Ada Banyak Orang Baik di Dunia

Kata banyak orang bijak, merantau bisa meningkatkan kapasitas seseorang. Yah, namanya juga merantau jauh dari keluarga dan teman-teman, seseorang pasti sedikit banyak belajar tentang kemandirian, keberanian, dan… mungkin (semoga) belajar mengenal dirinya sendiri dengan lebih baik. Belajar-belajar tersebut mungkin saya dapatkan penuh ketika pergi seorang diri untuk menuntut ilmu beberapa tahun yang lalu. Kali ini, ceritanya tentu berbeda.

Setahun yang lalu, saya merantau untuk mendampingi suami melanjutkan studi-nya. Dengan peran yang berbeda, saya banting setir menjadi ibu rumah tangga. Saya belajar mengurus “rumah”, menjadi kreatif (terutama dalam hal masak-memasak), dan bersosialisasi dengan teman-teman senasib sepenanggungan – para dependent. Namun, kali ini saya tidak akan membahas mengenai belajar-belajar saya yang itu. Justru, hal yang paling berkesan bagi saya adalah bahwa selama merantau ini, saya menemukan ada banyak orang baik di dunia.

Ada banyak orang baik di dunia. Saya sering mendengar kalimat ini dari seorang teman saya, Jayaning Hartami, yang selalu berusaha untuk menanamkan keyakinan pada anak-anaknya bahwa dunia ini masih diisi oleh orang-orang yang baik, yang suka menolong. Faith in humanity lah, istilah kerennya. BUT, that is actually true. Perjalanan saya selama setahun ini membuktikan bahwa masih banyak orang-orang ikhlas, empatik, baik hati, dan tidak sombong yang ada di sekitar kita.

Mulai dari yang simpel saja. Merantau tentunya tidak lepas dari mencari jalan. Di lingkungan baru, kita biasanya masih harus bergantung pada peta (atau Google Maps – hari gini nggak tau GMaps, mau jadi apa?) atau bantuan petunjuk arah dari orang lain. Saat saya dan suami sempat pergi ke Barcelona untuk berlibur, wajah kebingungan kami membuat seorang kakek akhirnya menyapa – dengan bahasa Spanyol yang kami tidak mengerti – dan berisyarat apakah kami butuh arah ke tujuan wisata tertentu. Lalu, dengan bahasa Tarzan pun ia berusaha menjelaskan. Kami pun mengikuti sarannya dan akhirnya sampai di tempat yang kami tuju. Bagi saya, itu bentuk sederhana dari kepedulian. Lihat dan berusaha membantu. Simpel, dan pastinya si kakek tidak minta imbalan, tidak minta dibilang baik, tidak juga “sok baik”.

Orang baik berikutnya adalah pak supir Uber yang pagi tadi mengantarkan kami ke bandara. Si supir datang, membantu memasukkan bagasi kami yang super berat ke dalam bagasi mobil, dan ketika kami turun, ia pun membantu menurunkan bagasi kami. Believe me, ini adalah hal yang super-duper jarang ditemui di UK. Budaya individualis dan kehati-hatian agar tidak menyinggung orang lain mungkin adalah alasan mengapa bahkan orang yang tampak kesulitan pun jarang-jarang dibantu. Kebanyakan masyarakat lokal sangat sopan sehingga mereka tidak ingin “asal” bantu tanpa diminta. Yah, mungkin saja kan, orang tersebut tersinggung karena dikira dianggap “helpless”. Anyway, saat masuk bandara, mobil harus membayar 1 poundsterling sebagai biaya masuk dan parkir 10  menit (hiyakkkk mahal yaaa 10 menit aja 1 pounds). Saya yang belum pernah menggunakan servis Uber ke bandara pun bertanya apakah saya harus mengganti biaya parkir tersebut. Si supir lalu menjawab bahwa biayanya sudah include di dalam ongkos. Wiiw, jujur yah. Padahal kalau dia mau pun, dia bisa bilang bahwa saya harus membayar parkir padahal uangnya dikantongi oleh si supir.

Pun juga para waitress di restoran yang selalu mengecek dietary requirements kami (karena jilbab saya menunjukkan bahwa kami harus makan makanan halal), kasir di supermarket yang kadang-kadang random dan mengajak bercakap-cakap, atau mungkin sekedar orang bertemu di jalan yang tanpa disangka-sangka membuat hari saya lebih berwarna cerah. Semua saya temukan saat merantau ini.

Kalau disebutkan satu per satu, tentu tidak cukup berpuluh-puluh halaman untuk mendeskripsikan orang-orang baik di dunia. Namun, satu kelompok orang baik yang sangat berkesan dan berarti bagi saya sepanjang kehidupan saya di Birmingham adalah para warga Indonesia yang tinggal di Birmingham. Yah, namanya juga merantau, pasti mencari orang-orang yang bisa mengobati rindu pada tanah air. Alhamdulillah, di Birmingham ada banyaak sekali orang Indonesia dan, menurut saya, semuanya super baik. Eh, ini bukan berarti bahwa teman-teman di kota lain tidak baik atau kurang baik dibandingkan teman-teman di Birmingham, ya. Namun, saking banyaknya orang baik di sana, ada multiplier effect dong ya…

