Home Away from Home: Pendidikan Anak (Preschool)

Tahapan pertama pendidikan anak di Inggris adalah preschool atau biasa juga disebut dengan nursery. Well, sebenarnya ini bukan pendidikan atau sekolah yang official untuk anak-anak, melainkan ditujukan sebagai tempat memperkenalkan anak tentang suasana dan dunia sekolah, bagaimana bersosialisasi dengan orang lain, dan lebih mengasah kemampuan dan nilai interpersonal anak. Pendidikan dasar anak dimulai pada umur 5 tahun, tetapi orang tua dapat memutuskan untuk memasukkan anak mereka pada jenjang ini. Nah, minggu ini kami akan membahas lebih dalam tentang preschool. Informasi yang kami sajikan kali ini, merupakan gabungan dari hasil research kami dan hasil wawancara dengan Kak Sondang, seorang warga Indonesia yang tinggal di Birmingham.

Sebenarnya sebelum masuk nursery, jika anda memiliki anak dibawah umur 3 tahun, di Inggris sini ada juga lho alternatif aktivitas yang memang dirancang untuk anak-anak, biasanya disebut toddler time yang biasanya digawangi oleh city council bagian children center dan diadakan di hampir semua perpustakaan. Toddler time ini umumnya hanya berlangsung selama 30 menit dan anda bisa langsung datang bersama buah hati tanpa dipungut biaya. Sebagian besar aktivitasnya adalah story telling, bernyanyi bersama dan berlatih membuat prakarya. Ada lagi yang disebut play and stay, dimana programnya berlangsung lebih lama dibandingkan toddler time, ya sekitar 2 jam, satu kali dalam seminggu. Biasanya stay and play ini diadakan oleh yayasan atau local club dan kegiatannya juga dilengkapi dengan makan bersama, membuat craft sederhana dan ada iuran sekitar GBP 1-2 saja setiap kedatangan. Oh iya, di stay and play ini orang tua harus ikut datang dan menunggui anak-anak hingga selesai.

Bagaimana seandainya anda dan pasangan sama-sama tidak bisa menjaga buah hati karena bentrok dengan jadwal kuliah bekerja? Nah, yang ini tetap ada solusinya yaitu child care atau tempat penitipan anak, tetapi hitungan biayanya memang mahal. Anak-anak bisa dititipkan dalam harian, mingguan, maupun bulanan. Bahkan jika ingin menitipkan hanya setengah hari juga bisa, biasanya child care ini buka dari jam 07:30 pagi hingga pukul 18:00 sore. Biaya yang dipatok cukup menguras tabungan yang  rata-rata berkisar GBP 42 per hari, atau GBP 780 per bulan. Ada pula child care yang tarifnya lebih murah yaitu yang dikelola oleh yayasan atau tempat ibadah, tetapi sebaiknya anda tetap survey terlebih dahulu untuk menentukan cocok tidaknya dengan anak anda. Hampir sama dengan sekolah, penitipan anak inipun memiliki jumlah terbatas, sehingga tetap harus mendaftarkan anak sesegera mungkin dan tergantung ada atau tidaknya kuota.

Sejak usia 3 tahun, anak sudah dapat didaftarkan ke nursery school (mungkin kalau di Indonesia semacam playgroup dan PAUD ya) yang ada di sekitar rumah tinggal anda, dengan jatah 15 jam gratis dalam satu minggu. Sedangkan di kota Birmingham sendiri, sejak tahun 2016 ini, ada peraturan baru yaitu usia minimal anak 2 tahun sudah mendapatkan jatah sekolah gratis tersebut. Sayangnya, jatah sekolah gratis mulai dari 2 tahun ini tidak berlaku bagi para imigran seperti kita. Jadi, warga Indonesia yang ada di Birmingham, dan Inggris pada umumnya, dapat mulai bersekolah 15 jam gratis di usia 3 tahun. Jika dalam satu minggu ada 5 hari kerja, maka anak bersekolah selama 3 jam per hari, dong? Tidak juga. Peraturan setiap sekolah berbeda-beda mengenai arrangement waktu sekolah kelas nursery ini. Ada yang pengaturannya 3 hari setiap hari dalam seminggu, ada yang 3 kali dalam seminggu dengan 2 hari full day (9-15) dan 1 hari setengah hari (9-12), dan lain-lain. Pemilihan hari nya pun bisa anda atur sesuai kebutuhan, tetapi tidak ada jaminan juga pilihan hari masuknya mendapat persetujuan langsung dari pihak sekolah karena tetap akan bergantung pada kuota hari yang available. Lalu apakah hanya dibatasi 15 jam saja? Kalau orang tuanya tetap tidak bisa mengawasi anak-anak di rumah karena kesibukan di kampus atau tempat kerja, bolehkah mengambil lebih dari itu? Ya memang 15 jam tersebut adalah jam gratis yang diberikan dan merupakan standar pemerintah. Jika menginginkan jumlah jam lebih dari itu, diperbolehkan tetapi tentu saja harus membayar biaya tambahan, dan tiap nursery memiliki tarif berbeda-beda.

Karena bukan jenjang sekolah yang resmi, maka pemilihan lokasi sekolah pun tidak diwajibkan untuk memilih yang terdekat jaraknya dengan lokasi rumah tinggal, tetapi tetap dianjurkan demikian untuk mempermudah mobilitas orang tua dalam proses antar jemput si anak. Biasanya sebelum mendaftar, para orang tua mencari informasi terlebih dahulu ke nursery-nursery school yang ada yang menjadi incaran mereka, misalnya untuk mengetahui seperti apa suasana ruang belajar dan bermainnya, fasilitas apa saja yang diperoleh, tools ajar dan bermain apa saja yang ada di nursery tersebut, apakah kira-kira para pengajar memiliki karakter yang cocok dan memiliki jiwa penyayang kepada anak-anak, sampai kepada masih adakah biaya tambahan yang perlu dibayar oleh orang tua. Sebaliknya, pihak sekolah pun berusaha untuk tahu mengenai kebiasaan anak. Ada yang melihat melalui kelas trial yang diikuti oleh anak, ada juga yang memberlakukan home visit sebelum anak mulai sekolah. Waduh, apa pula yang dilakukan saat home visit? Biasanya, pihak sekolah akan melihat kebiasaan sehari-hari anak, budaya di rumah, dan juga pola pengasuhan orang tua. Selain itu, sekolah juga akan bertanya mengenai riwayat kesehatan anak.

Kebanyakan warga Inggris, sudah memulai mendaftarkan anaknya pada nursery yang diinginkan sejak bayi mereka lahir. What? Masa iya bayi baru lahir udah didaftarin sekolah? Begitulah, saking banyaknya jumlah anak dan terbatasnya kuota pada nursery tertentu, hal ini memang sering terjadi demi memperoleh kursi di bangku playgroup nya. Sehingga untuk anda yang baru datang juga jangan lupa untuk mendaftarkan segera anak di nursery yang memang sudah menjadi pilihan. Jika tidak punya waktu untuk survey atau mendatangi nursery, sebaiknya bertanya ke sesama warga Indonesia yang lebih dulu tinggal di sini untuk memperoleh informasi dan mencari tahu nursery mana yang direkomendasikan. Setelah mendaftar, tentu saja yang dilakukan adalah menunggu dari pihak nursery apakah masih terdapat kuota.

State nursery biasanya menyediakan meal atau makan siang untuk siswanya. Makan siang ini disediakan oleh sekolah, tetapi tidak gratis. Biaya penyediaan makanan ini bervariasi dalam range GBP15-30 setiap bulan, dan pilihan makanannya sudah ditentukan oleh sekolah. Bagi anak yang muslim, kemungkinan besar menu makanan utamanya ada yang tidak dapat dimakan karena tidak halal, tetapi ada juga option menu vegetarian sehingga anak tetap bisa bersantap bersama teman-temannya di sekolah. Wah, apa saja menu yang ada di sekolah? Jangan bayangkan makanan seperti di Indonesia, ya. Tidak ada menu nasi goreng dan bubur ayam. Di Inggris, anak-anak dibiasakan untuk makan makanan sehat di sekolah. Biasanya, menu vegetarian terdiri dari pasta atau kentang, sayuran rebus, dan buah. What? Anak saya makan seperti biasa saja sayurnya dipisah, bagaimana dia makan seperti itu di sekolah? Tenang saja, lama-lama anak akan terbiasa, kok. Sejauh ini, makanan tidak terlalu menjadi masalah. Bahkan, kadang-kadang anak pun terbawa pola makan di sekolah dan jadi hobi makan wortel mentah. Hihihi. Selain melatih makan sehat, peraturan makan di sekolah juga baik untuk mendidik anak-anak bersosialisasi dan memupuk kebersamaan diantara mereka, sehingga memang sekolah sepertinya tidak memperkenankan si anak membawa bekal sendiri dari rumah.

