-care-childcare-nurseries-in-england-bush-hill-park.jpg

Yuk, Berhenti Bercanda tentang Kekerasan pada Anak!

Tulisan kali ini memang agak antimainstream. Di saat orang-orang masih heboh dengan aksi pemboman di beberapa negara, saya memilih topik yang sangat jauh melenceng. Bukan, ini bukan pengalihan isu. Ini juga bukan karena saya tidak peduli pada berita-berita tersebut. My prayer goes to all Muslim brothers and sisters around the world. May Allah always keep you safe. Masalahnya, kok ya saya merasa nggak kompeten untuk menulis tentang isu ini. Sepertinya perlu belajar lebih banyak nih ke Teh Heggy. Hehehe…

Panjang amat ya introductionnya. Anyway… sambil lihat-lihat timeline di media sosial tadi pagi, tiba-tiba diantara banyak berita tentang isu di atas, muncullah satu gambar mengenai kekerasan pada anak yang di-meme-kan. Yah, yang namanya meme kan memang untuk lucu-lucuan, yaa.. Saya tidak punya masalah dengan meme, apalagi kalau memang lucu dan tidak menyinggung golongan tertentu. Nah, kenapa bagi saya si meme pagi tadi jadi masalah? Karena bagi saya, perkara kekerasan pada anak bukanlah hal yang patut dibuat bahan bercanda, apalagi di media sosial. Sama halnya dengan isu pemerkosaan atau sexual abuse/harassment. Ya, kalau ada aktivis perempuan pastinya mereka marah kalau korban pemerkosaan atau korban sexual harassment lalu digadang-gadang di media sosial untuk ditertawakan, kan? Lalu…. Kenapa kekerasan pada anak boleh dijadikan lucu-lucuan?

First of all, isu kekerasan pada anak ini secara spesifik kasusnya adalah siswa yang dicubit atau mengalami hukuman fisik dari para guru di sekolah. Where do I stand? I am not into corporal punishment. Bagi saya, hukuman fisik apapun ya namanya kekerasan pada anak (kecuali kalau siswanya lalu cengengesan dan malah kesenengan dihukum, macam dulu dijemur di lapangan sekelas). Ya memang batas toleransi seorang anak terhadap kekerasan berbeda-beda, tapi kalau mau buat standar individualis macam itu pasti susah lah. So, no corporal punishment, baik yang dilakukan oleh guru dan orang tua. Ya, jangan mentang-mentang ‘itu anak saya’ jadi boleh seenaknya. Perlu diingat juga ‘anak itu titipan Allah’ jadi ya mosok udah dikasih hadiah yang tak ternilai harganya oleh Sang Pencipta lalu mau disia-siakan juga?

Second of all, bukan berarti kita boleh memperbolehkan anak melakukan apa pun yang ia mau tanpa memperhatikan rambu-rambu peraturan, norma, dan budaya yang berlaku. Jadi, pendidikan mengenai disiplin juga perlu. Anak juga ya harus tahu bahwa apa yang ia lakukan itu benar atau salah. Nggak dipukul bukan berarti nggak disiplin, kan? Saya rasa sih, asalkan dari kecil sudah ditanamkan, baik dengan perkataan maupun contoh (dan yang paling penting adalah contoh), harusnya kedisiplinan tidak menjadi masalah.

Third of all, saya tidak lalu mengecilkan profesi guru. Gini-gini saya juga (mantan) guru loh. Jadi, saya pun mengerti kesalnya, gemesnya, bahkan geramnya perasaan guru yang muridnya agak-agak nyeleneh. Saya nggak terlalu setuju kalau si guru yang melakukan tindakan kekerasan itu lalu langsung dilaporkan ke polisi. Mungkin orang tuanya bisa bertemu dulu dengan guru? Lalu, menurut saya sih, guru itu harus dihormati, baik oleh siswa maupun oleh orang tua murid. Jadi, perlawanan-perlawanan dari siswa yang mengalami kekerasan fisik harusnya tidak menurunkan hormat kita pada bapak dan ibu guru. Ingat saja bahwa perilaku mereka (yang melakukan kekerasan) itu salah, tapi mereka juga manusia yang bisa salah dan khilaf (ciee kaya Mamah Dedeh gw…).

Terus solusinya apa? Disclaimer: ini solusi ala-ala saya, berdasarkan ilmu yang cimit dan pengalaman yang juga cimit.

Pertama, pendidikan disiplin berasal dari rumah. Intinya sih, jangan serahkan pendidikan pertama anak pada guru. Lagi-lagi, guru juga manusia yang anaknya super banyak di kelas. Mana ibu-ibu yang anaknya 3 dan kadang-kadang mau melambaikan bendera putih??? 3 anak saja kadang-kadang rempong, gimana ibu bapak guru yang setiap hari (kecuali weekend dan libur) anaknya minimal 25? Jadi, penanaman disiplin pertama dan paling efektif ya harus dilakukan oleh orang tua. Gimana cara mendidiknya? Sok di googling aja yaa… Sudah banyak sekali ahli yang bicara tentang hal ini (ngasih solusinya setengah-setengah ya, gw…). Namun, bagi saya, yang paling penting sih mendidik melalui contoh. Suka lucu kalau orang tua marah-marah karena lagi-lagi dipanggil ke sekolah karena anaknya sering telat, tapi mereka sendiri datang ke pertemuan pun telat. Hehehe… Yah no wonder lah anaknya begitu…

