Moments that Change My Life 3: About Faith

Sepertinya kuliah jurusan psikologi membuat gw banyak belajar mengenai hal-hal baru. Lots of my reflection and “awakening” dimulai dari teori-teori atau prinsip yang gw pelajari di kelas psikologi. Ada satu kelas yang bagi gw sulit tapi ternyata meaningful, yaitu kelas psikologi kognitif. Why?

Jadi, beberapa hari yang lalu di jalan pulang, gw sempat ngobrol dengan salah satu teman gw yang merupakan guru senior di sekolah tempat gw kerja. Kami awalnya bicara mengenai banyak hal, lalu menyempitlah pada satu peraturan yang pernah diterapkan di sekolah kami, yaitu mengenai kewajiban untuk solat Dzuhur berjamaah di kelas. We both agree that the essential of that rule is good. Ya, siapa yang tidak setuju bahwa praktik beragama itu tidak baik? Pada kenyataannya, murid-murid di sekolah kami ternyata banyak yang memprotes peraturan ini. Banyak sekali alasan mereka, termasuk mengenai kebebasan beragama dan memilih untuk tidak menjalankan praktik agama. Well, well…. Kalau sudah bicara mengenai hak seperti ini, memang akhirnya menjadi sulit. They have a valid opinion. I’m not saying that it’s right or wrong, I’m saying that it’s valid. Ya betul kan, mau beribadah atau tidak merupakan hak masing-masing orang. Bahkan, mau percaya Tuhan dan agama atau tidak, juga hak masing-masing orang. Nah, melawan argumen-argumen ini lah yang sulit bagi gw. Bukan karena gw tidak percaya atau karena gw tidak beribadah. Not at all. Sulit karena ketuhanan dan kepercayaan terhadap agama asalnya dari faith dimana tidak ada orang yang bisa membuat seseorang punya faith terhadap sesuatu. Sesungguhnya, Allah-lah yang dapat membolak-balikkan hati. Pada akhirnya, Rasulullah SAW meskipun sangat menyayangi pamannya dan telah berdakwah kepada pamannya, pun tidak dapat membuat Abu Thalib masuk Islam.

Nah, di dalam percakapan gw dan teman gw ini, kita melakukan refleksi lah (yekan gw sukanya emang refleksi diri). Yang kami temukan bersama adalah bagaimana seseorang dididik dalam keluarga sangat penting untuk menumbuhkan yang namanya faith ini. Kalau menurut Cambridge Dictionary, faith diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan tingkat tinggi terhadap sesuatu atau seseorang – bahkan ketika tidak ada alasan atau hal yang mendasarinya. Oleh karena itu, bagi saya, tampaknya sangat sulit sekali untuk memunculkan faith dalam diri seseorang. Kalau tidak dari kecil, kalau tidak dengan keyakinan yang sangat kuat, tampaknya tidak mungkin. Kembali lagi, hanya Allah yang dapat membolak-balik hati.

Cerita gw tentang faith mungkin agak sedikit berbeda. Mungkin apa yang gw pahami salah, tapi ini adalah persepsi, pemahaman, dan pengalaman gw. Alhamdulillah, gw tidak pernah menjadi orang yang tidak percaya pada Allah dan agama. Gw lahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang sangat taat sehingga pendidikan agama gw dapat sejak sangat kecil. It kind of grows in me. Tapi gw pun tidak pernah mempertanyakan. Ya, ada lah ya, pertanyaan-pertanyaan seperti: kenapa Allah menciptakan orang jahat, dll saat gw menginjak remaja. So and so, gw tidak pernah lalu meragukan keislaman gw. I have a complete faith sampai akhirnya gw menemukan jawabannya sendiri.

Jadi, gw dulu adalah mahasiswa psikologi. Salah satu mata kuliah yang wajib kami ambil adalah psikologi kognitif. Dalam pelajaran tersebut, kami belajar mengenai bagaimana manusia berpikir, fungsi otak, dll. Intinya, otak adalah organ tubuh inti yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya dan membuat manusia menjadi “manusia”. Susah kali bahasanya yaa… Suatu hari, kami belajar lah mengenai persepsi. Tubuh manusia itu punya reseptor sensasi, yang biasanya kita sebut indera. Nah, si indera manusia ini menyampaikan lah informasi melalui saraf ke otak. Lalu, otak menerjemahkan sensasi ini dan akhirnya kita tahu apa yang ada di sekitar kita. Sama lah, seperti input di komputer yang lalu ada output-nya. Nah, masalahnya…. Saking si otak kita ini sangat kompleks, we may not know how it translates information. And we have no way of knowing bahwa apa yang diterjemahkan otak kita itu benar atau salah. Biasanya, we come to other people to convince us that what we perceive is true. Masalahnya lagi, orang lain kan belum tentu juga otaknya “benar”. Masalahnya lagi, bagaimana kalau otak kita salah menerjemahkan input, dan ternyata orang lain itu hanya ilusi?

925187_227890820751964_263901659_n.jpg
And that’s when I realized: gila! Dunia ini beneran fana ya. Gimana kalau otak kita berbohong pada kita? Bagaimana kalau realita yang selama ini kita percaya, ternyata bukan realita. Maaaaaannnn…. And that time I completely believe that I need something beyond. Bahwa ada suatu zat di atas manusia yang Maha. Bahwa sesungguhnya gw butuh sesuatu yang membuat gw “sane”. Bahwa gw butuh bergantung pada janji yang diberikan sama Allah, bahwa ada dunia, nanti, yang tidak fana. Gw sangat bersyukur sih bahwa gw mendapatkan pencerahan ini. Buat gw, inilah yang membuat gw memiliki (mudah-mudahan) complete faith. Mungkin buat orang lain ini tidak logis, mungkin buat orang lain pengalaman dan pemahaman ini belum bisa membuat mereka percaya. But then again, balik lagi lagi dan lagi, hanya Allah yang bisa membolak-balikkan hati. And at the end, memang manusia tugasnya berdoa dan memohon supaya selalu dibukakan hatinya terhadap hidayah dan cahaya. Aamiin.

Photo credit: https://www.instagram.com/ryantoanugroho/?hl=en

Leave a comment