Selain urusan makanan, anak-anak juga memerlukan seragam sekolah. Untuk seragam, sekolah biasanya akan menunjuk toko tertentu yang menjual seragam ini, khususnya untuk nursery dengan seragam yang berbeda (memiliki ciri khas tersendiri), dan karenanya harga seragam ini kadang menjadi sedikit mahal. Tetapi, untuk seragam sejuta umat (yang biasanya beberapa nursery menggunakan model dan warna seragam yang sama), anda bisa mendapatkannya di departemen store atau supermarket semacam ALDI dan ASDA yang harganya pasti lebih miring, dan tidak ada badge lambang sekolahnya. Masih juga ingin seragam dengan harga lebih murah? Tenang saja, biasanya ada juga charity shop yang menjual seragam secondhand, bahkan beberapa sekolah tertentu menyediakan seragam bekas namun masih layak pakai ini jika ada orang tua yang menginginkan membelinya dengan harga sangat murah.

Bagaimana aktivitas anak-anak di nursery tersebut? Meskipun saat ini di Indonesia semakin banyak PAUD dan playgroup yang dikelola secara profesional, ternyata nursery di Inggris pun digarap secara lebih profesional, dimana dari awal program dan kurikulum ditetapkan dengan jelas, serta adanya manajemen sekolah yang lebih ketat. Mostly aktivitasnya memang pengenalan anak terhadap kemampuan dasar seperti bahasa, matematika, dan sosialisasi mereka dengan teman sebaya dan yang lebih tua yaitu para pengajar. Kegiatan yang ada didesain semenarik mungkin untuk anak-anak dan diseimbangkan  antara indoor dan outdoor. Selain kegiatan bermain dan belajar di dalam kelas, banyak pula aktivitas yang dilakukan di luar sekolah semisal field trip ke public facilities (perpustakaan, kantor polisi, pasar, kebun binatang), berkunjung ke farm, menonton film bersama, dan kegiatan lain yang mendorong anak untuk lebih cinta kepada alam. Anak-anak juga dibiasakan untuk meminjam buku dari perpustakaan sekolah, sehingga hal ini menanamkan budaya membaca bagi mereka.

Dari sisi pengelolaannya, pihak sekolah melibatkan orang tua terhadap banyak hal mulai dari awal hingga akhir term. Salah satu aspek yang menjadi concern adalah kehadiran si anak, karena pihak sekolah selain ingin membiasakan anak untuk berdisiplin dan bersiap diri memasuki tahapan sekolah yang sebenarnya. Di sini, peran orang tua sangat besar karena setiap hari anak-anak diharapkan sudah hadir 15 menit sebelum kelas dimulai, selain itu orang tua juga harus memberikan alasan apabila anak datang terlambat. Jam menjemput pun diatur oleh sekolah lho, sehingga jika ada orang tua yang telat menjemput, guru akan menanyakan dan meminta keterangan dari orang tua. Jumlah ketidakhadiran juga tidak kalah pentingnya diperhatikan; meminta izin untuk tidak masuk sekolah tidak selalu dikabulkan, kecuali dengan alasan yang sangat penting.

Lalu, adakah pertemuan one-by-one antara guru dan orang tua seperti saat terima raport di Indonesia? Biasanya kalau pun ada, sesi ini bertujuan untuk membahas progress anak. Tentu saja, pada tahapan nursery ini anak-anak tidak memiliki raport yang berisi nilai. Namun, guru memiliki catatan tertulis yang juga dapat diakses oleh pihak sekolah untuk melihat kemampuan anak dan kesiapan si anak untuk masuk ke jenjang pendidikan berikutnya. Tenang saja, anak pasti akan naik kelas. Catatan tersebut hanya digunakan untuk merancang pembelajaran yang tepat bagi anak.

Hal yang cukup sering juga ditanyakan adalah mengenai adaptasi anak di sekolah. Ya, namanya juga anak baru pindah dari Indonesia, masih kecil, dan mungkin belum terbiasa berbahasa Inggris. Bagaimana kondisi mereka saat baru masuk sekolah? Pertama-tama, nursery adalah jenjang pendidikan (agak) wajib pertama di Inggris. Oleh karena itu, kemungkinan besar anak-anak lain pun sedang berada dalam tahap adaptasi yang sama. Jadi, anak kita tidak ‘aneh’ sendiri lah, di kelas. Pihak sekolah biasanya mengizinkan orang tua untuk menemani anak di kelas nursery hingga anak siap untuk ditinggal. Berapa lama tuh? Tergantung anak. Ada yang sehari saja sudah bisa ditinggal, ada yang seminggu, ada pula yang sampai tiga bulan masih harus ditemani oleh orang tua. Jangan khawatir, lama-lama anak akan terbiasa dan bisa bermain sendiri. Sedangkan mengenai masalah bahasa, sejauh yang kami lihat, anak-anak yang terhitung masih kecil ini sangat cepat beradaptasi dengan bahasa. Bahkan kadang-kadang, orang tua pun kesulitan menangkap apa yang diucapkan anak – bukan karena tidak jelas, tetapi karena aksennya sudah British banget.

Dengan sekolah yang hanya 15 jam per minggu dan baru bisa masuk sekolah pada usia 3 tahun, lalu apalagi yang bisa dilakukan oleh anak-anak di Inggris? Banyak sekali fasilitas pendidikan yang ada untuk anak di bawah 5 tahun. Salah satu kegiatan yang paling populer adalah berkunjung ke perpustakaan. Nah, jangan bayangkan perpustakaan di Indonesia yang penuh dengan rak buku dan sunyi senyap. Perpustakaan di Inggris didesain dengan sangat baik sehingga tempatnya nyaman untuk anak-anak. Di setiap perpustakaan, ada bagian khusus anak yang menyediakan banyak sekali buku yang dapat dibaca, dipinjam, bahkan dibeli dengan harga sangat murah (10 pence saja! 2000 rupiah untuk satu buku, dimana lagi bisa dapat buku semurah itu?). Selain membaca, anak-anak juga bisa menghadiri sesi pembacaan cerita dan kegiatan anak yang biasanya diadakan 1-2 kali dalam seminggu. Dijamin, anak-anak akan sangat senang dibawa ke perpustakaan karena pada akhir kegiatan mereka bisa mendapatkan sertifikat, oleh-oleh hasil karya mereka, dan kadang-kadang goodybags.
Nah, sudah dapat gambaran kan tentang preschool di Inggris? Semoga anda sebagai orang tua tidak lagi terlalu panik untuk membawa balita untuk tinggal dan bersekolah di sini. Usai sudah pembahasan kami tentang jenjang preschool kali ini, dan minggu depan kami akan lanjutkan sharing mengenai primary school.

 

Photo source: http://www.asquithnurseries.co.uk/uploads/images/Gallery/Nurseries/Bush-Hill-Park/Carousel/day-care-childcare-nurseries-in-england-bush-hill-park.jpg

Advertisement

University 101: Independent Learning (2)

Setelah bagian pertama feels like a thousand days ago, mari kita lanjutkan seri tulisan tentang University 101 ini. Sekedar mengingatkan, seri ini sengaja saya tulis untuk teman-teman yang akan berkuliah (S1 maupun S2) untuk memberikan gambaran mengenai study skills yang dibutuhkan saat menjadi mahasiswa, terutama di universitas non-Indonesia. Namun, harusnya sih isinya pun relevan bagi teman-teman yang akan berkuliah di universitas di Indonesia. Framework artikel ini didasarkan pada sebuah online course yang saya ikuti mengenai preparing for university.

Beberapa minggu yang lalu, saya membahas mengenai the art of asking questions. Kali ini, salah satu aspek penting dalam kehidupan mahasiswa di universitas adalah independent learning. Ya, sudah besar dan dewasa (harusnya) membuat mahasiswa memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam memastikan keberhasilan studi-nya.

