Beberapa waktu yang lalu, saya mengikuti sebuah acara jalan-jalan bersama warga Indonesia di Birmingham. Kami mengunjungi beberapa tempat di Wales sebagai pembuka liburan paskah kami. Di Britania Raya ini, liburan paskah memang menjadi salah satu liburan panjang selain libur musim panas dan libur natal. Biasanya, sekolah dan universitas menghentikan kegiatan mereka selama dua minggu untuk merayakan paskah. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai di tempat tujuan dari Birmingham cukup lama, yaitu sekitar 3.5 sampai 4 jam. Dengan dua bus, kami berkendara menuju Wales.
Jumlah warga yang mengikuti acara jalan-jalan ini cukup banyak. Terlebih lagi, kebanyakan peserta membawa seluruh anggota keluarga, termasuk anak-anak dan bayi. Terbayang kan, perjalanan cukup jauh, satu hari saja, dan membawa anak-anak. Sebelum pergi, saya mengira bahwa perjalanan akan heboh, ramai dengan tangisan atau keluhan anak-anak yang merasa bahwa mereka terlalu lama di dalam bus. Siap-siap bersabar. Ternyata? Semua itu tidak terbukti. Berdasarkan hasil pengamatan, anak-anak cukup tenang dan bisa ‘menikmati’ perjalanan, walaupun ada juga yang mabuk dan sesekali menangis. Kalau kata orang Indonesia, anak-anak ini nggak ribet lah saat dibawa ke perjalanan jauh. Disogok apa ya, mereka sampai nggak rewel? Well, sepanjang perjalanan, mereka mengobrol, bernyanyi, main, melihat pemandangan, membaca buku, dan tidur. Bosan kegiatan yang satu, pindah ke yang lain, lalu pindah lagi ke yang lain. Yang jelas, mereka tidak mengganggu.
Setelah dipikir-pikir lagi, iya juga ya… sebagian besar anak-anak Indonesia disini memang tidak rewel dan tidak ribet. Mereka seperti mengerti bahwa keadaan menuntut mereka untuk mandiri dan tidak banyak mau. Jadi malu karena saya sendiri sering BM (banyak mau). Kemudian, saya membandingkan hal tersebut dengan pengalaman saya di Indonesia. Bekerja beberapa tahun sebagai guru di berbagai tingkat pendidikan, saya merasa kok ya beberapa anak-anak ini cukup ribet untuk diurus. Seperintilan kecil-kecil macam nangis-nangis saat di makanannya ada sayur yang ‘nyelip’ seringkali saya lihat. Ada lagi urusan jemput menjemput yang repot karena harus naik mobil ini, harus dijemput sama dia, mau pulang mampir kemana dulu. Lalu, saya jadi penasaran. Apa sih yang membuat perilaku merek bisa berbeda? Well, menjelaskan perbedaan perilaku itu ribet, seribet-ribetnya. Sebagai mantan mahasiswa psikologi, saya mengerti betul bahwa satu hal tidak dapat menjelaskan perilaku seseorang. Banyak sekali faktor yang mempengaruhinya. Tapi, saya mencoba melakukan refleksi dan berpikir logis dengan mengambil sebuah contoh. Anyway, seperti biasa ya, tulisan saya ini berdasarkan hasil observasi pribadi dan persepsi saya, sehingga tidak bisa di-generalisasi.
Selama beberapa bulan ke depan, saya memiliki tugas untuk mengantar dan menjemput anak sekolah. Mengamati berbagai hal yang terjadi pada saat saya mengantar-jemput anak sekolah disini, saya mengambil contoh tentang naik kendaraan umum di Inggris dan di Indonesia. Saya tanya, berapa banyak dari Anda yang berkendaraan umum pada saat sekolah? Dari SD? Apakah menyuruh anak untuk naik kendaraan umum untuk pergi dan pulang sekolah atau mengantar-jemput anak dengan kendaraan umum menjadi pilihan Anda? Mungkin tidak. Kalau punya kendaraan pribadi, kenapa harus susah-susah naik kendaraan umum? Kasusnya tentu berbeda disini. Anak-anak cukup terbiasa kemana-mana jalan kaki atau naik bus. Setiap pagi, bus penuh dengan anak sekolah, orang tua yang mengantar, lengkap dengan kereta bayi bagi para orang tua yang masih memiliki anak kecil.