Kedua, sepertinya bapak ibu guru pun harus belajar banyak. Pertama, belajar mengelola emosi. Ih, nggak enak banget mengajar pada saat sedang sangat marah atau sedang sangat kesal. Lelah hayati! Jadi, supaya si emosi ini tidak diekspresikan dengan salah atau malah ditujukan ke orang yang salah (pernah nggak sih, ada orang yang marahnya sama siapa tapi malah bentak-bentak kita? Bete, kan?), bapak dan ibu guru (juga orang tua) perlu tahu bagaimana diri mereka bisa menangani emosi. Pendekatan bagi masing-masing orang pasti berbeda-beda. Saya misalnya, biasanya mencoba untuk sendiri dulu, atau mencoba untuk menulis atau mengerjakan sesuatu untuk mengalihkan perhatian. Atau justru, saya berusaha fokus pada materi pembelajaran sehingga terlupakan lah dulu si emosi mengganggu pada saat bertemu dengan anak. Kedua, guru juga harus belajar alternatif disiplin lain, selain hukuman fisik. Saya masih ingat diajarkan oleh tempat saya dulu bekerja mengenai disiplin positif. Intinya sih, mengenalkan anak pada konsekuensi logis dari suatu tindakan. Misalnya, tidak mengerjakan PR ya berarti kehilangan nilai. Guru hanya mengingatkan, tapi kalau si anak tidak mengerjakan maka itu adalah tanggung jawab si anak. Hukumannya apa? Hukumannya nilai yang tidak maksimal. Dalam hal ini, intervensi guru sangat sedikit. Fungsi guru hanya mengingatkan dan menegaskan. Berhasil? Pada kasus guru-guru yang tegas dan konsisten, cara ini berhasil. Siswa belajar dengan tenang, tugas dikumpulkan, ujian pun nilainya memuaskan. Gurunya di awal memang ‘dicap’ galak dan menakutkan, tapi setelah sama-sama mengerti, siswa bisa berinteraksi dengan baik dengan guru sambil tetap menghormati guru tersebut. Oh ya, di sekolah ini pun, orang tua juga tahu betul mengenai praktik disiplin positif yang diterapkan sehingga diharapkan mereka juga bisa menerapkannya di rumah. Jadi, ada semacam kesepakatan antara sekolah dan orang tua sehingga pendidikan anak bisa sejalan.

Ketiga, ini sih untuk orang-orang semacam saya dan mungkin Anda yang jadi latar belakang tim hore-hore isu ini. Bukan pelaku langsung dan tidak terkait langsung. Namun, kita juga bisa punya andil besar untuk membawa perubahan dalam hal kekerasan pada anak. Mudah-mudahan, perubahannya pun yang positif, ya… Nah, sebagai tim hore-hore, biasanya yang dilakukan adalah berkomentar. Komentar apapun yang dikeluarkan, semoga melalui proses pemikiran yang matang sehingga tidak menyinggung salah satu pihak dan tidak memperkeruh suasana. Termasuk halnya dengan bercanda. Rasanya, tipe kasus seperti kekerasan pada anak ini tidak patut dibercandai. Menurut saya, melecehkan profesi guru dan membahayakan luasnya pemikiran bahwa ‘ah, kekerasan itu hal yang biasa dan bisa dibuat bercanda’. Bahaya juga apabila diterima oleh anak tanpa ada penjelasan yang memadai. Nanti kasusnya seperti di UK ini, dimana anak bisa seenaknya melaporkan orang tuanya (ya, bahkan orang tuanya) ke social service karena ia tidak suka. Ya memang sih, si generasi 90an ke atas yang mengalami hukuman fisik lalu berpikir ‘kayaknya dulu gw begitu tapi nggak segitunya, manja amat sih itu anak dan orang tua’. Tapi, bukankah yang salah ya tetap salah walaupun dulu kita ‘terima-terima saja’ diperlakukan seperti itu? Lagi pula, ketahanan fisik dan mental kan tidak diukur oleh banyaknya hukuman fisik yang diterima?

Yah, ini tulisan sekedar mengingatkan saja bahwa apa-apa yang kita ucapkan dan lakukan bisa berdampak sesuatu. Daripada memperkeruh atau memperburuk suasana, yuk coba pikirkan dulu apa yang akan kita ucapkan atau tuliskan, dan juga apa yang kita jadikan bahan bercanda. Kalau kita bisa teriak-teriak ‘tidak etis itu menertawakan dan membuat korban pemerkosaan jadi bahan bercanda’, kenapa kita tidak mengingatkan juga bahwa perilaku menertawakan dan membuat kasus kekerasan terhadap anak jadi bahan bercandaan juga tidak etis.

Baiklah! Sambil di ujung bulan Ramadhan ini, saya mau libur menulis sebentar. Semoga bisa kembali lagi dengan tulisan-tulisan lain. Eid Mubarak! Taqabbalallahu minna wa minkum, semoga Ramadhan kali ini bisa menambah kualitas keimanan kita dan semoga kita dipertemukan dengan Ramadhan di tahun depan. Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin.