Rasanya tidak akan habis-habis kalau saya berterima kasih pada semua warga Indonesia di Birmingham. Mulai dari sebelum berangkat hingga detik-detik terakhir kami akan pulang ke Indonesia, bantuan yang saya dan suami terima tidak ada putusnya. Baiknya para warga ini tidak hanya ke saya. Baiknya ke semua orang. Belum pernah saya menemukan ada satu komunitas yang kalau ada salah satu anggotanya sakit, semua orang lalu berduyun-duyun menjenguk, membantu menyediakan kebutuhan dasar bagi keluarganya, atau bahkan jadi “tukang urut dadakan”. Pinjam meminjam uang dari satu orang ke orang lain, pinjam meminjam alat masak, sampai pinjam meminjam bumbu makanan – semua ada! This is actually my first experience having a community that good, that cohesive, that kind. Pengalaman berada dalam sekumpulan orang-orang baik ini yang membuat kembali pulang ke tanah air menjadi berat sekali.

Melihat ada banyak orang baik di dunia membuat saya belajar. Belajar seperti mereka. Belajar berempati, belajar berkontribusi, dan belajar ikhlas. Semua yang saya sebut tadi, semua aksi kebaikan tadi, tidak dibayar, loh. Semua for free. Saya lalu belajar – dari Mbak Binar dan Mbak Dini – tentang bagaimana memperlakukan tamu. Iya, saudara saya yang numpang tinggal for free pun dapat makan pagi gratis! Saya belajar bahwa kita harus berlomba-lomba dalam kebaikan. Saat ada teman yang sakit, sampai berebutan memilih jadwal masak untuk memenuhi kebutuhan si teman. Saya belajar bahwa there shouldn’t be any strings attached dalam berbuat baik. Jangan harap imbalan, nanti imbalan pun akan datang dengan sendirinya. Ibu-ibu Selly Oak Moms baik sekali memberikan saya kesempatan untuk berbagi ilmu plus dapat bonus hadiah-hadiah yang super sweet.

Ada banyak orang baik di dunia. Saat ini, saya terus berusaha untuk menjadi salah satunya. Yah, setelah menerima begitu banyak kebaikan, bukankah sudah selayaknya kita pun menjadi baik dan ikut menebar kebaikan-kebaikan? Bukan, bukan untuk dibilang “angel” atau supaya menjadi orang terfavorit. Salah kah kalau berbuat baik just for the sake of it? Atau hanya karena dulu ada orang yang juga membantu saya seperti itu sehingga saya pun harus berkontribusi yang sama. Selamat menebar kebaikan.

 

Photo Source: http://eforevent.pl/wp-content/uploads/2014/12/helping-hands.png

 

Advertisement

University 101: The Art of Asking Questions (1)

Yay! Akhirnya dapat semangat untuk menulis sesuatu yang ‘berbau’ akademis. Kali ini, ‘baunya’ agak jauh sih, tapi yaa gapapa lah yaa..

Baru-baru ini saya mengikuti online course yang diselenggarakan oleh FutureLearn tentang menyiapkan diri untuk berkuliah. Sejujurnya sih, course ini ditujukan bagi orang-orang yang akan mulai kuliah S1. Tapi, sepertinya penjelasan yang diberikan pun cukup relevan bagi seluruh jenjang perkuliahan. Yah, mungkin untuk me-refresh lagi ingatan mengenai study skills yang dibutuhkan pada saat berkuliah bagi teman-teman yang akan lanjut S2 atau S3.

Saya akan menulis seri artikel ini berdasarkan isi dari online course tersebut serta tambahan pengalaman pribadi saya. Pada masing-masing bagian, ada highlight study skills tertentu yang penting untuk diketahui, dipelajari, diasah, dan dipraktikkan agar dapat menjalankan kuliah dengan lancar. Semoga bermanfaat!

 

Pendahuluan

Menurut teman-teman, apa sih hal yang penting dimiliki oleh seorang mahasiswa? Apa bedanya mahasiswa dan siswa? Dulu waktu S1, rasanya dosen-dosen saya senang sekali meng-highlight perbedaan antara siswa dan mahasiswa. Mungkin karena kesal dengan kelakuan mahasiswa yang mirip anak SMA? Mungkin juga untuk selalu mengingatkan bahwa kami sudah besar, sudah harus bertanggung jawab. Kalau dulu saya sempat mengajar sebagai dosen, sih, gemes banget rasanya melihat mahasiswa yang kurang bertanggung jawab, tidak mau berusaha, dan yang paling penting, tidak mau membaca!

Bagi saya, dan mungkin banyak akademisi lain di luar sana, iklim universitas adalah iklim ilmiah, dimana semua orang seharusnya memiliki semangat yang sama untuk tahu lebih banyak tentang bidang ilmu yang diminati. Yah, seharusnya kan kita memang berkuliah di jurusan yang kita minati. Apalagi kalau sudah di level S2 atau S3. Wah, bisa keteteran juga kalau ternyata kita tidak suka dengan apa yang dipelajari. Nah, karena adanya motivasi internal dan minat terhadap bidang ilmu tertentu, harusnya semangat dong, ya? Oleh karena itu, tentunya ekspektasi para dosen cukup tinggi mengenai performa akademis mahasiswa. Setidaknya, diharapkan para mahasiswa menunjukkan usaha untuk memperkaya wawasan dan mendalami bidang ilmu. Setidaknya, mereka menunjukkan ketertarikan dan semangat saat berkuliah.