Saya jadi ingat, seminggu lalu sebuah daerah di Birmingham ‘kekeringan’ karena ada water pipe burst. Hal ini menyebabkan ada sekolah yang diliburkan karena tidak ada supply air bersih. Namanya juga musibah, pemberitahuan libur sekolah baru dilakukan oleh pihak sekolah di pagi hari, saat anak-anak sudah bersiap berangkat sekolah. Lucunya, seorang anak kawan saya menangis cukup drama karena ia sedih tidak jadi berangkat sekolah. Dasar anak-anak yaa… Sekolah membuat bahagia. Kalau kita? Hahaha…. Mungkin ada yang merasa sekolah tidak menyenangkan? Libur jadi momen yang ditunggu-tunggu?

Hmmm… harusnya sih kalau kuliah tetap semangat untuk masuk kelas ya? Mengapa? Karena harusnya kan kuliah sesuai dengan topik atau bidang yang diminati. We should be interested in what we learn in the university. Mari dicek artikel saya sebelumnya: https://theadventureofizzao.com/2016/03/27/salah-jurusan/. Kalau semangatnya harus sama dengan si anak kecil yang ingin sekali bersekolah, ada hal yang berbeda tentang libur. Bagi mahasiswa, tidak ada kelas bukan berarti tidak belajar. Whaaaat?

Pertama-tama, saya akan menjelaskan mengenai sistem belajar di universitas di UK (dan mungkin banyak negara lain). Ada isitlah yang disebut sebagai ‘contact time’. Apakah itu? Contact time berarti waktu yang dialokasikan bagi mahasiswa untuk bertemu dengan dosen. Nah, contact time ini dihitung sejumlah jam dalam satu minggu. Contact time di setiap jurusan dan jenjang pendidikan pun berbeda-beda. Ada jurusan-jurusan yang contact time-nya sedikit, seperti jurusan English Literature, Drama, dan Music (8-15 jam per minggu). Namun, ada juga jurusan yang memiliki banyak contact time, seperti International Relation dan jurusan-jurusan Social Science (20-28 jam per minggu). Bagaimana dengan jurusan Science? Biasanya mahasiswa yang mengambil jurusan Science memiliki contact time yang sedang, dengan proporsi lab work yang cukup besar. Misalnya, 15 jam contact time dan 15 jam lab work per minggu. Biasanya, ada 3 jenis pertemuan mahasiswa dengan dosen, yaitu lecture, seminar, dan tutorial. Apa bedanya? Lecture adalah kuliah, seperti kelas kuliah di Indonesia. Mahasiswa dalam satu kelas ada banyak dan biasanya dosen memegang kendali dalam memberikan penjelasan tentang suatu topik. Seminar dilakukan dalam kelompok yang lebih kecil dari lecture, dan biasanya student-based. Jadi, mahasiswa harus aktif berdiskusi, mengerjakan tugas, dan melakukan case study. Project-project pun biasanya dikerjakan selama seminar ini. Terakhir, tutorial adalah pertemuan individual satu mahasiswa dengan dosen. Biasanya, alokasi waktu ini didapatkan pada jenjang tingkat akhir S1 atau pada saat S2. Mahasiswa memiliki hak untuk bertemu dengan dosen selama sekian jam pada masa kuliah berlangsung. Hak, ya, bukan kewajiban. Jadi, mahasiswa lah yang harus menuntut haknya dengan membuat appointment dengan dosen karena dosen tidak akan mengejar-ngejar Anda untuk bertemu. Yekaliii, macam artis aja.

Wah, nggak adil dong? Ada yang kuliahnya banyak tapi ada juga yang sedikit? Nah, keadilan itu ada di independent learning. Teman-teman yang memiliki contact hour sedikit, pasti tugasnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan teman-teman yang contact hour-nya banyak. Sebagai perbandingan, saat S2 saya memiliki contact hour 10 jam per minggu. Tugas saya ada essay 500 kata setiap minggu dan essay 6000 kata x 5 mata kuliah untuk dikumpulkan di akhir term. Suami saya memiliki contact time 20 jam per minggu dengan case study untuk setiap mata kuliah dan essay 2500 kata x 6 mata kuliah untuk dikumpulkan di akhir term. Otomatis, waktu yang saya sisihkan untuk independent learning (mengerjakan tugas) pun jadi bisa make up the difference antara contact hour saya dan contact hour suami saya. Intinya sih, sama-sama belajar!

Oke, lalu apa yang dilakukan di waktu kosong tersebut? Seperti yang sudah dijelaskan, kita bisa mengerjakan tugas, membaca bahan kuliah (reading list), dan melakukan revision. Jangan dikira hal-hal tersebut memakan waktu singkat, ya. Ini bukan SMA yang bisa ngerjain PR sebelum bel di sekolah. Hihi. semua hal tersebut memakan considerable amount of time. Jadi, alokasikan lah waktumu dengan baik. Mari kita bahas masing-masing kegiatan tersebut!

Mengerjakan tugas

Apa sih tugasnya mahasiswa? Ada banyak sekali jenis tugas yang diberikan pada mahasiswa. Kita bisa diminta untuk menulis essay, merancang dan membuat project, atau lab work. Jenis tugas biasanya tergantung jurusan yang dipilih. Biasanya, kita sudah bisa tahu tugas apa saja yang akan kita kerjakan di pertemuan kuliah pertama. Jadi, tidak seperti PR di sekolah yang ‘ujug-ujug’ diberikan, saat kuliah ini kita bisa ancang-ancang untuk mengerjakan tugas di awal masa perkuliahan. Tugas yang diberikan pun bisa berupa tugas individu atau tugas kelompok. Keduanya membutuhkan effort yang besar. Misalnya, tugas kelompok butuh kekompakan, kerja sama, dan kolaborasi dengan teman-teman sekelompok. Saat berkuliah di tempat dengan mahasiswa yang background budaya-nya berbeda, kita pun harus bisa fleksibel dan bertoleransi. Ini PR yang besar dan cukup menantang untuk dijalani. Kalau tidak mampu bekerja sama dengan baik, maka nilai kita lah yang dikorbankan. Berbeda dengan tantangan pada tugas kelompok, tugas individu membuat kita harus bersusah-susah sendiri. Jadi, banyak waktu dihabiskan di perpustakaan atau di kamar untuk membaca dan menulis. Kebosanan, godaan untuk bermain, dan kecenderungan prokrastinasi adalah tantangannya. Oleh karena itu, motivasi dan time management skills sangat dibutuhkan, terutama apabila ada banyak tugas yang harus diselesaikan dalam satu waktu.

Membaca bahan kuliah

Kegiatan lain yang bisa dilakukan saat kita tidak harus masuk kelas adalah membaca bahan kuliah. Biasanya, mahasiswa telah diberikan reading list di awal masa kuliah. Reading list ini ada yang wajib dan ada juga yang sunnah (additional). Nah, kalau yang wajib saja sudah sebareg, gimana dengan yang sunnah? Oleh karena itu, saya biasanya menyisihkan waktu khusus untuk membaca reading list dan bahan kuliah. Oh ya, kalau kuliah di luar negeri, tidak bisa lagi seperti kuliah di Indonesia yang cukup membaca slide dari dosen, ya. Hahaha… Nilai kita bisa berantakan kalau mengandalkan slide kuliah dosen. Biasanya, slide kuliah dijadikan panduan mengenai topik apa yang wajib dibaca di buku. Jadi, bahkan sebelum masuk kuliah pun si slide kuliah sudah penuh dengan coretan-coretan. Selain untuk bisa mengerti materi kuliah agar tidak cengo’ saat di dalam kelas, membaca reading list juga sangat berguna untuk menambah wawasan dan membantu dalam mengerjakan tugas. Jadi, usahakanlah untuk selalu mencoba membaca additional reading material yang bisa berupa text book, jurnal terkini, dan usahakanlah untuk selalu update informasi terkait dengan apa yang kita pelajari dari berita terkini. Saat kuliah S2 dulu, saya mengalokasikan 1 jam di pagi hari untuk membaca berita yang ada serta jurnal terbaru tentang topik yang saya pelajari.

Mengerjakan revision

Aktivitas terakhir yang bisa dilakukan di waktu kosong adalah mengerjakan revision. Apakah itu revision? Revision berarti mengulang pelajaran atau latihan. Mungkin ini bentuknya macam kita belajar di SD, saat harus membaca lagi apa yang telah dipelajari di sekolah dan mengerjakan latihan soal. Nah, si revision ini biasanya tidak lagi dilakukan saat S2 karena tugas dan pelajarannya sudah lebih banyak ke arah developing ideas, bukan memahami konsep dasar. Nah, apa yang dibutuhkan saat revision? Tentunya materi yang telah dipelajari (bisa berupa catatan, slide kuliah, atau video) dan latihan soal. Untuk lebih baik lagi dalam melakukan revision, kita perlu tahu metode belajar yang paling nyaman bagi diri kita sendiri. Dengan begitu, revision bisa dilakukan dengan efektif dan hasil belajar pun lebih baik.