 

Photo Source: http://img1.beritasatu.com/data/media/images/medium/1425390169.jpg

Home Away from Home: Pendidikan Anak (Introduction)

Salah satu hal yang menjadi pertimbangan saat memutuskan untuk ikut dengan pasangan yang melanjutkan studi di UK adalah mengenai pendidikan anak. Ya, bagi keluarga-keluarga yang sudah memiliki anak, aspek ini sangat krusial. Bagaimana tidak? Menyekolahkan anak di Indonesia saja, meskipun sudah banyak juga sekolah yang gratis, cukup menguras kantong. Lalu, apa jadinya saat pindah ke negara yang kurs mata uangnya berkali-kali lipat dibandingkan di Indonesia (well, alhamdulillah yaa berkah Brexit ada juga, terutama karena melemahnya Poundsterling terhadap Rupiah sehingga Anda bisa cukup lega menukar uang). Pada beberapa sesi ke depan, kami akan membahas mengenai pendidikan anak di Inggris. Catat, Inggris ya, bukan UK. Lah, apa bedanya?

Bagi masyarakat awam, terutama orang Indonesia, Inggris dan UK tampak tidak ada bedanya. Pokoknya, negeri nun jauh disana yang ada Big Ben-nya dan dikepalai oleh ratu. Hiyah… overall boleh lah memakai deskripsi seperti itu. Namun, England (Inggris) dan UK (agak sulit ya menemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia) itu berbeda. Beda juga dengan istilah Great Britain atau Britania Raya. Sebagai sedikit gambaran, UK adalah United Kingdom yang terdiri dari 4 negara berbeda, yaitu England (Inggris), Wales, Scotland (Skotlandia), dan Northern Ireland (Irlandia Utara – ini beda dengan Irlandia). Sedangkan Britania Raya adalah negara-negara yang terletak di satu pulau utama UK, yaitu Inggris, Wales, dan Skotlandia. Pusing? Ya, untuk saat ini terima saja lah ya, penjelasan itu. Kami juga agak-agak blur tentang riwayat pembagian nama tersebut. Intinya, di dalam UK ada 4 negara terpisah yang memiliki sistem pelayanan pendidikan masing-masing. Dampaknya, pengalaman bersekolah (pendidikan dasar, menengah, dan tinggi) di negara berbeda di UK juga berbeda, dengan aturan yang berbeda, kurikulum yang berbeda, dan sistem yang berbeda.

Dalam artikel ini dan beberapa artikel setelah ini, kami akan memfokuskan pembahasan pada sistem pendidikan di Inggris. Mengapa? Karena kami tinggal di Inggris sehingga narasumber, pengalaman, serta sumber informasi yang mudah kami akses adalah mengenai pendidikan anak di Inggris. Bagi Anda yang akan tinggal di negara-negara lain di UK, silahkan juga membaca (seharusnya tidak sangat jauh berbeda) dan mencari tahu sendiri dari website-website city council kota tujuan Anda. Secara umum, banyak informasi yang kami jabarkan di tulisan ini berasal dari:

https://www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/219167/v01-2012ukes.pdf.

Secara umum, hal yang cukup berbeda antara pendidikan di Inggris dan di Indonesia berkaitan dengan usia sekolah anak dan jenjang pendidikan. Jika di Indonesia kita biasa dengan slogan wajib belajar 9 tahun dan anak-anak mulai bersekolah wajib di kelas 1 SD pada usia 7 tahun, lain halnya dengan yang terjadi di Inggris. Saat ini, pendidikan wajib di Inggris dimulai saat anak berusia 4 atau 5 tahun hingga 16 tahun. Biasanya, disebut sebagai under 16 education. Sisanya, pendidikan bersifat tidak wajib.

Berkaitan dengan jenjang pendidikan, kami akan coba jelaskan dengan mengikutsertakan jenjang pendidikan tidak wajib juga ya. Tidak seperti di Indonesia dimana anak usia sekian bulan sudah biasa disekolahkan, atau diikutkan ke dalam program baby gym, di Inggris anak-anak biasanya baru boleh masuk sekolah mulai usia 3 tahun ke kelas nursery. Anak-anak berusia 3 tahun ini mendapatkan fasilitas 15 jam gratis bersekolah per minggu. Anak-anak (atau orang tua) yang ingin (anaknya) sekolah sebelum usia 3 tahun bisa masuk ke nursery dengan biaya tertentu (ada aturan baru yang memberikan fasilitas nursery gratis bagi anak 2 tahun, tunggu di tulisan kami berikutnya). Oh ya, hitungan usia 3 tahun pada saat masuk nursery ini saklek ya. Jadi, apabila anak akan berusia 3 tahun di bulan Februari, dia tidak bisa masuk di awal tahun ajaran di bulan September tahun sebelumnya (karena pada saat itu belum berusia 3 tahun). Namun, ia bisa masuk pada spring term di bulan Maret. Jadi, anak-anak ini tidak perlu menunggu tahun ajaran berikutnya. Setelah itu, pada usia 4 tahun anak-anak akan masuk ke kelas reception. Ini adalah seperti kelas persiapan sebelum SD, meskipun kurikulumnya masih menggunakan kurikulum Early Years. Jenjang pendidikan ini masuk ke dalam jenjang pendidikan wajib sehingga apabila anak bersekolah di sekolah ‘negeri’, Anda tidak perlu membayar uang sekolah. Kelas reception dilanjutkan dengan SD yang kemudian disebut sebagai primary school. Dalam jenjang primary school ini, sekolah menerima anak dengan usia 5-11 tahun untuk year 1 sampai year 6, dimana anak dengan usia 5-7 disebut sebagai infant school dan 8-11 disebut sebagai junior school. Selanjutnya, anak-anak akan masuk ke jenjang SMP dan SMA, atau yang biasa disebut dengan secondary school. Ya, secondary school di Inggris mencakup jenjang SMP dan SMA di Indonesia, diperuntukkan bagi anak berusia 11 atau 12 hingga 16 tahun. Pada akhir secondary school, selesai sudah rangkaian pendidikan wajib anak di Inggris. Namun, anak (dan Anda) bisa memilih untuk melanjutkan studi di jenjang yang disebut sebagai future education. Biasanya, jenjang ini berbentuk college, pendidikan berbasis kerja (semacam internship), dan institusi pendidikan bagi orang dewasa. Tapi, ada juga secondary school yang mencakup elemen future education yang biasa disebut sebagai sixth form school yang terdiri dari year 12 dan 13. Lulus dari jenjang ini, anak pun sudah bukan anak-anak lagi dan siap masuk ke universitas, atau yang biasa disebut sebagai jenjang higher education.