Ada lagi kah perbedaan mahasiswa dan siswa? Salah satu perbedaan yang cukup mencolok adalah mengenai kemandirian. Mahasiswa dituntut untuk dapat bertanggung jawab terhadap kemajuan akademisnya. Jam belajar, pengerjaan tugas, dan segala hal yang berhubungan dengan akademis harus ditentukan sendiri oleh mahasiswa. Dosen tidak lagi berfungsi sebagai guru yang harus ‘mengejar-ngejar’ mahasiswa untuk mengumpulkan tugas atau memberikan remedial ketika nilai kita jelek. Semua adalah tanggung jawab pribadi.

Dalam online course yang saya ikuti, ada beberapa kata yang disebutkan oleh para dosen di UK tentang apa saja ekspektasi mereka terhadap mahasiswa. Kata-kata tersebut diantaranya adalah curiosity, enthusiasm, self-determination, willingness to take risk, critical ability, synthesizing information, learning fast, discipline, dan teamwork. Karakteristik tersebut dianggap penting untuk dimiliki oleh mahasiswa. Oleh karena itu, tidak ada salahnya untuk melakukan refleksi kembali, meninjau kembali, apakah kita yang akan berkuliah, apapun jenjangnya, telah memiliki karakterstik tersebut.

 

Rasa Ingin Tahu

Karaktersitik pertama yang akan saya bahas adalah rasa ingin tahu atau curiosity. Selain karena hal ini adalah pembahasan pertama di dalam online course mengenai Preparing for University, saya pribadi juga berpendapat bahwa rasa ingin tahu adalah hal yang krusial dalam menuntut ilmu. Tanpa rasa ingin tahu, tidak akan ada dorongan dan motivasi internal untuk memperkaya wawasan, untuk mendalami, dan untuk bertanya mengenai suatu hal.

Studying means asking questions. Studying means exploring. Belajar berarti mengakui bahwa kita belum sepenuhnya tahu. Belajar berarti berani meraba, mencari, mengeksplorasi sesuatu yang kita baru tahu sekelumit saja. Ya, bahkan para ahli pun masih terus menerus mencari. Itu sebabnya, penelitian adalah inti dari semua ilmu. Karena manusia hanya tahu sedikit saja. Kalau teman-teman segan untuk bertanya, merasa sudah tahu, tidak mau berusaha untuk mencari tahu, lalu untuk apa belajar? Untuk apa berkuliah? Sepertinya, sayang ya, waktu dan uang yang dihabiskan. Lebih baik bekerja saja atau mengisi waktu dengan hal lain yang juga berguna. Bagi saya, iklim akademis ditujukan bagi orang-orang yang ingin belajar dan orang-orang yang menyadari bahwa wawasan yang ia miliki hanyalah sekelumit dari yang ada – orang-orang yang humble enough untuk mengakui bahwa ia butuh lebih, ia punya banyak pertanyaan, ia tidak mengerti mengenai satu atau banyak hal.

Gampang lah…. Semua manusia sebenarnya memiliki rasa ingin tahu. Yah, kalau tidak, bagaimana kita dari bayi lalu bisa belajar banyak hal? Semua pasti karena ada rasa ingin tahu. Sayangnya, rasa ingin tahu pun bisa menurun intensitasnya apabila tidak dipupuk. Dalam hal ini, lingkungan eksternal sangat berpengaruh. Saya ingat sekali, waktu SD dulu, anak-anak yang dianggap baik dan pintar adalah anak yang mengangkat tangannya untuk menjawab, bukan untuk bertanya. Saya juga ingat, ada murid saya dulu yang sangat takut bertanya karena saat kelas 2 SD, seorang gurunya pernah berkomentar ‘yah, masa gitu aja nggak tahu?’ saat ia bertanya tentang sesuatu. Lalu kemudian, komentar gurunya pun disambung oleh tawa dari teman-temannya. The culture of shaming those who ask. Siapa lagi yang pernah punya pengalaman serupa? Pantas saja di jenjang universitas para dosen kewalahan memotivasi mahasiswa mereka untuk bertanya. Wong dari kecil dididik bahwa bertanya adalah hal yang memalukan.

Ketika para dosen di Indonesia bisa bertoleransi dengan gerakan tutup mulut mahasiswa untuk bertanya dan kemudian menyesuaikan approach mereka menjadi ala-ala guru sekolah, lain halnya dengan di luar negeri. Nah, ini khusus yang akan melanjutkan belajar di jenjang pendidikan tinggi di luar Indonesia, ya. Dosen-dosen disini tidak akan menoleransi gerakan tidak mau bertanya yang kita lakukan. Lalu? Lalu, either kita dipaksa untuk mengungkapkan sesuatu (bertanya, berpendapat) di kelas atau kita benar-benar akan jadi mahasiswa tidak terlihat. Maksudnya? Bahkan teman-teman pun tidak menyadari keberadaan kita di kelas saking pasifnya kita. Hasilnya apa? Kemajuan belajar kita terhambat, keterampilan belajar kita tidak terasah, dan hasil belajar pun bisa jadi tidak sesuai dengan ekspektasi. Sebagai gambaran, perkuliahan di UK, dan mungkin berbagai negara lain, menempatkan diskusi ilmiah pada pusat pembelajaran. Jadi, duduk dan mendengarkan dosen menjelaskan adalah hal yang jarang dilakukan. Mungkin hanya sekitar 40% dari kegiatan perkuliahan yang diisi oleh kegiatan ini. Sisanya? Diskusi kelompok, presentasi, debat, dan lain-lain. Semuanya menuntut partisipasi aktif dari para mahasiswa. Dari sini dapat terlihat bahwa rasa ingin tahu adalah hal yang penting dan kemampuan untuk bertanya adalah salah satu study skills yang utama.