 

Seperti yang telah disebutkan di atas, independent learning ini sangat penting pada jenjang universitas karena mahasiswa tidak lagi ‘disuapi’ oleh dosen. Kemajuan belajar kita akan tergantung pada diri kita sendiri, tergantung usaha yang kita keluarkan. Selain itu, latihan independent learning pada saat berkuliah dapat melatih diri kita agar menjadi life-long learner, pembelajar seumur hidup. Skill ini sangat dibutuhkan terutama saat kita bekerja karena progress karir pun akan sebanding dengan luasnya pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu, ada atau tidak sarananya, kita harus bisa meng-upgrade pengetahuan dan kemampuan kita tanpa harus didorong oleh orang lain atau ‘dipaksa’ oleh pihak eksternal.

Independent learning is a skill. Tapi, di dalamnya ada berbagai keterampilan yang juga dibutuhkan dan terkait, seperti kemampuan mengatur waktu, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan kolaborasi, motivasi internal dan eksternal, serta kemampuan untuk memahami diri sendiri. Yuk, tingkatkan kemampuan kita dan mulai membiasakan diri untuk menjadi pembelajar mandiri.
Nantikan artikel berikutnya masih dalam topik University 101, yaa. Terima kasih sudah membaca.

When there is a will; there is a way, but….

…. Kalau nggak usaha sih sama aja. Akhir-akhir ini lagi sering ngobrol dengan suami tentang bermacam-macam hal. Lalu, suami cerita bahwa diantara teman-temannya sedang heboh tentang kesungguhan niat dan hasil yang dicapai – dalam konteks kuliah S2. Alhamdulillah saya dan suami diberi kesempatan untuk bisa ke Inggris dalam rangka berkuliah. Mungkin kalau terlihat oleh orang lain, wah kehidupan saya dan suami kok rasanya enak sekali. Menikah di usia muda, lalu bisa tinggal di luar negeri. Tapi, seperti rumput tetangga yang selalu terlihat lebih hijau, kita nggak pernah tahu perjuangan apa yang dilakukan oleh si tetangga supaya rumputnya bisa hijau, kan? Bisa jadi dia pakai pupuk yang harganya mahal, atau harus rela menyisihkan waktu lebih lama untuk merawat rumputnya. Yup, instead of judging, why don’t we try to understand?

Kali ini, saya mau sharing sedikit saja tentang kehidupan dan usaha yang saya dan suami lakukan hingga sampai di sini. Pencapaian kami masih super cetek kalau dibandingkan dengan orang lain. Namun, saya ingin berbagi untuk teman-teman yang sedang galau dalam memasuki tahapan kehidupan selanjutnya (sok tuaaa bgt guee…). Jadinya, tulisan ini akan ‘sedikit’ curhat tentang diri saya sendiri, hihi. Nggak apa-apa lah yaa sekali-sekali.

Sepertinya untuk memulai cerita ini, saya harus throwback agak jauh ke belakang, ke saat saya belum menikah dengan suami. Saya pertama kali bertemu lagi dengan suami (ya, kami teman SD dan SMP) setelah bertahun-tahun tidak bertemu di bulan Oktober 2013. Saat itu, saya baru saja pulang dari UK setelah menempuh pendidikan S2. Setelah pertemuan itu, kami semakin dekat. Namun, wacana untuk menikah masih ada di angan-angan karena pada saat itu saya baru saja menandatangani kontrak untuk bekerja di Jakarta selama 2 tahun dan (calon) suami saya saat itu bertugas di Batam. Angan-angan hanyalah angan-angan karena keluarga kami sudah saling tahu dan ingin kami segera menikah. Nah loh? Akhirnya, pada bulan Juli 2014 kami memutuskan untuk menikah. Dalam waktu 2 minggu saja, gedung sudah di booking dan persiapan pernikahan langsung dimulai. Proses lamaran dilakukan di awal Agustus dan kami menikah di bulan November. Ngebut? Bagi kami ini adalah proses yang cukup ngebut, walaupun ada banyak sekali orang yang juga mempersiapkan pernikahan dalam waktu sangat singkat. Apa yang terjadi selama persiapan? Lumayan grabak grubuk juga sih. Kondisi saya yang bekerja full time, (calon) suami yang tinggal di luar kota, semua membuat kami sangat-sangat terbantu oleh orang tua. Long weekend jadi media agar kami bisa test food, melihat gedung, memilih fotografer, dan membuat undangan. Pusing? Pusing… Tapi kami bersyukur bahwa semua proses yang dijalani lancar.

Pada saat memutuskan untuk menikah, kami tahu betul konsekuensi dari keputusan kami. Kondisi pekerjaan mengharuskan saya dan suami menjalani LDM – long distance marriage. Ada yang pernah putus karena LDR? Menjalani LDM pun berbeda dengan menjalani pernikahan bersama di satu tempat. Kami harus berusaha meluangkan waktu untuk berkomunikasi dan mau tidak mau juga harus terus memperbaiki komunikasi kami. Mengapa? Karena hanya itu andalan kami. Hidup berjauhan, saya dan suami tidak bisa benar-benar tahu kondisi masing-masing. Hanya dengan komunikasi lah kami bisa terus memperkuat hubungan kami. Usahanya lebih besar? Tidak bisa dibilang seperti itu juga, sih. Tapi, usahanya terlihat lebih jelas. Yang jelas, saya dan suami sih kalau bisa memilih, tidak mau lagi kalau disuruh untuk LDM. Untuk bersamamu, gunung dan lautan pun akan kusebrangi (cieilaaaahh..).

Nah, untuk keluar dari situasi LDM, kami punya beberapa pilihan. Yang jelas, pilihan untuk saya pindah ke Batam, tempat dinas suami, sudah dicoret karena suami ingin pindah ke pulau Jawa, mendekat ke keluarga besar dan teman-teman. Mau tidak mau, suami lah yang harus berusaha pindah. Alternatifnya ada dua: pindah kerja atau sekolah. Akhirnya, suami pun paralel melamar kerja sambil juga daftar kuliah. Saya ingat sekali di bulan Januari 2015 kami sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan pendaftaran kuliah. Saat itu, suami fokus untuk mendaftar di universitas-universitas di UK. Selain kesibukan mendaftar kuliah, suami juga mulai mendaftar beasiswa. Kami sadar betul bahwa kami tidak punya uang (dan tidak punya sponsor) untuk bisa berkuliah dan hidup di UK tanpa bantuan beasiswa. Oleh karena itu, kami tahu bahwa apabila suami mendapatkan offer dari universitas tapi tidak mendapatkan beasiswa, maka suami harus menunda kuliah hingga ada yang mau membiayai. Usahanya apa untuk mendaftar kuliah dan beasiswa? Suami saya harus membuat esai dan tes bahasa Inggris. Saat itu tes bahasa Inggris dilakukan tanpa persiapan yang berarti. Saya hanya mengirimkan buku bekas latihan saya dari Jakarta agar suami bisa belajar di Batam. Kami juga saling email-email-an esai dan feedback esai hingga dirasa ‘pas’ untuk di-submit sebagai syarat pendaftaran kuliah dan beasiswa. Dari periode Januari hingga April 2015, suami mendaftar di hampir 10 universitas berbeda dan akhirnya, alhamdulillah, mendapatkan offer dari universitas yang diincar (walaupun belum rezeki untuk dapat offer dari University of Manchester). Suami pun memilih universitas idamannya dan segera men-submit aplikasi beasiswanya.