Berdasarkan pengalaman pribadi, naik kendaraan umum di Jakarta selalu menarik. Selalu ada cerita yang dibawa saat mengamati perilaku orang-orang di dalam kendaraan umum. Satu hal yang cukup mencolok dan saya ingat adalah bagaimana perilaku orang tua dan anak saat berada di kendaraan umum. Tidak hanya satu dua kali saya mendengar ‘omelan’ para ibu mengenai repot dan susahnya naik kendaraan umum. Harus pindah, bawa barang, ada anak, dan lain-lain. Keluhan itu seperti tidak ada hentinya, hingga sampailah pada kesimpulan bahwa ‘enak jadi orang kaya, bisa naik mobil atau motor kemana-mana’. Sadarkah para orang tua ini bahwa omelan dan keluhan mereka didengar oleh para anak? Saya percaya bahwa pesan yang terdengar terus menerus dari significant others pasti sedikit atau banyak akan membekas dan membentuk pola pikir seorang anak. Kalau setiap hari diomeli tentang sesuatu yang bukan salahnya juga harus naik kendaran umum, bagaimana pola pikir anak-anak tersebut, ya? Mungkin mereka akhirnya memiliki keyakinan bahwa saya miskin, naik kendaraan umum tidak menyenangkan, dunia tidak adil karena saya terpaksa susah-susah di jalan, boleh mengeluh dan marah pada keadaan, dan segala hal yang berhubungan dengan hidup yang tidak menyenangkan. Mungkin, ini juga yang membuat angka penjualan motor, sebagai kendaraan pribadi yang cukup murah, selalu meningkat di Indonesia.
Lalu, bagaimana dengan naik angkutan umum di Inggris? Saya sendiri melihat bahwa anak-anak dan para orang tua yang harus setiap hari naik angkutan umum tidak banyak protes. Mereka menjalani rutinitas dengan flat. Harus naik bus? Yasudah naik saja. Harus jalan kaki? Ya memang kok tidak ada kendaraan umum yang berhenti di depan rumah. Sepertinya, perkara naik kendaraan umum tidak serta merta berhubungan dengan keadilan sosial. Toh, banyak juga bapak-bapak mapan berjas yang juga naik bus. Tentunya, komentar ‘hidup tidak adil’ dan ‘enak jadi orang kaya’ tidak terdengar. Well, terdengar sih ‘hidup tidak adil’ di kalangan remaja yang memang kerjaannya protes terhadap hal-hal sekecil apapun. The point is, saya tidak pernah mendengar orang mengeluh karena kondisi hidupnya yang terbatas saat berada di angkutan umum. Hasilnya? Anak-anak sepertinya cukup menikmati harus pergi dan pulang sekolah dengan bus. Lagi-lagi ya, argumen ini saya kemukakan dengan mengabaikan perbedaan kondisi kendaraan umum di dua negara yang saya bandingkan.
Kasus yang saya ceritakan di atas adalah pengamatan saya terhadap orang-orang lokal. Bagaimana dengan keluarga Indonesia yang ada disini? Lebih hebat lagi. Saya rasa anak-anak orang Indonesia yang tinggal disini sudah didoktrin dulu. Haha… Entah kenapa, saya merasa bahwa anak-anak orang Indonesia disini jauh lebih dewasa dan pengertian. Mereka tidak banyak protes, tidak terlalu banyak minta ini-itu, dan mengerti kondisi orang tuanya yang… mungkin kondisi hidupnya tidak sebaik saat masih tinggal di Indonesia. Bagi banyak keluarga, mereka harus mengucapkan selamat tinggal kepada mobil pribadi. Tapi toh, anak-anak ini tidak merasa miskin dan tidak menuntut orang tuanya untuk membeli mobil baru. Bahkan, beberapa waktu lalu, seorang anak Indonesia yang masih SD sempat bercerita, ‘Kata Bunda, beli mainannya nanti aja kalau sudah di Indonesia. Disini nggak beli-beli dulu.’ And again, mungkin yang terdengar di telinga para anak juga berbeda. Mereka mendengar orang tuanya berterima kasih karena mereka tidak banyak menuntut, mereka mendengar penjelasan orang tua mereka mengenai kondisi hidup mereka. All in positive light.
Mengamati dan melakukan refleksi terhadap hal-hal tersebut, saya jadi tersadar kembali. All in positive light. Hidup ini tidak mudah, kenapa harus ditambah lagi dengan pandangan-pandangan negatif? Saya melihat bahwa disini, hidup ya dijalani saja. Sebagai manusia, tentu pernah mengeluh dan merasa tidak suka dengan kondisi yang dialami. Tapi, ya itulah hidup. Live the life. Memangnya dengan mengeluh dan marah-marah lalu kondisi hidup kita bisa berubah? Menurut saya, justru dengan begitu malah meracuni pikiran orang-orang di sekitar. Hal ini tentu lebih ditekankan pada orang tua, seperti contoh saya di atas. Sadarkah bahwa perkataan yang didengar anak mengenai bagaimana orang tua memaknai hidup mereka bisa membentuk pola pikir anak mengenai dunia? Sepertinya manusia memang perlu lebih banyak bersyukur, termasuk saya… terutama saya.