Entah kenapa tetiba ingin menulis tentang hal ini. Kenapa? Well, sepertinya memang pembahasan mengenai bagaimana kuliah S2 tidak akan habis-habis. Setiap individu punya cerita, setiap individu go through a different path. Setelah adik saya menulis tentang “Siapa bilang kuliah di luar negeri enak”, rasanya ini adalah sudut pandang saya tentang bagaimana kehidupan S2 saya diwarnai dengan minggu-minggu ‘mainan oven’ hingga lelahnya kerja pada saat puasa di musim panas. Memang, kehidupan S2 penuh dengan tantangan, seperti teman saya yang baru saja bercerita “Pernah nggak sih mau nyerah aja kok kuliah gini-gini amat”.
Pernah dengar bahwa individu bisa berkembang ketika keluar dari zona nyaman? Ini bukan sekedar kata-kata motivator jargon seminar pengembangan diri. I truly believe that. Saat belajar mengenai psikologi kognitif, saya mengenal sebuah kata yang selalu saya ingat hingga sekarang: disonansi kognitif. Istilah tersebut berarti adanya kesenjangan antara apa yang diketahui atau diyakini dengan apa yang terjadi, dilakukan, atau dengan informasi baru yang didapatkan. Hal ini menyebabkan ketidaknyamanan yang dialami oleh individu sehingga ia ‘dipaksa’ untuk melakukan sesuatu agar ketidaknyamanan tersebut berkurang atau hilang. Disonansi kognitif, meskipun mungkin baru-baru ini saja istilahnya Anda atau saya kenal, ternyata sudah terjadi sejak bayi. Disonansi kognitif adalah cara belajar, cara untuk memperbaiki lagi struktur pengetahuan yang dimiliki lagi, cara untuk menyesuaikan lagi sikap yang dimiliki, dan cara untuk mengubah perilaku. Namun, saya selalu ingat bahwa disonansi kognitif selalu menimbulkan ketidaknyamanan. Dari pengetahuan ini, saya menyimpulkan bahwa kita tidak belajar apabila tidak mengalami ketidaknyamanan yang berasal dari disonansi kognitif.
Intinya? Ya belajar itu tidak nyaman, ingin menjadi lebih baik dan mencapai mimpi itu memang harus keluar dari zona nyaman karena mahluk bernama disonansi kognitif ini. Lagipula, apa rasanya lulus tanpa perjuangan? Gitu-gitu aja lah pastinya… Justru yang terkenang adalah perjuangannya, kan?
Ketika ditanya, pernah nggak sih mau nyerah aja karena nggak kuat kuliah S2? Honestly, no. Entah kenapa saya tidak pernah merasa perkuliahan yang menyita waktu dan bikin pengen nangis itu nyaris membuat saya menyerah. Not at all. Tapi, saya juga tidak mengatakan bahwa masa perkuliahan saya mudah. Not at all. Jadi maunya apa, Za? I’d say… challenging.
Kuliah S2 itu sulit, Jenderal! Bagi saya yang berkuliah S2 di luar negeri, sulitnya bertambah-tambah karena harus juga beradaptasi dengan budaya sosial dan budaya akademis. Saya harus membangun hubungan baik dengan teman-teman yang berasal dari seluruh belahan dunia, yang tentunya tidak semua memiliki value yang sama dengan saya. Saya harus beradaptasi dengan cara berinteraksi orang-orang lokal, berusaha menjaga nama baik negara saya (ya, disini saya merasa nasionalis – hal yang kadang-kadang saja saya rasakan, hehehe…). Dalam hal budaya akademis, adaptasi yang dilakukan jauh lebih sulit dan jauh lebih banyak. Menggunakan bahasa Inggris dalam keseharian, dalam konteks akademis tentunya merupakan tantangan. Bahkan bagi orang-orang yang lancar berbahasa Inggris, hal ini bisa jadi cukup sulit. Belum lagi dengan materi-materi kuliah yang ada, bagaimana mahasiswa dituntut untuk berpikir kritis, dan bagaimana tugas beribu-ribu kata menunggu untuk dikerjakan.