Rasanya di tahun 2015, waktu berjalan begitu cepat. Tiba-tiba saja di bulan Juni, suami saya mendapatkan kabar bahwa ia mendapatkan beasiswa. Kami langsung berpikir cepat tentang apa yang harus dilakukan. Pada saat itu, masih ada kabar bahwa ada kemungkinan suami baru bisa berangkat di tahun akademik berikutnya. Lagi-lagi kami harus bersiap dengan alternatif lain. Pilihan pertama adalah berangkat di bulan September tahun yang sama. Saya jelas harus ikut (disamping ingin jalan-jalan juga, alasan utama kami adalah tidak mau LDM). Namun, saya masih terikat kontrak kerja yang sisa 1 tahun lagi – dan harus membayar penalti apabila melanggar kontrak tersebut. Kami mulai berpikir: dari mana uang sebanyak itu? Selain itu, persiapan untuk berangkat di bulan September juga berkaitan dengan urusan visa dan kepindahan ke kota Birmingham. Kami pun jadi rajin membaca aturan visa (bahkan sampai kami print si buku petunjuk visa dari UKVI dan kami baca sampai khatam – berkali-kali khatam). Kami sadar betul bahwa urusan visa ini memiliki resiko yang besar apabila sampai ditolak. Jadi, kami harus mempersiapkan diri. Pada saat itu kami mulai menghitung uang yang ada di tabungan serta aset lain yang kami miliki. Opsi kedua adalah menunda keberangkatan hingga September 2016. Less risk, lebih sedikit biayanya (dan bisa menabung dulu selama 1 tahun), tetapi berarti kami harus bersabar karena masih satu tahun lagi harus LDM.

Suami kemudian mendapatkan kabar bahwa ia bisa berangkat (kemungkinan besar) di tahun 2015. Kami langsung menjalankan rencana kami. Pertama, kami harus meminjam uang untuk deposit persyaratan visa saya (karena finansial suami ditanggung oleh pemberi beasiswa). Sebagai bocoran, saat itu kami meminjam uang sejumlah hampir 150 juta untuk jaga-jaga konversi kurs rupiah ke poundsterling. Uang pinjaman itu kami endapkan dari akhir Juni untuk aplikasi visa di pertengahan Agustus. Ya, kami sudah ancang-ancang akan membuat appointment visa di pertengahan Agustus setelah menghitung-hitung jadwal serta persiapan kami (note: kami baru resign per 1 September, jadi suami pun harus nglaju Batam-Jakarta selama persiapan). Kedua, saya harus PDKT dengan kepala sekolah serta HR di sekolah tempat saya bekerja agar bisa cuti tak berbayar atau resign tanpa harus membayar penalti. Ihiks, seram juga kalau harus bayar. Ketiga, kami harus mempersiapkan segala dokumen untuk aplikasi visa, termasuk juga uang untuk membayar IHS (asuransi) serta visa. Anak piyik seperti kami hanya punya 1 kartu kredit yang limitnya pun terbatas. Jadilah kami harus lagi meminjam kartu kredit orang lain untuk membayar ini itu. Keempat, kami harus mulai hunting akomodasi di UK. Kami rajin membuka website pencarian akomodasi dan rajin juga email agen rumah dan landlord. Kami pun bersiap uang (lagi) untuk membayar deposit dan booking fee. Rasanya gaji di bulan-bulan itu ‘terbang’ hilang sekejap, belum lagi ditambah ongkos pesawat suami bolak-balik Batam-Jakarta.

Selesai urusan beasiswa dan visa, kami pun giat bekerja untuk menambal si tabungan yang bolong karena harus bayar ini itu. Kami juga memutuskan untuk bekerja hingga sesaat sebelum berangkat. Oh ya, kami berangkat di pertengahan September. Jadi, kami masih bekerja hingga akhir Agustus. Suami harus pindahan dari Batam ke Jakarta juga. Untungnya, barang yang dibawa tidak terlalu banyak sehingga biaya pindahan pun tidak terlalu besar. Segera setelah visa keluar, kami pun berburu tiket. Suami yang mendapatkan tiket dari pihak pemberi beasiswa segera mengabarkan informasi flight dan saya harus berburu tiket dengan jadwal yang sama ke berbagai travel agent. Cara ini saya lakukan agar dapat tiket dengan harga se-ekonomis mungkin. Hahaha… bukannya pelit, tapi beli tiket ini harus pakai acara jual-jual perhiasan (yang cuma segitu-gitunya) segala. Mahal cuy, apalagi belinya sudah mepet dengan tanggal keberangkatan.

Setelah heboh-heboh di Indonesia, sampailah kami di Birmingham. Selesai heboh-nya? Belum. Rasanya, masalah finansial ini masih terus heboh hingga sekitar bulan November. Kenapa begitu? Karena di masa awal adaptasi kok ya rasanya mengatur uang belum paham betul. Masih terkaget-kaget dengan pengeluaran dan akhirnya harus terus evaluasi hingga rekening bank kami stabil. Yang jelas, di awal datang, pengeluaran kami cukup banyak karena harus mengisi rumah. Tidak full mengisi sih, karena alat-alat basic sudah ada. Hanya saja, kami harus beli alat masak dan beberapa kebutuhan rumah tangga agar studio yang kami sewa bisa lebih homey. Di bulan berikutnya, kami harus menyesuaikan pola belanja bahan makanan agar bisa berhemat uang transportasi dan uang belanja. Nggak rela juga kalau setiap bulan hampir 100 pounds dikeluarkan untuk biaya transportasi. Kami pun evaluasi lagi dan merancang strategi lagi. Baru di bulan ketiga atau keempat lah kami bisa mulai ‘enak’ mengatur keuangan. Saya sih terbayang, berdua saja masih harus berpikir strategis supaya uang cukup dan berlebih untuk ditabung, bagaimana yang punya anak dua atau tiga? Huaaah harus putar otak agar dapur terus mengebul.

Berhemat adalah hal yang terus menerus saya dan suami lakukan. Saat bisa berhemat, kenapa tidak? Namun, ada satu hal yang tidak boleh dihemat: sedekah. Sesempit apapun kita, ibu saya selalu mengingatkan ‘Jangan pelit bersedekah’. Berikanlah yang terbaik untuk membantu orang lain. Sedekah ini tidak hanya dalam bentuk uang, ya… bisa juga dalam bentuk tenaga, ilmu, bahkan senyum. Percayalah bahwa Allah itu Maha Pemberi. Kalau kita sudah berusaha plus melakukan amal-amal baik, maka Allah pasti akan memberikan balasan yang terbaik.

Saya jadi ingat potongan status dari senior kuliah saya. Ia bercerita tentang kondisinya dan di akhir, ia menulis ‘stop merasa jadi orang paling nelangsa di dunia karena masih banyak orang yang kondisinya lebih buruk di luar sana’. Yap, saya harus banyak-banyak bersyukur karena telah banyak diberi kemudahan. Keinginan saya dan suami banyak yang sudah bisa terwujud. Saya kadang-kadang juga masih takjub bagaimana dalam waktu sangat singkat saya dan suami bisa sampai di sini. Seperti miracle, tapi juga bukan miracle 100% karena kami menyusun rencana, kami berusaha, kami memutar otak agar dapat bertahan. Dan yang terpenting, ya…. Banyak sekali orang-orang lain yang lebih hebat bisa mengatur uang dan kehidupan sedemikian rupa hingga bisa sukses dan bertahan hidup. Ada keluarga dengan tiga anak yang tetap bahagia dengan uang tunjangan beasiswa yang sama jumlahnya dengan mahasiswa single, ada keluarga-keluarga yang tinggal di London (yang amit-amit mahalnya) tapi tetap bisa piknik, ada juga teman yang harus berjuang mengulang ujian tapi akhirnya lulus setelah belajar di kampus hingga larut malam setiap hari, ada juga teman yang ditinggal oleh suaminya tapi tetap tegar menjalani hidup, ada ibu-ibu mahasiswa yang selain harus mengurus anak dan suami (dan mungkin juga harus bekerja) harus belajar dan menulis esai. Semua tergantung tujuan sih. Maunya apa? Tujuannya apa? When there is a will; there is a way, but…. Saya akan coba mengutip kata-kata dari novel yang menurut saya sangat bagus untuk memberi semangat:

“Kemudian yang kamu perlukan hanyalah kaki yang akan melangkah lebih jauh, tangan yang akan berbuat lebih banyak, mata yang akan melihat lebih lama, leher yang akan lebih sering mendongak, tekad yang setebal baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras serta mulut yang selalu berdoa.” (Donny Dhirgantoro)
Selamat bermimpi dan selamat berusaha!

Yuk, Berhenti Bercanda tentang Kekerasan pada Anak!