Untuk naik kelas atau naik ke jenjang berikutnya, anak-anak tidak diseleksi berdasarkan prestasi akademik melalui ujian. Anak-anak memang akan mengikuti tes atau ujian pada jenjang-jenjang tertentu, tetapi hasilnya digunakan oleh sekolah dan guru untuk merencanakan strategi pembelajaran dan oleh negara untuk mengukur standar pendidikan. Jadi, tidak perlu khawatir mengenai ujian ini. Memang ada sebagian guru, sekolah, dan orang tua yang menentang ujian-ujian tersebut, tetapi tampaknya kalau dibandingkan dengan di Indonesia, tingkat stress yang dialami oleh anak-anak di Indonesia yang akan ujian jauh lebih tinggi. Hehe… Jelas saja, karena sampai sekarang sistem pendidikan di Indonesia masih menggunakan standar nilai ujian yang menentukan untuk melanjutkan pendidikan. Sedangkan di Inggris, anak-anak akan terus naik kelas dan naik ke jenjang pendidikan berikutnya. Untuk membaca lebih lanjut tentang suasana ujian sekolah di Inggris, silahkan main ke blog rekan kami, Mbak Ari Kristiana: http://arikristiana.blogspot.co.uk/2014/05/ketika-sekolah-menyediakan-sarapan.html.

Bingung? Semoga tidak, ya. Karena banyaknya pembahasan mengenai masing-masing jenjang pendidikan, maka kami mengalokasikan satu artikel untuk masing-masing jenjang pendidikan. Jadi, tahan dulu pertanyaannya, jangan bingung dulu. Ini hanya sebagai pembuka dan penjelasan umum tentang pendidikan di Inggris.

Setelah perbedaan, sekarang kami akan membahas mengenai persamaan antara pendidikan di Inggris dan di Indonesia. Persamaannya adalah adanya pembagian sekolah negeri (state school) dan sekolah swasta (independent school/public school). Sama juga seperti di Indonesia (eh, seharusnya sih), sekolah negeri gratis bagi semua anak, sedangkan sekolah swasta mengenakan bayaran tertentu. Biasanya, sekolah swasta ini merupakan sekolah berbasis agama, akademi, dan sekolah bagi kalangan elit. Tentunya, kualitas pendidikan dan fasilitas yang diberikan oleh sekolah swasta di Inggris pun jauh lebih bagus daripada sekolah negeri. Lagi-lagi, pembahasan tentang pembagian sekolah ini bisa dibaca lebih lanjut di tulisan Mbak Ari: http://arikristiana.blogspot.co.uk/2016/02/oxbridge-dan-elitisme.html. 

Fasilitas lain yang juga sedikit (atau banyak) berbeda dari sekolah di Indonesia adalah perhatian yang besar terhadap anak-anak berkebutuhan khusus (SEN). Anak-anak SEN bersekolah di sekolah-sekolah umum di Inggris, semacam sekolah inklusi kalau di Indonesia. Jadi, tidak ada pembedaan antara anak non-SEN dan anak SEN kecuali apabila anak SEN tersebut kondisinya sangat jauh berbeda. Biasanya, akan ada satu guru yang memang dialokasikan untuk menangani anak SEN di satu kelas, sehingga anak tersebut bisa belajar bersama dengan anak-anak lain. Tambahan pelajaran dan latihan juga akan diberikan bagi anak SEN apabila dirasa diperlukan.