Salah satu hal yang saya sangat rasakan pada saat berkuliah S2 adalah saya jadi rajin membaca. Bukan hanya reading list yang seabrek-abrek, individual research pun harus dilakukan untuk menambah wawasan. Mengapa? Karena kuliah disini mengharuskan mahasiswa untuk aktif berdiskusi. Masuk kelas dengan 0 pengetahuan? A big NO. Belum lagi membaca untuk mengerjakan tugas-tugas esai yang sungguh sangat banyak itu. Pastinya, seperti mungkin semua mahasiswa S2 disini, saya mau menangis saja. Trik saya adalah memanfaatkan waktu. Saya menempel sebuah post-it di meja belajar saya dengan tulisan ‘If you are not doing something great, do something useful’. Cukup berhasil untuk mengingatkan saya agar tidak menyia-nyiakan waktu. Dari waktu bangun saya, mungkin 70% saya habiskan untuk membaca.
Saya cukup beruntung (atau tidak beruntung, ya?) karena 100% nilai mata kuliah saya ditentukan oleh nilai esai saya. Setiap mata kuliah mengharuskan saya menulis esai 4000-6000 kata sebagai tugas akhir. Dalam satu semester, saya mengikuti 4-5 mata kuliah. Jadi, at the end of semester, saya harus mengumpulkan tulisan yang kalau ditotal jumlahnya adalah 25000 kata. Mau pingsan. Nggak kebayang sih bagaimana teman-teman yang masih ada pula tugas kelompok, presentasi, dan ujian. Lebih mau pingsan. Start early adalah kuncinya. Saya selalu berusaha memulai menulis esai right after the semester starts. Itu pun, biasanya 1-2 minggu sebelum pengumpulan tugas saya harus rela ‘mainan oven’ karena tidak sempat memasak. Beli frozen food yang tinggal di oven lah yang jadi solusi bagi saya. Nggak heran ya, sepanjang kuliah S2 berat badan saya turun drastis hingga 10-15kg. Lumayan, diet tanpa usaha. Saran saya sih, banyak-banyak konsultasi ke dosen mata kuliah agar dapat mengerjakan tugas sesuai dengan ekspektasi. Tidak sekali dua kali tugas saya yang sudah ditulis hingga 1000 kata lalu ditolak mentah-mentah oleh dosen dan saya harus menulis ulang lagi dari awal. Sedih, ya? But that’s life.
Di semester kedua, mahasiswa yang berkuliah S2 dalam waktu 1 tahun harus mulai memikirkan disertasi (disini disebut disertasi untuk S2, instead of tesis seperti di Indonesia). Tentu pusinya bertambah-tambah. Lagi-lagi, start early. Saya sendiri mulai berkonsultasi dengan dosen pembimbing saya sejak bulan Januari dan mulai menulis disertasi saya sejak bulan Februari. Penelitian saya berapa lama? 4 bulan, saudara-saudara. 4 bulan saya bolak-balik mengambil data di sebuah sekolah sambil berkuliah dan sambil bekerja (ya, sotoy nya saya adalah udah tau sibuk tetep aja mau kerja demi jalan-jalan). Pastinya ada saat-saat saya tidak mau bangun pagi karena lelah, maunya santai, maunya tidur aja, dan bertanya-tanya ‘kok hidup gue gini-gini amat?’. So little time so much to do. Trik saya? Hadapi saja! The whole thing will all pass. Fokus dengan tujuan, luruskan niat.
At the end, semua usaha yang dikeluarkan akan terbayar. Pada akhirnya, disonansi kognitif itu berakhir, ketidaknyamanan itu berkurang, dan tujuan tercapai. Equilibrium, keseimbangan antara apa yang diketahui dan apa yang terjadi. Keseimbangan antara tujuan dan hasil. Hopefully. Saya pun tidak sadar seberapa banyak hal yang sudah saya kerjakan, seberapa banyak hal yang sudah saya alami, dan seberapa berharganya pengalaman saya kalau saja teman serumah saya dulu baru-baru ini bercerita. Saat itu, saya sedang mengunjungi kota tempat saya berkuliah dulu dan bertemu dengan teman saya tersebut. ‘I don’t know how you’ve done all those things in a year! Studying, doing your dissertation, working, volunteering, and travelling. You’ve always been busy but you also always have time to hang around and chat. Dan sejujurnya, saya pun tidak tahu, saya pun tidak sadar bagaimana cara saya melakukan semua hal tersebut dulu. Ternyata bisa ya, melakukan itu semua walaupun dengan acara nangis-nangis di depan buku dan laptop.
So, for you who just want to give up because postgraduate study is so damn difficult, you just have to push through. You are capable of what you are doing and this all shall pass. At the end, you won’t believe how much you’ve learned and how much you’ve gained. Good luck!
Feb 01, 2016