Tulisan kali ini memang agak antimainstream. Di saat orang-orang masih heboh dengan aksi pemboman di beberapa negara, saya memilih topik yang sangat jauh melenceng. Bukan, ini bukan pengalihan isu. Ini juga bukan karena saya tidak peduli pada berita-berita tersebut. My prayer goes to all Muslim brothers and sisters around the world. May Allah always keep you safe. Masalahnya, kok ya saya merasa nggak kompeten untuk menulis tentang isu ini. Sepertinya perlu belajar lebih banyak nih ke Teh Heggy. Hehehe…

Panjang amat ya introductionnya. Anyway… sambil lihat-lihat timeline di media sosial tadi pagi, tiba-tiba diantara banyak berita tentang isu di atas, muncullah satu gambar mengenai kekerasan pada anak yang di-meme-kan. Yah, yang namanya meme kan memang untuk lucu-lucuan, yaa.. Saya tidak punya masalah dengan meme, apalagi kalau memang lucu dan tidak menyinggung golongan tertentu. Nah, kenapa bagi saya si meme pagi tadi jadi masalah? Karena bagi saya, perkara kekerasan pada anak bukanlah hal yang patut dibuat bahan bercanda, apalagi di media sosial. Sama halnya dengan isu pemerkosaan atau sexual abuse/harassment. Ya, kalau ada aktivis perempuan pastinya mereka marah kalau korban pemerkosaan atau korban sexual harassment lalu digadang-gadang di media sosial untuk ditertawakan, kan? Lalu…. Kenapa kekerasan pada anak boleh dijadikan lucu-lucuan?

First of all, isu kekerasan pada anak ini secara spesifik kasusnya adalah siswa yang dicubit atau mengalami hukuman fisik dari para guru di sekolah. Where do I stand? I am not into corporal punishment. Bagi saya, hukuman fisik apapun ya namanya kekerasan pada anak (kecuali kalau siswanya lalu cengengesan dan malah kesenengan dihukum, macam dulu dijemur di lapangan sekelas). Ya memang batas toleransi seorang anak terhadap kekerasan berbeda-beda, tapi kalau mau buat standar individualis macam itu pasti susah lah. So, no corporal punishment, baik yang dilakukan oleh guru dan orang tua. Ya, jangan mentang-mentang ‘itu anak saya’ jadi boleh seenaknya. Perlu diingat juga ‘anak itu titipan Allah’ jadi ya mosok udah dikasih hadiah yang tak ternilai harganya oleh Sang Pencipta lalu mau disia-siakan juga?

Second of all, bukan berarti kita boleh memperbolehkan anak melakukan apa pun yang ia mau tanpa memperhatikan rambu-rambu peraturan, norma, dan budaya yang berlaku. Jadi, pendidikan mengenai disiplin juga perlu. Anak juga ya harus tahu bahwa apa yang ia lakukan itu benar atau salah. Nggak dipukul bukan berarti nggak disiplin, kan? Saya rasa sih, asalkan dari kecil sudah ditanamkan, baik dengan perkataan maupun contoh (dan yang paling penting adalah contoh), harusnya kedisiplinan tidak menjadi masalah.

Third of all, saya tidak lalu mengecilkan profesi guru. Gini-gini saya juga (mantan) guru loh. Jadi, saya pun mengerti kesalnya, gemesnya, bahkan geramnya perasaan guru yang muridnya agak-agak nyeleneh. Saya nggak terlalu setuju kalau si guru yang melakukan tindakan kekerasan itu lalu langsung dilaporkan ke polisi. Mungkin orang tuanya bisa bertemu dulu dengan guru? Lalu, menurut saya sih, guru itu harus dihormati, baik oleh siswa maupun oleh orang tua murid. Jadi, perlawanan-perlawanan dari siswa yang mengalami kekerasan fisik harusnya tidak menurunkan hormat kita pada bapak dan ibu guru. Ingat saja bahwa perilaku mereka (yang melakukan kekerasan) itu salah, tapi mereka juga manusia yang bisa salah dan khilaf (ciee kaya Mamah Dedeh gw…).

Terus solusinya apa? Disclaimer: ini solusi ala-ala saya, berdasarkan ilmu yang cimit dan pengalaman yang juga cimit.

Pertama, pendidikan disiplin berasal dari rumah. Intinya sih, jangan serahkan pendidikan pertama anak pada guru. Lagi-lagi, guru juga manusia yang anaknya super banyak di kelas. Mana ibu-ibu yang anaknya 3 dan kadang-kadang mau melambaikan bendera putih??? 3 anak saja kadang-kadang rempong, gimana ibu bapak guru yang setiap hari (kecuali weekend dan libur) anaknya minimal 25? Jadi, penanaman disiplin pertama dan paling efektif ya harus dilakukan oleh orang tua. Gimana cara mendidiknya? Sok di googling aja yaa… Sudah banyak sekali ahli yang bicara tentang hal ini (ngasih solusinya setengah-setengah ya, gw…). Namun, bagi saya, yang paling penting sih mendidik melalui contoh. Suka lucu kalau orang tua marah-marah karena lagi-lagi dipanggil ke sekolah karena anaknya sering telat, tapi mereka sendiri datang ke pertemuan pun telat. Hehehe… Yah no wonder lah anaknya begitu…

Kedua, sepertinya bapak ibu guru pun harus belajar banyak. Pertama, belajar mengelola emosi. Ih, nggak enak banget mengajar pada saat sedang sangat marah atau sedang sangat kesal. Lelah hayati! Jadi, supaya si emosi ini tidak diekspresikan dengan salah atau malah ditujukan ke orang yang salah (pernah nggak sih, ada orang yang marahnya sama siapa tapi malah bentak-bentak kita? Bete, kan?), bapak dan ibu guru (juga orang tua) perlu tahu bagaimana diri mereka bisa menangani emosi. Pendekatan bagi masing-masing orang pasti berbeda-beda. Saya misalnya, biasanya mencoba untuk sendiri dulu, atau mencoba untuk menulis atau mengerjakan sesuatu untuk mengalihkan perhatian. Atau justru, saya berusaha fokus pada materi pembelajaran sehingga terlupakan lah dulu si emosi mengganggu pada saat bertemu dengan anak. Kedua, guru juga harus belajar alternatif disiplin lain, selain hukuman fisik. Saya masih ingat diajarkan oleh tempat saya dulu bekerja mengenai disiplin positif. Intinya sih, mengenalkan anak pada konsekuensi logis dari suatu tindakan. Misalnya, tidak mengerjakan PR ya berarti kehilangan nilai. Guru hanya mengingatkan, tapi kalau si anak tidak mengerjakan maka itu adalah tanggung jawab si anak. Hukumannya apa? Hukumannya nilai yang tidak maksimal. Dalam hal ini, intervensi guru sangat sedikit. Fungsi guru hanya mengingatkan dan menegaskan. Berhasil? Pada kasus guru-guru yang tegas dan konsisten, cara ini berhasil. Siswa belajar dengan tenang, tugas dikumpulkan, ujian pun nilainya memuaskan. Gurunya di awal memang ‘dicap’ galak dan menakutkan, tapi setelah sama-sama mengerti, siswa bisa berinteraksi dengan baik dengan guru sambil tetap menghormati guru tersebut. Oh ya, di sekolah ini pun, orang tua juga tahu betul mengenai praktik disiplin positif yang diterapkan sehingga diharapkan mereka juga bisa menerapkannya di rumah. Jadi, ada semacam kesepakatan antara sekolah dan orang tua sehingga pendidikan anak bisa sejalan.

Ketiga, ini sih untuk orang-orang semacam saya dan mungkin Anda yang jadi latar belakang tim hore-hore isu ini. Bukan pelaku langsung dan tidak terkait langsung. Namun, kita juga bisa punya andil besar untuk membawa perubahan dalam hal kekerasan pada anak. Mudah-mudahan, perubahannya pun yang positif, ya… Nah, sebagai tim hore-hore, biasanya yang dilakukan adalah berkomentar. Komentar apapun yang dikeluarkan, semoga melalui proses pemikiran yang matang sehingga tidak menyinggung salah satu pihak dan tidak memperkeruh suasana. Termasuk halnya dengan bercanda. Rasanya, tipe kasus seperti kekerasan pada anak ini tidak patut dibercandai. Menurut saya, melecehkan profesi guru dan membahayakan luasnya pemikiran bahwa ‘ah, kekerasan itu hal yang biasa dan bisa dibuat bercanda’. Bahaya juga apabila diterima oleh anak tanpa ada penjelasan yang memadai. Nanti kasusnya seperti di UK ini, dimana anak bisa seenaknya melaporkan orang tuanya (ya, bahkan orang tuanya) ke social service karena ia tidak suka. Ya memang sih, si generasi 90an ke atas yang mengalami hukuman fisik lalu berpikir ‘kayaknya dulu gw begitu tapi nggak segitunya, manja amat sih itu anak dan orang tua’. Tapi, bukankah yang salah ya tetap salah walaupun dulu kita ‘terima-terima saja’ diperlakukan seperti itu? Lagi pula, ketahanan fisik dan mental kan tidak diukur oleh banyaknya hukuman fisik yang diterima?