Hmmmm…. What else? Oh ya, prosedur pendaftaran sekolah. Secara umum, orang tua mendaftarkan anak sekolah melalui aplikasi online yang dapat diakses di website city council masing-masing kota. Sebagai contoh, ini adalah link untuk aplikasi sekolah anak di Birmingham: http://www.birmingham.gov.uk/online-admissions. Untuk pendaftaran ini, kita tidak perlu menyiapkan raport atau ijazah anak dari Indonesia. Selain copy paspor dan visa, pihak city council hanya membutuhkan akte kelahiran anak. Mengapa akte kelahiran dibutuhkan? Ya, karena dari situlah pihak sekolah akan menentukan eligibilitas kecukupan umur anak anda untuk dapat masuk ke sekolah tersebut. Dokumen berupa proof alamat tempat tinggal juga perlu disiapkan, dan untuk poin ini anda bisa menggunakan surat kontrak rumah atau surat pernyataan dari kampus jika ada. Dokumen tambahan berupa surat baptis diperlukan apabila Anda mendaftarkan anak ke sekolah Katolik, dan ada juga formulir aplikasi tambahan untuk mendaftarkan anak ke sekolah Islam. Proses pendaftaran ini cukup mudah dan to the point. Setelah mendaftar dan jika sudah positif diterima, pihak sekolah akan menginformasikan via telepon. Beberapa sekolah juga akan menjadwalkan home visit melalui telepon tersebut. Home visit ini sebenarnya untuk memastikan bahwa memang benar anak dan orang tua tinggal di rumah sesuai alamat terdaftar, selain itu juga akan diinfokan beberapa hal seperti jadwal sekolah, seragam, peraturan antar jemput anak, dan tentang makanan. Bagaimana dengan kemampuan bahasa anak? Karena sekolah di Inggris ya tentu saja bahasa pengantarnya adalah english language ya. Tetapi meskipun anak anda belum bisa berbahasa Inggris, tidak perlu khawatir. Pada dasarnya sekolah tidak mensyaratkan kemampuan berbahasa Inggris anak, akan tetapi ada pula beberapa sekolah yang menyarankan agar anak ikut kursus bahasa terlebih dahulu sebelum masuk atau setelah mendaftar sekolah sambil menunggu term masuk sekolah, minimal sebagai pengenalan kepada anak. Jika pada akhirnya setelah masuk sekolah anak anda tetap belum terlalu bisa mengikuti, para pengajarnya akan membantu agar anak tersebut dapat meningkat kemampuan bahasa Inggrisnya.

Hal lain yang perlu dicermati adalah mengenai pilihan sekolah. Pada sistem yang diterapkan di Inggris, orang tua tidak dapat memilih (dan pasti mendapatkan) sekolah yang diinginkan, kecuali untuk sekolah swasta. Untuk sekolah swasta, tentu saja orang tua bisa memilih sekolah misalnya dengan mempertimbangkan apakah sekolah tersebut memiliki pengajar yang ramah dan mumpuni, apakah fasilitas yang tersedia cukup lengkap, apakah sekolah memiliki suasana yang hangat dan ramah untuk anak, hingga kepada pertanyaan apakah biaya yang dipatok sudah termasuk biaya lain-lain ataukah akan ada tambahan lagi? Akan tetapi, di sekolah negeri, mostly sistem penempatan siswa di Inggris menggunakan sistem rayon, yang berarti sekolah anak akan dipilih berdasarkan kedekatan lokasi sekolah dengan rumah. Biasanya, masing-masing ‘kelurahan’ di Inggris memiliki setidaknya 1-2 primary school dan 1 secondary school. Jadi, mudah-mudahan anak Anda akan ditempatkan di sekolah yang dekat dengan rumah. Namun, apabila sekolah yang dekat dengan rumah sudah penuh kapasitasnya, maka anak akan dirujuk ke sekolah lain yang terdekat, dan begitu seterusnya. Adakah anak-anak yang sekolahnya jauh dari rumah? Ada saja. Biasanya, apabila anak berada di usia tanggung dimana tidak banyak siswa yang keluar-masuk atau pindah sekolah, atau apabila Anda tinggal di kawasan residensial dimana tidak banyak imigran yang biasanya sering berpindah, maka ada kemungkinan anak Anda harus bersekolah di tempat yang lebih jauh. Kurang puas dengan penempatan sekolah anak? Anda bisa melakukan appeal ke city council agar anak bisa pindah sekolah. Kadang-kadang, Anda juga bisa langsung mendatangi sekolah tertentu (tentunya dengan membuat perjanjian melalui email terlebih dahulu) untuk bernegosiasi masalah ini. Namun, cara-cara ini tidak selalu berhasil, ya. Saat Anda melakukan appeal, nama anak akan dimasukkan ke dalam waiting list sekolah yang dituju dan Anda tinggal berdoa, semoga ada tempat kosong untuk anak Anda. In the mean time, sebaiknya anak anda tetap bersekolah di tempat yang telah dialokasikan oleh city council.
Rasanya cukup sekian tulisan kami sebagai pengantar mengenai pendidikan anak di Inggris. Pada artikel-artikel selanjutnya, kami akan membahas dengan lebih detail mengenai masing-masing jenjang pendidikan. Nantikan tulisan kami berikutnya!