Saya ingat ketika berkuliah S2, saya pernah mendapatkan satu kelas yang di setiap pertemuan selama satu tahun, si dosen hanya datang dengan satu bahan bacaan atau video dan satu pertanyaan. Pertanyaan tersebut ia gunakan untuk menstimulasi diskusi sehingga saya dan teman-teman harus aktif. Mengapa? Karena kalau tidak, kelas akan krik-krik. Bayangkan, kelas berdurasi 2.5 jam digunakan hanya untuk berdiskusi tentang satu tema yang diperkenalkan melalui pertanyaan. Awal bergabung di kelas ini, saya bingung se-bingung-bingungnya. Saya tidak mengerti apa yang dipelajari, saya tidak paham tujuan dari pembelajaran yang ada di kelas tersebut. Namun, saya akhirnya dapat beradaptasi dan terbiasa mempersiapkan diri untuk menjawab pertanyaan dan berdiskusi. It turns out that dari kelas tersebut lah saya belajar paling banyak. Ya, melalui satu pertanyaan saja setiap pertemuan, saya bisa belajar sangat banyak sekali.

Dalam perkuliahan, dapat terlihat bahwa pertanyaan berfungsi sebagai trigger, pemicu diskusi. Melalui diskusi tersebut, informasi dari berbagai sudut pandang dapat terkumpul dan disintesis oleh masing-masing individu sehingga membentuk personal knowledge. Pertanyaan juga dapat berujung pada banyak pertanyaan lain. Hal ini kemudian memotivasi mahasiswa untuk mencari tahu lebih dalam mengenai topik tertentu. Mencari darimana? Dari mana saja. Dosen bukanlah sumber utama ilmu dan pengetahuan. Bisa dibilang, saat bertanya pada dosen, mungkin ia akan menjawab secara umum atau merujuk kita pada buku atau jurnal tertentu, atau – yang paling menyebalkan (eh?) – menjawab dengan pertanyaan lain. Hahaha… Therefore, don’t ask silly questions.

Malu bertanya sesat di jalan. Betul. Tapi bagi saya, kebanyakan bertanya menunjukkan tidak ada usaha. Sorry to say, tapi saya sangat tidak terkesan pada pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya sangat mudah didapat hanya dengan googling atau membaca buku rujukan. Rasanya kok ya, orang ini bertanya hanya untuk iseng, menguji pengetahuan dosen, atau memang plainly tidak mau usaha membaca atau mencari tahu. Nah, kalau sudah begini, untuk apa berkuliah? S1 masih begini, mungkin masih bisa dimaklumi karena baru beradaptasi. S2 begini? Wah, ke laut aja. Sudah berani memutuskan untuk sekolah tinggi-tinggi, seharusnya sudah ada motivasi untuk belajar dan tahu lebih banyak. Indeed, S2 itu berat! Jangan bayangkan seperti kuliah S1, apalagi kalau teman-teman berkesempatan untuk kuliah di luar negeri. Model-model pertanyaan yang ‘konyol’ paling hanya mendapat tanggapan pertanyaan balik dari dosen ‘Have you read the reading material?’. Hiyaaahhh… mati kutu deh kalau dosen sudah bilang begitu.

Terus bagaimana dong? Bagaimana saya mau belajar, bertanya saja sulit? Hihi… tenang… Preparation is key. Kunci dari pertanyaan yang baik adalah persiapan. Sebelum masuk kelas, biasakanlah untuk membaca dan mencari informasi seputar topik yang akan dibahasi di kelas. Setiap dosen pasti sudah memberikan reading list, buku referensi, bahkan presentasi yang akan digunakan di kelas. Jangan malas membaca karena nanti hanya bisa diam, bengong, dan meratapi nasib di kelas. Saat membaca materi sebelum kelas, mulailah mempertanyakan hal-hal yang tidak dimengerti. Saat berkuliah S2, buku catatan saya tidak penuh dengan catatan, tapi penuh dengan pertanyaan. Ya, bukan anak SD lagi yang harus menyalin catatan dari papan tulis, kan? Materi sudah dengan mudah didapat dari internet dan tinggal di-save, buku catatan pun beralih fungsi menjadi buku pertanyaan. Selain itu, selama di kelas pun kita bisa berlatih bertanya. Setiap ada isu yang menarik, cobalah buat pertanyaan mengenai isu tersebut, lalu tanyakan.
Mari berlatih bertanya. Salah satu study skill yang penting dimiliki bagi mahasiswa ini adalah pintu gerbang wawasan. Pertanyaan juga dapat membangun rasa ingin tahu sehingga kita selalu ‘haus’ akan ilmu dan terus termotivasi untuk belajar.

