Life Balance

Sekitar dua tahun yang lalu – Gosh, I’m old! – saya mengikuti sebuah pelatihan. Pada saat itu, semua peserta pelatihan diminta untuk menuliskan karakter diri masing-masing, baik yang bersifat positif maupun negatif. Setelah menuliskan karakter diri, saya baru menyadari bahwa kelebihan saya juga adalah kekurangan saya – to some extent. Kok bisa? Saya lupa seluruh jawaban saya pada saat itu, tapi beberapa karakter yang saya tulis adalah determined (positif), organized (positif), stubborn (negatif), dan over thinker (negatif). Tentunya, semua karakter tersebut tidak muncul dalam satu waktu yang sama. Kalau iya, aneh banget. Haha. In a way, karakter-karakter yang saya sebutkan saling berhubungan. Di satu sisi, saya adalah orang yang keukeuh kalau punya keinginan. Believe me, my parents know it well! Pada situasi yang baik, tentunya jadi karakter yang baik karena saya jadi berusaha untuk mencapai tujuan saya. Di situasi lain, hal tersebut menjadi suatu karakter negatif karena saya menjadi keras kepala, nggak mau dibilangin. Saya juga tipe orang yang organized. Saya suka merencanakan sesuatu, saya berpikir dan mengatur hidup saya. To some negative extent, saya bisa menjadi orang yang terlalu banyak berpikir sehingga keputusan yang saya buat lama, terlalu banyak pertimbangan, dan lain-lain. Saya lalu menyadari bagaimana cara saya meminimalisir kekurangan saya – hidup seimbang. Kalau saya bisa menjaga agar karakter saya tidak ekstrem maka seharusnya saya bisa menjadi manusia yang memiliki karakter lebih baik. Right?

Kejadiannya dua tahun lalu, tapi kenapa sekarang menulisnya? Mungkin karena paparan media sosial yang cukup besar saya terima akhir-akhir ini (ya, ini salah saya sendiri). Banyak sekali berita mengenai berbagai isu dan beberapa diantaranya menarik perhatian saya. Misalnya, mengenai gaya hidup para penerima beasiswa, mengenai orang tua yang memboikot televisi bagi anak-anak mereka, hingga mengenai jumlah jam tidur. Intinya, ada banyak perspektif dan komentar mengenai bagaimana seseorang harus mengatur hidupnya. Do we have the right to judge and to direct other people?

Membaca banyak artikel-artikel tersebut membuat saya melakukan refleksi diri (bukan pijat refleksi, OOT kangen banget pijet…). Mana yang benar? Mana yang harus saya ikuti? Hingga saya sampai pada kesimpulan bahwa kuncinya adalah keseimbangan dan niat. Life is short and death is sure. Sekarang, bagaimana memanfaatkan yang ada di dunia untuk akhirat. Toh, semua yang jadi perbincangan dan pro kontra akan balik-balik lagi ke tujuannya apa. Ya, kan?

Contoh, satu isu yang cukup menarik dan menggelitik adalah beberapa opini mengenai gaya hidup para penerima beasiswa. Sebagai orang yang terpapar langsung terhadap hal tersebut, saya mencoba menghayati apa sih yang mendasari pendapat yang berbeda-beda tersebut. Berdasarkan artikel-artikel yang saya baca, banyak yang mempertanyakan keseriusan para penerima beasiswa dalam belajar dan mempertanyakan aktivitas jalan-jalan mereka. Intinya, para penerima beasiswa seharusnya bisa serius belajar dan membalas budi beasiswa yang tidak sedikit jumlahnya tersebut ke rakyat Indonesia. Setuju!But are we not allowed to spend money?

Saya yakin, insyaAllah para penerima beasiswa pun amanah dan menepati janji mereka pada saat mendaftar beasiswa. Namun, bagi saya keseriusan dalam belajar dan berprestasi tidak 100% relevan dengan jumlah jalan-jalan dan aktivitas yang katanya foya-foya dengan uang rakyat. Apa tidak bisa, seseorang berprestasi baik, berkontribusi besar, dan tetap bisa menikmati hidup? Semua orang berpendapat berbeda, tapi apabila saya melihat dari kacamata keseimbangan dan niat, rasanya kegiatan beraktivitas non-akademis tidak bisa dieliminasi begitu saja semata-mata karena harus berprestasi dan berkontribusi. Kalau seseorang bisa mendapatkan nilai distinction di semua mata kuliah, aktif membantu masyarakat Indonesia dan berorganisasi tapi tetap jalan-jalan saat liburan untuk refreshing, apa itu salah? And again, it comes back to personal opinion. Dan lagi, uang negara adalah hal yang sensitif dan bukan untuk main-main.