 

Photo Source: http://i.telegraph.co.uk/multimedia/archive/02497/schoolRun_2497676b.jpg

Menjadi Advokat bagi Anak

Beberapa waktu lalu, saya dan teman-teman SMP sempat dihebohkan oleh pemberitaan mengenai kelas akselerasi di SMP kami yang akan ditutup pada tahun ajaran mendatang. Sebagai mantan siswa kelas akselerasi, kami merasa tidak nyaman. Muncul banyak pertanyaan mengenai pertimbangan penutupan kelas ini. Yah, bagi kami yang memiliki ikatan emosional dengan kelas akselerasi, tentu inginnya program ini tetap ada. Namun, bagaimana sih sebenarnya program akselerasi ini? Benarkah berdampak negatif? Atau benarkah berdampak positif?

Siswa yang menjalani program akselerasi biasanya tergolong sebagai anak berbakat. Konsep anak berbakat ini sendiri masih juga cukup problematik karena pengukuran bakat dan inteligensi sendiri ada banyak sekali jenisnya. Selain itu, keberbakatan seseorang ternyata belum tentu berbanding lurus denga kesuksesannya di masa depan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa anak-anak yang mengikuti program akselerasi memiliki kebutuhan khusus. Salah satu teman SMP saya bahkan sampai bilang, ‘wah, aksel aja kita sempet nakal yaa.. kaya nggak ada kerjaan aja isengnya. apalagi kalau nggak aksel? gabut banget kayanya deh’. Bukan sombong, tapi memang begitulah keadaan saya dan teman-teman sekelas saya di akselerasi SMP. Kami belajar, kami sibuk dengan tugas dan ujian, tapi kami juga sempat bermain dan berkreasi (alias kadang-kadang nakal dan iseng juga). Bagaimana jadinya anak-anak yang memiliki kebutuhan ekstra untuk distimulasi secara kognitif ini terpenuhi kebutuhannya di kelas reguler?

Opini yang cukup populer saat ini, termasuk juga yang sependapat dengan saya, adalah mengenai sekolah dan kelas inklusi. What? Bukannya inklusi itu untuk anak-anak berkebutuhan khusus? Nah, disinilah letak kesalahan pandangan mengenai arti konsep inklusi dalam pendidikan yang umumnya dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Sekolah inklusi berarti sekolah yang dapat memberikan pelayanan sesuai kebutuhan siswa, bagaimana pun karakteristik siswa tersebut. Jadi, inklusi tidak hanya ditujukan bagi anak berkebutuhan khusus (ya toh anak berbakat juga termasuk dalam golongan anak berkebutuhan khusus), tapi juga bagi anak-anak dengan kondisi tertentu, seperti anak-anak dari golongan menengah ke bawah, pekerja anak, anak jalanan, anak bilingual, dan lain-lain.

Adanya sekolah inklusi dapat menggantikan segala program akselerasi, SLB, dan sekolah singgah karena pelayanan pendidikan yang diberikan akan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing individu. Masalahnya, menjalankan pendidikan inklusi ini tidak mudah. Rasanya, Indonesia masih harus banyak melakukan improvement agar dapat menjalankan pendidikan inklusi yang menyeluruh. Selama ini belum bisa dilakukan? PR bagi orang tua dan guru untuk dapat memenuhi kebutuhan anak.

Nah,itu baru pendahuluannya. Iyaaakk panjang kali itu pendahuluan. Sekali-sekali lah ya… Masih berhubungan dengan akselerasi juga, beberapa bulan yang lalu saya juga sempat membaca tulisan salah satu orang tua yang mengimbau orang tua lain untuk tidak menyertakan anak-anak mereka di program akselerasi karena dianggap merusak masa kecil anak demi memenuhi kebutuhan prestis orang tua. Hehehe… Saya cukup tertawa saja membaca ini. Selain cerita saya dan teman-teman SMP yang bahagia-bahagia saja meskipun menjalani program akselerasi, saya dan suami datang dari keluarga akselerasi yang juga baik-baik saja. Kami ikut program tersebut bukan karena paksaan dari orang tua melainkan karena motivasi pribadi. Salahkah jika anak yang ingin ikut program akselerasi kemudian dilarang oleh orang tua?

Hmmmm… Saya belum menjadi orang tua. However, I’ve learnt a great deal of parenting, how to be a parent, child development, dan tentang pendidikan anak. Yang membaca artikel ini boleh kok berkomentar ‘Ya situ belum jadi orang tua, nggak tau susahnya sih’. Hehe… Pengalaman saya memang pastinya minim, tapi saya pernah mengajar anak yang sungguh sangat kecil hingga remaja-remaja galau. Jadi, saya menulis ini berdasarkan pengalaman saya yang seadanya itu.

Berkaitan dengan topik di atas, rasanya kita perlu mengingat kembali salah satu peran dari guru dan orang tua, yaitu sebagai advokat bagi anak. What kind of thing is that?

Peran orang tua dan guru sebagai advokat berarti mereka berfungsi sebagai penjembatan antara kebutuhan anak dengan hal yang dapat memenuhi kebutuhan anak. Misalnya, anak membutuhkan stimulasi kegiatan fisik karena ia memiliki energi yang cukup banyak dan senang berkegiatan fisik. Orang tua sebagai advokat bertugas untuk ‘membaca’ dan ‘mengerti’ kebutuhan anak tersebut. Hal ini tidak mudah dilakukan karena anak-anak masih perlu bantuan dalam menyampaikan keinginannya. Bagi anak-anak yang belum bisa berbicara, maka orang tua perlu jeli memperhatikan perilaku dan tanda-tanda yang diberikan oleh anak. Setelah orang tua mengetahui kebutuhan tersebut, tugasnya adalah mencari sumber pemenuhan kebutuhan anak. Dalam contoh ini, orang tua dapat mengajak anak ke taman untuk bermain, mengikutkan anak ke kegiatan olah raga, atau mengajak anak berenang. Bebas, tergantung minat anak dan orang tua serta kemampuan orang tua.