For you who just want to give up because postgraduate study is so damn difficult

Entah kenapa tetiba ingin menulis tentang hal ini. Kenapa? Well, sepertinya memang pembahasan mengenai bagaimana kuliah S2 tidak akan habis-habis. Setiap individu punya cerita, setiap individu go through a different path. Setelah adik saya menulis tentang “Siapa bilang kuliah di luar negeri enak”, rasanya ini adalah sudut pandang saya tentang bagaimana kehidupan S2 saya diwarnai dengan minggu-minggu ‘mainan oven’ hingga lelahnya kerja pada saat puasa di musim panas. Memang, kehidupan S2 penuh dengan tantangan, seperti teman saya yang baru saja bercerita “Pernah nggak sih mau nyerah aja kok kuliah gini-gini amat”.

Pernah dengar bahwa individu bisa berkembang ketika keluar dari zona nyaman? Ini bukan sekedar kata-kata motivator jargon seminar pengembangan diri. I truly believe that. Saat belajar mengenai psikologi kognitif, saya mengenal sebuah kata yang selalu saya ingat hingga sekarang: disonansi kognitif. Istilah tersebut berarti adanya kesenjangan antara apa yang diketahui atau diyakini dengan apa yang terjadi, dilakukan, atau dengan informasi baru yang didapatkan. Hal ini menyebabkan ketidaknyamanan yang dialami oleh individu sehingga ia ‘dipaksa’ untuk melakukan sesuatu agar ketidaknyamanan tersebut berkurang atau hilang. Disonansi kognitif, meskipun mungkin baru-baru ini saja istilahnya Anda atau saya kenal, ternyata sudah terjadi sejak bayi. Disonansi kognitif adalah cara belajar, cara untuk memperbaiki lagi struktur pengetahuan yang dimiliki lagi, cara untuk menyesuaikan lagi sikap yang dimiliki, dan cara untuk mengubah perilaku. Namun, saya selalu ingat bahwa disonansi kognitif selalu menimbulkan ketidaknyamanan. Dari pengetahuan ini, saya menyimpulkan bahwa kita tidak belajar apabila tidak mengalami ketidaknyamanan yang berasal dari disonansi kognitif.

Intinya? Ya belajar itu tidak nyaman, ingin menjadi lebih baik dan mencapai mimpi itu memang harus keluar dari zona nyaman karena mahluk bernama disonansi kognitif ini. Lagipula, apa rasanya lulus tanpa perjuangan? Gitu-gitu aja lah pastinya… Justru yang terkenang adalah perjuangannya, kan?

Ketika ditanya, pernah nggak sih mau nyerah aja karena nggak kuat kuliah S2? Honestly, no. Entah kenapa saya tidak pernah merasa perkuliahan yang menyita waktu dan bikin pengen nangis itu nyaris membuat saya menyerah. Not at all. Tapi, saya juga tidak mengatakan bahwa masa perkuliahan saya mudah. Not at all. Jadi maunya apa, Za? I’d say… challenging.

Kuliah S2 itu sulit, Jenderal! Bagi saya yang berkuliah S2 di luar negeri, sulitnya bertambah-tambah karena harus juga beradaptasi dengan budaya sosial dan budaya akademis. Saya harus membangun hubungan baik dengan teman-teman yang berasal dari seluruh belahan dunia, yang tentunya tidak semua memiliki value yang sama dengan saya. Saya harus beradaptasi dengan cara berinteraksi orang-orang lokal, berusaha menjaga nama baik negara saya (ya, disini saya merasa nasionalis – hal yang kadang-kadang saja saya rasakan, hehehe…). Dalam hal budaya akademis, adaptasi yang dilakukan jauh lebih sulit dan jauh lebih banyak. Menggunakan bahasa Inggris dalam keseharian, dalam konteks akademis tentunya merupakan tantangan. Bahkan bagi orang-orang yang lancar berbahasa Inggris, hal ini bisa jadi cukup sulit. Belum lagi dengan materi-materi kuliah yang ada, bagaimana mahasiswa dituntut untuk berpikir kritis, dan bagaimana tugas beribu-ribu kata menunggu untuk dikerjakan.

Salah satu hal yang saya sangat rasakan pada saat berkuliah S2 adalah saya jadi rajin membaca. Bukan hanya reading list yang seabrek-abrek, individual research pun harus dilakukan untuk menambah wawasan. Mengapa? Karena kuliah disini mengharuskan mahasiswa untuk aktif berdiskusi. Masuk kelas dengan 0 pengetahuan? A big NO. Belum lagi membaca untuk mengerjakan tugas-tugas esai yang sungguh sangat banyak itu. Pastinya, seperti mungkin semua mahasiswa S2 disini, saya mau menangis saja. Trik saya adalah memanfaatkan waktu. Saya menempel sebuah post-it di meja belajar saya dengan tulisan ‘If you are not doing something great, do something useful’. Cukup berhasil untuk mengingatkan saya agar tidak menyia-nyiakan waktu. Dari waktu bangun saya, mungkin 70% saya habiskan untuk membaca.