Let’s move to another example. Kali ini mungkin lebih bisa dipahami oleh semua orang. Lagi-lagi masalah uang – kali ini uang pribadi. Beberapa minggu lalu, saya sedang mengobrol dengan salah satu teman mengenai keinginan saya untuk membeli sebuah tas. Komentarnya, “Tas X bukannya terjangkau ya, Za untuk orang seumuran kita, apalagi kalau suami istri bekerja?” Lalu kami berdiskusi dan sampai pada kesimpulan bahwa ya, mungkin saya punya uang untuk membeli tas tersebut tanpa harus menabung tapi saya punya hal-hal lain yang ingin saya lakukan sehingga tabungan saya harus direlakan untuk hal-hal lain tersebut. Saya harus membuat prioritas, saya harus mengerti mana yang didahulukan. Saya sendiri pernah mengalami masa-masa tidak mau membeli barang baru – sama sekali. Lalu saya ditegur oleh ibu saya. Ibu saya bilang, jangan membuat diri sendiri menderita kalau memang saya tidak harus menderita dan mampu. Indeed, money is not an easy thing to deal with.

Selain uang, ada juga waktu. Suatu hal yang harus digunakan dengan bermanfaat (at least bagi saya). Kenapa? Karena waktu tidak akan pernah kembali. What we’ve spent were spent, period. Setiap orang tentu memiliki cara berbeda untuk menghabiskan waktu. Ada yang banyak bekerja, ada yang banyak bersosialisasi, ada yang banyak beribadah, ada juga yang banyak tidur. Semua itu adalah pilihan pribadi. Dan pilihan, selalu memiliki konsekuensi. Ya, tinggal dipikirkan saja toh, niatnya apa? Tujuannya apa? Lagi-lagi, bagi saya kuncinya adalah seimbang. Terlalu banya bekerja, tidak baik juga. Terlalu banyak bersosialisasi, (bagi saya, sih) cape juga. So what? Berkacalah pada kebutuhan masing-masing, aturlah berdasarkan standar masing-masing.

Bagi saya, orang yang paling berpengaruh dalam membentuk pendapat saya mengenai keseimbangan dan niat adalah ibu saya. Melanjutkan cerita saya yang tidak mau membeli barang baru, ibu saya bertanya lima hal. Pertama, berapa uang yang saya miliki? Kedua, sudahkah saya membayar zakat dan bersedekah? Ketiga, apakah saya membutuhkan barang tersebut? Keempat, apakah saya mampu membeli barang tersebut? Kelima, apakah saya bisa menyisihkan uang saya untuk menabung? Kalau jawaban dari empat pertanyaan terakhir adalah ya, kenapa tidak saya menggunakan uang saya untuk membeli barang yang saya inginkan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merefleksikan sebuah prinsip:do your responsibility, help people in need, spend based on your needs and capabilities. Tentunya, prinsip tersebut tidak hanya bisa diaplikasikan dalam konteks finansial, tetapi juga dalam berbagai konteks lainnya.

Menulis artikel ini membuat saya banyak berpikir lagi, mengevaluasi diri lagi. Sepertinya, banyak area hidup saya yang masih belum seimbang. Saya belum mengatur waktu saya dengan baik, saya masih cukup boros dan ignorant terhadap spending saya, dan lain-lain. Anyway, realizing is the first step of change. Semoga saya bisa menjadi orang yang lebih seimbang dan diluruskan niatnya oleh Allah.

O children of Adam, take your adornment at every masjid, and eat and drink, but be not excessive. Indeed, He likes not those who commit excess. Say, “Who has forbidden the adornment of Allah which He has produced for His servants and the good [lawful] things of provision?” Say, “They are for those who believe during the worldly life [but] exclusively for them on the Day of Resurrection.” Thus do We detail the verses for a people who know. (Quran, Chapter# 7, Verses#31-32)

Feb 12, 2016

Advertisement