Wah, jadi seluruh kemauan anak perlu dipenuhi? No. Kebutuhan anak perlu dipenuhi. Ingat, orang tua dan guru juga memiliki peran sebagai pendidik. Oleh karena itu, jangan lupakan juga fungsi sebagai ‘penyaring’ norma, nilai, dan moral. Hal tersebut tentunya disesuaikan dengan keyakinan yang dianut oleh orang tua, sekolah, serta masyarakat sekitar.

Kok kelihatannya anak jadi ‘raja’ ya, disini? Hmmm… sebenarnya tidak juga. Disini, anak berada di pusat pengasuhan. Bukankah begitu ibu-ibu? Parenting is about the child, not about the parents, right? Kalau kita mau yang terbaik bagi anak, jangan lupakan bahwa yang menjalankan keinginan-keinginan orang tua adalah anak. Ya, harus menyadari juga bahwa kita (orang tua dan guru) dan anak adalah entitas yang berbeda. Yang kita mau, belum tentu mereka mau. Yang menurut kita baik, belum tentu menurut mereka baik. Tentunya, ini tidak diterapkan dalam hal-hal prinsip bagi masing-masing orang tua, seperti misalnya agama bagi saya.

Jadi, instead of ‘saya melakukan semua ini demi anak’ tapi apa-apa yang dilakukan dan yang diputuskan berasal dari pemikiran, pendapat, dan kehendak orang tua, mengapa tidak kita coba dengarkan apa sih pendapat anak-anak kita? Mereka juga punya suara, pemikiran, dan pendapat, loh! Mereka punya kebutuhan yang mungkin berbeda dengan kebutuhan kita.

Hiyah, panjang banget ya tulisan ini. Tapi semoga dimengerti. I am far from an expert, this is merely what I know. Semoga kita bisa menjadi orang tua dan guru yang lebih baik bagi anak-anak kita!

Mari Namai Emosi

Beberapa minggu yang lalu di awal Easter Holiday, saya bersama keluarga-keluarga Indonesia yang ada di Birmingham berwisata ke Wales. Perjalanan yang ditempuh dari Birmingham hingga sampai ke tempat tujuan cukup jauh dan berliku. Yah, mirip-mirip jalan di Puncak lah. Kami mengendarai bus dan masing-masing keluarga kemudian sibuk dengan obrolan masing-masing. Kebetulan, saya dan suami duduk di depan bangku paling belakang yang berisi sebuah keluarga. Saat itu, saya mendengar sebuah percakapan menarik.

Pemandangan sepanjang perjalanan memang sangat indah. Kami melewati banyak pertanian-pertanian kecil. Anak perempuan yang duduk dibelakang kami asik bernyanyi sambil sesekali mengobrol dengan ibunya. Di salah satu kesempatan, ia sempat berkata “I am happy, mom”. Saya bahagia. Lucu rasanya mendengar seorang anak dapat dengan begitu mudahnya mengelaborasi perasaan dalam ucapan dan tindakannya. Ia menamai emosi yang ia rasakan dengan ‘bahagia’ dan mengekspresikannya dalam nyanyian sepanjang perjalanan.

Lalu seperti biasa, saya yang hobinya terbang ke angan-angan ini langsung berpikir… bisa ya, anak-anak ini menyebutkan nama emosi dengan tepat, sementara orang dewasa saja kadang-kadang kesulitan mengidentifikasi perasaannya. Saya jadi ingat, beberapa tahun yang lalu seorang kerabat saya meninggal dunia. Pada saat itu, anaknya yang masih kecil menangis tersedu-sedu. Semua orang kebingungan menghadapi sang anak dan meminta saya untuk ‘mendiamkan’ anak tersebut. Pertanyaan saya, kenapa harus didiamkan? Kalau saya berada di posisi anak tersebut, mungkin saya akan menangis lebih kencang. Tangisan itu adalah refleksi dari perasaannya, bukan? Apa tidak perlu kita mencoba mengerti lebih jauh mengenai perasaan si anak sebelum ‘memaksa’nya untuk berhenti menangis?

Understanding emotion is surely a difficult thing. Bagi orang-orang yang tidak terbiasa menghayati perasaan, mungkin setiap emosi yang ada langsung diekspresikan lalu kemudian hilang terganti oleh emosi lain atau dihiraukan sampai tidak terasa lagi. Betul kah? Saya mengalami sih, masa-masa saat saya secara impulsif mengekspresikan emosi saya tanpa paham apa sih yang sebetulnya saya rasakan atau tanpa tahu penyebab munculnya emosi tersebut. Sebagai orang Indonesia yang mungkin kebanyakan dididik untuk tidak menunjukkan emosi ekstrim, terutama ekstrim negatif, saya juga mengalami masa-masa saat saya terbiasa menghiraukan emosi saya hingga akhirnya menumpuk dan meledak. Pada akhirnya, saya tidak tahu apa yang saya rasakan dan tidak juga paham apa yang menyebabkan saya merasakan emosi tersebut. Indeed, saya menyadari bahwa kedua cara me-manage emosi tersebut tidak sehat. At least menurut persepsi saya.