Saya cukup beruntung (atau tidak beruntung, ya?) karena 100% nilai mata kuliah saya ditentukan oleh nilai esai saya. Setiap mata kuliah mengharuskan saya menulis esai 4000-6000 kata sebagai tugas akhir. Dalam satu semester, saya mengikuti 4-5 mata kuliah. Jadi, at the end of semester, saya harus mengumpulkan tulisan yang kalau ditotal jumlahnya adalah 25000 kata. Mau pingsan. Nggak kebayang sih bagaimana teman-teman yang masih ada pula tugas kelompok, presentasi, dan ujian. Lebih mau pingsan. Start early adalah kuncinya. Saya selalu berusaha memulai menulis esai right after the semester starts. Itu pun, biasanya 1-2 minggu sebelum pengumpulan tugas saya harus rela ‘mainan oven’ karena tidak sempat memasak. Beli frozen food yang tinggal di oven lah yang jadi solusi bagi saya. Nggak heran ya, sepanjang kuliah S2 berat badan saya turun drastis hingga 10-15kg. Lumayan, diet tanpa usaha. Saran saya sih, banyak-banyak konsultasi ke dosen mata kuliah agar dapat mengerjakan tugas sesuai dengan ekspektasi. Tidak sekali dua kali tugas saya yang sudah ditulis hingga 1000 kata lalu ditolak mentah-mentah oleh dosen dan saya harus menulis ulang lagi dari awal. Sedih, ya? But that’s life.

Di semester kedua, mahasiswa yang berkuliah S2 dalam waktu 1 tahun harus mulai memikirkan disertasi (disini disebut disertasi untuk S2, instead of tesis seperti di Indonesia). Tentu pusinya bertambah-tambah. Lagi-lagi, start early. Saya sendiri mulai berkonsultasi dengan dosen pembimbing saya sejak bulan Januari dan mulai menulis disertasi saya sejak bulan Februari. Penelitian saya berapa lama? 4 bulan, saudara-saudara. 4 bulan saya bolak-balik mengambil data di sebuah sekolah sambil berkuliah dan sambil bekerja (ya, sotoy nya saya adalah udah tau sibuk tetep aja mau kerja demi jalan-jalan). Pastinya ada saat-saat saya tidak mau bangun pagi karena lelah, maunya santai, maunya tidur aja, dan bertanya-tanya ‘kok hidup gue gini-gini amat?’. So little time so much to do. Trik saya? Hadapi saja! The whole thing will all pass. Fokus dengan tujuan, luruskan niat.

At the end, semua usaha yang dikeluarkan akan terbayar. Pada akhirnya, disonansi kognitif itu berakhir, ketidaknyamanan itu berkurang, dan tujuan tercapai. Equilibrium, keseimbangan antara apa yang diketahui dan apa yang terjadi. Keseimbangan antara tujuan dan hasil. Hopefully. Saya pun tidak sadar seberapa banyak hal yang sudah saya kerjakan, seberapa banyak hal yang sudah saya alami, dan seberapa berharganya pengalaman saya kalau saja teman serumah saya dulu baru-baru ini bercerita. Saat itu, saya sedang mengunjungi kota tempat saya berkuliah dulu dan bertemu dengan teman saya tersebut. ‘I don’t know how you’ve done all those things in a year! Studying, doing your dissertation, working, volunteering, and travelling. You’ve always been busy but you also always have time to hang around and chat. Dan sejujurnya, saya pun tidak tahu, saya pun tidak sadar bagaimana cara saya melakukan semua hal tersebut dulu. Ternyata bisa ya, melakukan itu semua walaupun dengan acara nangis-nangis di depan buku dan laptop.

So, for you who just want to give up because postgraduate study is so damn difficult, you just have to push through. You are capable of what you are doing and this all shall pass. At the end, you won’t believe how much you’ve learned and how much you’ve gained. Good luck!

Feb 01, 2016

Salah Jurusan

Menulis mengenai cerita perjalanan saya ke Itali, saya menyadari bahwa dalam perjalanan tersebut, sering sekali saya nyasar, salah jurusan. Lucu sih melihat bagaimana dalam sebuah perjalanan yang hanya berdurasi beberapa hari saja, saya bisa-bisanya hampir setiap hari tersesat. Untungnya, saya bisa kembali ke jalan yang benar. Hehehe…

Pernah salah jurusan? Mungkin hampir semua orang pernah, ya.. Ada yang seperti saya, salah jurusan di perjalanan. Ada juga yang salah jurusannya melibatkan hal yang lebih besar dalam hidup, seperti…. jurusan hidup? Wah, jangan sampai tersesat di hal yang satu itu. Well, selain pengalaman nyasar saya, saya juga pernah salah jurusan dan untungnya lagi, saya bisa kembali ke jalan yang benar. Salah jurusan dalam hal apa? Dalam hal cita-cita.