Yah, ini tulisan sekedar mengingatkan saja bahwa apa-apa yang kita ucapkan dan lakukan bisa berdampak sesuatu. Daripada memperkeruh atau memperburuk suasana, yuk coba pikirkan dulu apa yang akan kita ucapkan atau tuliskan, dan juga apa yang kita jadikan bahan bercanda. Kalau kita bisa teriak-teriak ‘tidak etis itu menertawakan dan membuat korban pemerkosaan jadi bahan bercanda’, kenapa kita tidak mengingatkan juga bahwa perilaku menertawakan dan membuat kasus kekerasan terhadap anak jadi bahan bercandaan juga tidak etis.

Baiklah! Sambil di ujung bulan Ramadhan ini, saya mau libur menulis sebentar. Semoga bisa kembali lagi dengan tulisan-tulisan lain. Eid Mubarak! Taqabbalallahu minna wa minkum, semoga Ramadhan kali ini bisa menambah kualitas keimanan kita dan semoga kita dipertemukan dengan Ramadhan di tahun depan. Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin.

 

Photo Source: http://img1.beritasatu.com/data/media/images/medium/1425390169.jpg

Home Away from Home: Pendidikan Anak (Introduction)

Salah satu hal yang menjadi pertimbangan saat memutuskan untuk ikut dengan pasangan yang melanjutkan studi di UK adalah mengenai pendidikan anak. Ya, bagi keluarga-keluarga yang sudah memiliki anak, aspek ini sangat krusial. Bagaimana tidak? Menyekolahkan anak di Indonesia saja, meskipun sudah banyak juga sekolah yang gratis, cukup menguras kantong. Lalu, apa jadinya saat pindah ke negara yang kurs mata uangnya berkali-kali lipat dibandingkan di Indonesia (well, alhamdulillah yaa berkah Brexit ada juga, terutama karena melemahnya Poundsterling terhadap Rupiah sehingga Anda bisa cukup lega menukar uang). Pada beberapa sesi ke depan, kami akan membahas mengenai pendidikan anak di Inggris. Catat, Inggris ya, bukan UK. Lah, apa bedanya?

Bagi masyarakat awam, terutama orang Indonesia, Inggris dan UK tampak tidak ada bedanya. Pokoknya, negeri nun jauh disana yang ada Big Ben-nya dan dikepalai oleh ratu. Hiyah… overall boleh lah memakai deskripsi seperti itu. Namun, England (Inggris) dan UK (agak sulit ya menemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia) itu berbeda. Beda juga dengan istilah Great Britain atau Britania Raya. Sebagai sedikit gambaran, UK adalah United Kingdom yang terdiri dari 4 negara berbeda, yaitu England (Inggris), Wales, Scotland (Skotlandia), dan Northern Ireland (Irlandia Utara – ini beda dengan Irlandia). Sedangkan Britania Raya adalah negara-negara yang terletak di satu pulau utama UK, yaitu Inggris, Wales, dan Skotlandia. Pusing? Ya, untuk saat ini terima saja lah ya, penjelasan itu. Kami juga agak-agak blur tentang riwayat pembagian nama tersebut. Intinya, di dalam UK ada 4 negara terpisah yang memiliki sistem pelayanan pendidikan masing-masing. Dampaknya, pengalaman bersekolah (pendidikan dasar, menengah, dan tinggi) di negara berbeda di UK juga berbeda, dengan aturan yang berbeda, kurikulum yang berbeda, dan sistem yang berbeda.

Dalam artikel ini dan beberapa artikel setelah ini, kami akan memfokuskan pembahasan pada sistem pendidikan di Inggris. Mengapa? Karena kami tinggal di Inggris sehingga narasumber, pengalaman, serta sumber informasi yang mudah kami akses adalah mengenai pendidikan anak di Inggris. Bagi Anda yang akan tinggal di negara-negara lain di UK, silahkan juga membaca (seharusnya tidak sangat jauh berbeda) dan mencari tahu sendiri dari website-website city council kota tujuan Anda. Secara umum, banyak informasi yang kami jabarkan di tulisan ini berasal dari:

https://www.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attachment_data/file/219167/v01-2012ukes.pdf.

Secara umum, hal yang cukup berbeda antara pendidikan di Inggris dan di Indonesia berkaitan dengan usia sekolah anak dan jenjang pendidikan. Jika di Indonesia kita biasa dengan slogan wajib belajar 9 tahun dan anak-anak mulai bersekolah wajib di kelas 1 SD pada usia 7 tahun, lain halnya dengan yang terjadi di Inggris. Saat ini, pendidikan wajib di Inggris dimulai saat anak berusia 4 atau 5 tahun hingga 16 tahun. Biasanya, disebut sebagai under 16 education. Sisanya, pendidikan bersifat tidak wajib.

Berkaitan dengan jenjang pendidikan, kami akan coba jelaskan dengan mengikutsertakan jenjang pendidikan tidak wajib juga ya. Tidak seperti di Indonesia dimana anak usia sekian bulan sudah biasa disekolahkan, atau diikutkan ke dalam program baby gym, di Inggris anak-anak biasanya baru boleh masuk sekolah mulai usia 3 tahun ke kelas nursery. Anak-anak berusia 3 tahun ini mendapatkan fasilitas 15 jam gratis bersekolah per minggu. Anak-anak (atau orang tua) yang ingin (anaknya) sekolah sebelum usia 3 tahun bisa masuk ke nursery dengan biaya tertentu (ada aturan baru yang memberikan fasilitas nursery gratis bagi anak 2 tahun, tunggu di tulisan kami berikutnya). Oh ya, hitungan usia 3 tahun pada saat masuk nursery ini saklek ya. Jadi, apabila anak akan berusia 3 tahun di bulan Februari, dia tidak bisa masuk di awal tahun ajaran di bulan September tahun sebelumnya (karena pada saat itu belum berusia 3 tahun). Namun, ia bisa masuk pada spring term di bulan Maret. Jadi, anak-anak ini tidak perlu menunggu tahun ajaran berikutnya. Setelah itu, pada usia 4 tahun anak-anak akan masuk ke kelas reception. Ini adalah seperti kelas persiapan sebelum SD, meskipun kurikulumnya masih menggunakan kurikulum Early Years. Jenjang pendidikan ini masuk ke dalam jenjang pendidikan wajib sehingga apabila anak bersekolah di sekolah ‘negeri’, Anda tidak perlu membayar uang sekolah. Kelas reception dilanjutkan dengan SD yang kemudian disebut sebagai primary school. Dalam jenjang primary school ini, sekolah menerima anak dengan usia 5-11 tahun untuk year 1 sampai year 6, dimana anak dengan usia 5-7 disebut sebagai infant school dan 8-11 disebut sebagai junior school. Selanjutnya, anak-anak akan masuk ke jenjang SMP dan SMA, atau yang biasa disebut dengan secondary school. Ya, secondary school di Inggris mencakup jenjang SMP dan SMA di Indonesia, diperuntukkan bagi anak berusia 11 atau 12 hingga 16 tahun. Pada akhir secondary school, selesai sudah rangkaian pendidikan wajib anak di Inggris. Namun, anak (dan Anda) bisa memilih untuk melanjutkan studi di jenjang yang disebut sebagai future education. Biasanya, jenjang ini berbentuk college, pendidikan berbasis kerja (semacam internship), dan institusi pendidikan bagi orang dewasa. Tapi, ada juga secondary school yang mencakup elemen future education yang biasa disebut sebagai sixth form school yang terdiri dari year 12 dan 13. Lulus dari jenjang ini, anak pun sudah bukan anak-anak lagi dan siap masuk ke universitas, atau yang biasa disebut sebagai jenjang higher education.