Kenapa Za, tergoda menulis tentang hal ini? Karena pada akhirnya saya menyadari bahwa emosi adalah bagian dari hidup manusia yang harus juga loh diberi perhatian. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat untuk menghiraukan atau melebih-lebihkan emosi harus diperbaiki sehingga emosi dan perasaan berada di posisi mereka yang seharusnya. Banyak sekali penelitian yang telah menemukan dampak positif dari kemampuan regulasi emosi? Misalnya, seseorang dengan kemampuan regulasi emosi yang baik memiliki kecenderungan untuk dapat mengontrol diri, fokus pada tujuan, memiliki ketahanan yang baik, dapat menjalin hubungan sosial yang sehat, dan dapat beradaptasi dengan lebih baik di lingkungan. In the long run, kemampuan-kemampuan tersebut bisa memprediksi kesuksesan karir, hubungan sosial yang sehat, dan overall well-being.

Melihat dampak-dampak positif tersebut, saya jadi termotivasi untuk mengeksplor kembali mengenai emosi. Bagi saya yang sudah dewasa (katanya) ini, mencoba berefleksi dan mengerti mengenai emosi semakin penting lagi karena kemampuan orang tua dalam meregulasi emosi akan terlihat oleh anak dan mempengaruhi kemampuan anak dalam meregulasi emosi mereka. Nah, kalau sekarang saja masih kesulitan, bagaimana saya mendidik anak-anak saya nanti? Saya mencoba untuk mulai menghayati emosi dengan satu langkah kecil yang cukup mudah: Mari namai emosi!

Siapa yang bisa menyebutkan sebanyak-banyaknya nama emosi? Semua yang punya HP pasti tau feature emoticon. Ada berpuluh-puluh jenis emoticon, kan? Menggambarkan apa saja ya, mereka? Mungkin mengidentifikasi nama-nama emoticon adalah cara yang bisa dilakukan untuk mulai tahu berbagai jenis emosi. Pada umumnya, ilmuan mengacu pada penelitian yang dilakukan pada tahun 1970-an dalam menjelaskan emosi dasar manusia. Emosi-emosi tersebut adalah bahagia, terkejut, takut, sedih, marah, dan jijik. Jenis-jenis emosi tersebut kemudian dipopulerkan dalam sebuah film Pixar yang banyak dibicarakan, Inside Out. Saya senang sekali menonton film ini karena insight yang didapat cukup dalam. Selain ngena bagi anak-anak, isi film ini juga bagus sekali untuk ditonton oleh orang dewasa. Anyway, selain emosi dasar, ada juga berpuluh-puluh jenis kata yang dapat digunakan untuk menggambarkan emosi.

Selesai? Mengetahui nama-nama emosi tentu tidak berarti kita bisa menamai emosi yang kita rasakan. Ekspresi emosi manusia kadang-kadang tercampur, ambigu, dan sulit diidentifikasi. Misalnya, seseorang yang menangis belum tentu sedih, kan? Saya kenal orang-orang yang kalau sedang merasa sangat bahagia juga menangis. Berteriak belum tentu marah, kan? Kadang, teriakan juga bisa berarti takut. Maka, langkah menamai emosi selanjutnya adalah menyadari emosi yang dirasakan lalu menamainya dengan perbendaharaan kata emosi yang sudah dimiliki. Then, penjelasan ‘yaa… gitu deh’ bisa sedikit demi sedikit diganti dengan penjelasan mengenai emosi yang kita rasakan.

Mari namai emosi sehingga kita dapat lebih baik mengenali diri, dapat menjalin hubungan sosial yang sehat, dapat beradaptasi dengan lebih baik, dan tentunya dapat menjadi contoh bagi anak-anak kita nanti. Simple step counts.

Ngebadut

The word above means ‘being a clown’. This is not about being a clown in literal meaning. This is being something that you do with all your heart.

Today I saw a post of my friends saying that she is now in a rural area doing her job as a researcher – I assume because she is collecting data and interviewing. However she cannot help herself not to ‘ngebadut’, her term of saying that she is teaching. It may not really teaching in a classroom, but giving instruction to a classroom. Yeah, it still counts as teaching, right?

After reading that, I remembered my aunt once said that it is difficult to find a teacher. There are many people with good qualification and experience, but finding one with the ‘heart’ to teach is difficult. I agree with that. I agree that for some people, they cannot resist themselves to not ‘ngebadut’ because that’s what their heart always tell them.

Maybe I kind of miss it. I kind of miss having that kind of interaction with students. It is not a job, it is not just something to do to have fun or to have money. It is something that needs to be done with the heart. Maybe that’s the reason that a simple cute message from my students can make me smile, because it touched my heart.

Oct 14, 2015

“Educators also need to be ensured about what are the fundamental aims of education. They should have the power to create educational practice based on their conscience and perform their professionalism”

Lipman (2009)