Tentu semua orang punya cita-cita. Mulai dari hal yang kecil, seperti saya yang bercita-cita ingin makan baso besok malam, sampai cita-cita besar seperti ingin menjadi pembawa perubahan (bahasanya mahasiswa yang masih berapi-api banget, ya). Saya ingat, cita-cita saya pertama kali bukan ingin menjadi dokter seperti kebanyakan anak-anak. Saat saya masih duduk di kelas awal SD, saya bercita-cita ingin menjadi arkeolog. Terima kasih kepada buku ensiklopedia yang membuat saya tahu bahwa ada dinosaurus, fosil, dan berbagai peradaban purba lainnya. Anehnya, saya tidak tertarik ingin meneliti fosil dan dinosaurus. Saya lebih tertarik pada peradaban dan budaya manusia di zaman dahulu kala. Yak, itu sih salah saya ya, namanya bukan arkeolog, kalii… Saya baru-baru ini saja sadar bahwa dulu, saya sebenarnya ingin jadi antropolog. Sayangnya, saya tidak tahu istilah tidak populer itu, sehingga saya bilang saja arkeolog tapi yang meneliti manusia. Hahaha.

Kemudian, cita-cita kedua saya adalah ingin menjadi jurnalis. Masih di masa SD, ekstrim-nya, saya ingin jadi wartawan perang. Menyatakan keinginan saya kepada orang tua, ibu saya melarang. Katanya, jadi wartawan perang itu berbahaya, nanti tidak bisa berkeluarga dan banyak pergi ke daerah konflik. Sedih sih, saat itu. Saya sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan saya bercita-cita ingin jadi wartawan perang. Tapi saya ingat, dari dulu saya suka menulis. Mungkin itu yang menjadi alasan saya ingin jadi wartawan, ditambah lagi dengan karakter saya yang memang suka bertualang (mungkin ini akibat terlalu banyak membaca novel Lima Sekawan).

Seperti anak kecil pada umumnya, cita-cita saya berubah lagi. Come on, siapa sih sekarang yang benar-benar menjalankan pekerjaan sesuai dengan cita-citanya? Bahkan si Susan-nya Kak Ria Enez saja tidak berhasil menjadi dokter (ya, iya lah yaa..). Kali ini, saya ingin jadi psikolog. Dan ini adalah perubahan cita-cita saya yang terakhir, well at least perubahan terakhir yang saya jiwai. Alasan saya ingin jadi psikolog? Saat itu sangat sederhana: Semua psikolog wanita yang saya temui cantik. Za, za… menentukan cita-cita kok alasannya tidak logis seperti itu. Masih lebih bagus logika di kedua cita-cita saya sebelumnya, toh? Untungnya, kemudian saya ingat sebuah peristiwa yang bisa jadi mendasari keinginan saya untuk jadi psikolog juga, peristiwa yang tidak bisa dianggap cetek. Saya pernah ditantang ibu saya untuk bermain bersama seorang anak dengan autisme. Kata ibu saya, kalau saya bisa berarti saya hebat. Bisakah saya? Tentu tidak. Sekarang sudah bisa? Ya belum tentu juga. Anyway,intinya ini yang sekarang menjadi alasan saya mengapa saya ingin menjadi psikolog.

Cita-cita tersebut tidak pernah berubah. Saya lulus SMP dan masuk ke SMA yang saya inginkan. Pada saat itu, budaya ke-IPA-an memang dijunjung tinggi, tidak hanya di sekolah tetapi juga di rumah. Kesannya, apabila tidak masuk IPA, maka saya akan jadi second class citizen. Sialnya, jurusan psikologi di Universitas Indonesia adalah jurusan IPS. Nah loh… Sekolah saya pada saat itu memfasilitasi siswa dengan tes minat dan bakat. Hasil tes tersebut digunakan untuk memberikan masukan bagi siswa dalam memilih jurusan. Guess what? Sekolah saya punya 10 kelas reguler dan 9 diantaranya adalah kelas IPA. Tidak aneh jika kemudian saya pun diberi masukan bahwa saya cocok untuk melanjutkan ke jurusan IPA. Waktu itu, saya bertanya kepada beberapa orang mengenai masalah penjurusan ini. Suara yang diberikan sama: pilih saja jurusan IPA, peluangnya lebih terbuka. Pada saat itu, tidak hanya saya yang mengalami dilema (iya, anak SMA zaman saya dilemanya adalah pemilihan jurusan). Banyak yang merasa lebih suka IPS, ingin melanjutkan kuliah di jurusan IPS, dan berbagai alasan lainnya. Sebagian akhirnya dengan berani meminta pindah jurusan, sebagian lainnya seperti saya, memilih jalan aman. Pikiran saya waktu itu, toh bisa belajar lagi nanti.

Dan saya pun salah jurusan.

Memang nilai saya tidak terlalu jelek, tapi tidak terlalu bagus juga. Saya berjuang keras untuk mengerti segala rumus fisika dan kimia, selalu minta teman saya untuk menggambar tiga dimensi di pelajaran seni rupa, dan beberapa kali mengulang ujian karena nilai saya kurang. Saya tidak bangga dengan hal-hal tersebut, tapi apa daya, saya memang tidak bisa. Kalau kata orang-orang yang optimis, tidak ada yang tidak bisa – well, mungkin saya tidak mau. Saya menolak untuk belajar lebih keras lagi. Sepanjang dua tahun terakhir saya di SMA, saya hanya menyukai dua pelajaran, matematika dan bahasa Inggris.The rests were nightmare! Terbayang nggak sih, setiap hari datang ke sekolah dan belajar semua hal yang saya tidak suka, saya tidak tertarik? Yang jelas, saya tidak mau mengulanginya lagi! Not in a lifetime. 