Untuk naik kelas atau naik ke jenjang berikutnya, anak-anak tidak diseleksi berdasarkan prestasi akademik melalui ujian. Anak-anak memang akan mengikuti tes atau ujian pada jenjang-jenjang tertentu, tetapi hasilnya digunakan oleh sekolah dan guru untuk merencanakan strategi pembelajaran dan oleh negara untuk mengukur standar pendidikan. Jadi, tidak perlu khawatir mengenai ujian ini. Memang ada sebagian guru, sekolah, dan orang tua yang menentang ujian-ujian tersebut, tetapi tampaknya kalau dibandingkan dengan di Indonesia, tingkat stress yang dialami oleh anak-anak di Indonesia yang akan ujian jauh lebih tinggi. Hehe… Jelas saja, karena sampai sekarang sistem pendidikan di Indonesia masih menggunakan standar nilai ujian yang menentukan untuk melanjutkan pendidikan. Sedangkan di Inggris, anak-anak akan terus naik kelas dan naik ke jenjang pendidikan berikutnya. Untuk membaca lebih lanjut tentang suasana ujian sekolah di Inggris, silahkan main ke blog rekan kami, Mbak Ari Kristiana: http://arikristiana.blogspot.co.uk/2014/05/ketika-sekolah-menyediakan-sarapan.html.

Bingung? Semoga tidak, ya. Karena banyaknya pembahasan mengenai masing-masing jenjang pendidikan, maka kami mengalokasikan satu artikel untuk masing-masing jenjang pendidikan. Jadi, tahan dulu pertanyaannya, jangan bingung dulu. Ini hanya sebagai pembuka dan penjelasan umum tentang pendidikan di Inggris.

Setelah perbedaan, sekarang kami akan membahas mengenai persamaan antara pendidikan di Inggris dan di Indonesia. Persamaannya adalah adanya pembagian sekolah negeri (state school) dan sekolah swasta (independent school/public school). Sama juga seperti di Indonesia (eh, seharusnya sih), sekolah negeri gratis bagi semua anak, sedangkan sekolah swasta mengenakan bayaran tertentu. Biasanya, sekolah swasta ini merupakan sekolah berbasis agama, akademi, dan sekolah bagi kalangan elit. Tentunya, kualitas pendidikan dan fasilitas yang diberikan oleh sekolah swasta di Inggris pun jauh lebih bagus daripada sekolah negeri. Lagi-lagi, pembahasan tentang pembagian sekolah ini bisa dibaca lebih lanjut di tulisan Mbak Ari: http://arikristiana.blogspot.co.uk/2016/02/oxbridge-dan-elitisme.html. 

Fasilitas lain yang juga sedikit (atau banyak) berbeda dari sekolah di Indonesia adalah perhatian yang besar terhadap anak-anak berkebutuhan khusus (SEN). Anak-anak SEN bersekolah di sekolah-sekolah umum di Inggris, semacam sekolah inklusi kalau di Indonesia. Jadi, tidak ada pembedaan antara anak non-SEN dan anak SEN kecuali apabila anak SEN tersebut kondisinya sangat jauh berbeda. Biasanya, akan ada satu guru yang memang dialokasikan untuk menangani anak SEN di satu kelas, sehingga anak tersebut bisa belajar bersama dengan anak-anak lain. Tambahan pelajaran dan latihan juga akan diberikan bagi anak SEN apabila dirasa diperlukan.

Hmmmm…. What else? Oh ya, prosedur pendaftaran sekolah. Secara umum, orang tua mendaftarkan anak sekolah melalui aplikasi online yang dapat diakses di website city council masing-masing kota. Sebagai contoh, ini adalah link untuk aplikasi sekolah anak di Birmingham: http://www.birmingham.gov.uk/online-admissions. Untuk pendaftaran ini, kita tidak perlu menyiapkan raport atau ijazah anak dari Indonesia. Selain copy paspor dan visa, pihak city council hanya membutuhkan akte kelahiran anak. Mengapa akte kelahiran dibutuhkan? Ya, karena dari situlah pihak sekolah akan menentukan eligibilitas kecukupan umur anak anda untuk dapat masuk ke sekolah tersebut. Dokumen berupa proof alamat tempat tinggal juga perlu disiapkan, dan untuk poin ini anda bisa menggunakan surat kontrak rumah atau surat pernyataan dari kampus jika ada. Dokumen tambahan berupa surat baptis diperlukan apabila Anda mendaftarkan anak ke sekolah Katolik, dan ada juga formulir aplikasi tambahan untuk mendaftarkan anak ke sekolah Islam. Proses pendaftaran ini cukup mudah dan to the point. Setelah mendaftar dan jika sudah positif diterima, pihak sekolah akan menginformasikan via telepon. Beberapa sekolah juga akan menjadwalkan home visit melalui telepon tersebut. Home visit ini sebenarnya untuk memastikan bahwa memang benar anak dan orang tua tinggal di rumah sesuai alamat terdaftar, selain itu juga akan diinfokan beberapa hal seperti jadwal sekolah, seragam, peraturan antar jemput anak, dan tentang makanan. Bagaimana dengan kemampuan bahasa anak? Karena sekolah di Inggris ya tentu saja bahasa pengantarnya adalah english language ya. Tetapi meskipun anak anda belum bisa berbahasa Inggris, tidak perlu khawatir. Pada dasarnya sekolah tidak mensyaratkan kemampuan berbahasa Inggris anak, akan tetapi ada pula beberapa sekolah yang menyarankan agar anak ikut kursus bahasa terlebih dahulu sebelum masuk atau setelah mendaftar sekolah sambil menunggu term masuk sekolah, minimal sebagai pengenalan kepada anak. Jika pada akhirnya setelah masuk sekolah anak anda tetap belum terlalu bisa mengikuti, para pengajarnya akan membantu agar anak tersebut dapat meningkat kemampuan bahasa Inggrisnya.

Hal lain yang perlu dicermati adalah mengenai pilihan sekolah. Pada sistem yang diterapkan di Inggris, orang tua tidak dapat memilih (dan pasti mendapatkan) sekolah yang diinginkan, kecuali untuk sekolah swasta. Untuk sekolah swasta, tentu saja orang tua bisa memilih sekolah misalnya dengan mempertimbangkan apakah sekolah tersebut memiliki pengajar yang ramah dan mumpuni, apakah fasilitas yang tersedia cukup lengkap, apakah sekolah memiliki suasana yang hangat dan ramah untuk anak, hingga kepada pertanyaan apakah biaya yang dipatok sudah termasuk biaya lain-lain ataukah akan ada tambahan lagi? Akan tetapi, di sekolah negeri, mostly sistem penempatan siswa di Inggris menggunakan sistem rayon, yang berarti sekolah anak akan dipilih berdasarkan kedekatan lokasi sekolah dengan rumah. Biasanya, masing-masing ‘kelurahan’ di Inggris memiliki setidaknya 1-2 primary school dan 1 secondary school. Jadi, mudah-mudahan anak Anda akan ditempatkan di sekolah yang dekat dengan rumah. Namun, apabila sekolah yang dekat dengan rumah sudah penuh kapasitasnya, maka anak akan dirujuk ke sekolah lain yang terdekat, dan begitu seterusnya. Adakah anak-anak yang sekolahnya jauh dari rumah? Ada saja. Biasanya, apabila anak berada di usia tanggung dimana tidak banyak siswa yang keluar-masuk atau pindah sekolah, atau apabila Anda tinggal di kawasan residensial dimana tidak banyak imigran yang biasanya sering berpindah, maka ada kemungkinan anak Anda harus bersekolah di tempat yang lebih jauh. Kurang puas dengan penempatan sekolah anak? Anda bisa melakukan appeal ke city council agar anak bisa pindah sekolah. Kadang-kadang, Anda juga bisa langsung mendatangi sekolah tertentu (tentunya dengan membuat perjanjian melalui email terlebih dahulu) untuk bernegosiasi masalah ini. Namun, cara-cara ini tidak selalu berhasil, ya. Saat Anda melakukan appeal, nama anak akan dimasukkan ke dalam waiting list sekolah yang dituju dan Anda tinggal berdoa, semoga ada tempat kosong untuk anak Anda. In the mean time, sebaiknya anak anda tetap bersekolah di tempat yang telah dialokasikan oleh city council.
Rasanya cukup sekian tulisan kami sebagai pengantar mengenai pendidikan anak di Inggris. Pada artikel-artikel selanjutnya, kami akan membahas dengan lebih detail mengenai masing-masing jenjang pendidikan. Nantikan tulisan kami berikutnya!

 

Photo Source: http://i.telegraph.co.uk/multimedia/archive/02497/schoolRun_2497676b.jpg