Memasuki kelas 3, saya mulai fokus pada tes masuk perguruan tinggi. Tentu saja, bukan jurusan IPA yang saya ambil pada saat tes, tetapi jurusan IPS. Bahkan IPC (percampuran antara IPA dan IPS) pun tidak saya lirik. Saya banting setir. Saya belajar IPA hanya untuk lulus SMA. Saya tidak peduli berapa nilai saya, yang penting saya lulus. Pada saat itu, memang kriteria penerimaan perguruan tinggi murni hasil tes SPMB (ketauan ya, tuanya saya) jadi, berapa pun nilai saya di SMA tidak akan berpengaruh. Oleh karena itu, saya belajar IPA secukupnya dan belajar IPS sekuat tenaga. Rajin sekali saya saat itu belajar, demi cita-cita menjadi psikolog. Sempat beberapa kali saya tergoda ingin menjadi dokter, atau memilih jurusan teknik industri. Namun, keinginan tersebut luntur oleh kekeraskepalaan saya ingin masuk psikologi UI.

Belajar tidak serius begitu, memang boleh? Untungnya, orang tua saya cukup demokratis dan tidak pernah memaksa saya melakukan sesuatu yang saya tidak suka (bukan berarti saya dimanja, ya). Memang, jurusan psikologi bukan jurusan favorit mereka untuk saya pilih. Ayah saya menyarankan saya untuk memilih jurusan teknik industri. Katanya, mirip-mirip lah ada sisi psikologi-nya. Saya tidak mau. Lalu beliau menyarankan lagi, pilihlah psikologi, tapi fokus pada peminatan industri organisasi (ketebak banget ya, secara beliau pada saat itu manager HRD). Lagi-lagi saya tidak mau. Orang saya mau belajar tentang manusia kok malah disuruh belajar tentang kantor (anggapan saya waktu itu, belum tahu kan, isinya psikologi industri dan organisasi seperti apa – setelah tahu ya tetap tidak mau karena masuk kelas dalam satu semester saja hanya 3 kali – ini jangan dicontoh ya).

Pada akhirnya, seluruh perjuangan (dan kemalasan saya belajar IPA) saya terbayar. Saya diterima di jurusan psikologi di UI. Berkuliah dan meniti cita-cita saya untuk menjadi psikolog. Sekarang sudah jadi psikolog? Belum, dan sepertinya tidak. Ternyata, saya lebih suka dunia pendidikan, bukan dunia klinis. Sudah cantik seperti psikolog wanita yang dulu saya cita-citakan? Kalau kata suami saya sih sudah, but objectively speaking, ngarep lo, Za!

Kembali lagi ke salah jurusan, jadi menyesal? Seperti cerita perjalanan saya, rasanya memori saya tidak akan berwarna apabila saya tidak salah jurusan. Mungkin saya tidak punya pengalaman unik dan menarik kalau saya tidak tersesat. Mungkin saya jadi tidak hafal peta kota Roma kalau saya tidak nyasar2 jam disana. Tentang jurusan SMA saya? Saya sedikit menyesal, tapi mungkin saya tidak akan mendapat nilai bagus di psikologi faal kalau saya bukan anak IPA. Saya beruntung, salah jurusan saya pada saat itu bisa saya perbaiki. Saya bisa kembali ke jalan yang benar sehingga dapat belajar sesuai dengan passion saya. Tapi, kedua salah jurusan yang saya alami punya akibat yang sama: sama-sama membuat saya harus bekerja lebih keras. Nyasar membuat saya harus membaca peta, bertanya kesana kemari, berjalan jauh dan bolak-balik. Salah jurusan saat SMA membuat saya harus belajar dua cabang ilmu, IPA dan IPS. Rasanya otak saya seperti terbelah dua. Lelah!

Intinya, seperti semua hal di dunia, salah jurusan memiliki upside dan downside. Kalau saya boleh sarankan, terutama untuk hal-hal yang besar dalam hidup seperti cita-cita, jangan sampai salah jurusan. Mungkin saya salah satu orang yang beruntung sehingga bisa kembali ke jalan yang benar. Kalau tidak? Mungkin saya akan terjebak melakukan hal yang tidak saya suka seumur hidup saya. Lalu, bagaimana caranya agar tidak salah jurusan?

Sebenarnya kalau melihat track record cita-cita saya, jelas sekali terlihat kemana minat saya. Saya adalah orang yang tertarik pada hal-hal yang sifatnya sosial. Ingin menjadi antropolog, ingin menjadi jurnalis. Semua berhubungan dengan ilmu-ilmu sosial. Kalau saja saat itu saya melakukan refleksi dan mengenal diri saya dengan lebih baik, mungkin saya tidak salah jurusan. Jadi, sebenarnya caranya mudah, kenali diri sendiri! Kita yang paling mengenal diri kita sendiri, kita yang paling mengetahui apa yang kita inginkan.

Selamat berefleksi, selamat kembali ke jalan yang benar!

Jan 19, 2016