University 101: Everything is Data (4)

Apa yang muncul dalam pikiran kita pada saat mendengar kata ‘data’? Ada yang mengasosiasikannya dengan pekerjaan, soal, ujian, penelitian, dan lain-lain. Namun, sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan data, dan mengapa data merupakan suatu hal yang penting untuk dibahas dalam hubungannya dengan universitas – baik pada jenjang S1, S2, maupun S3? Menurut Merriam-Webster Dictionary, data adalah fakta atau informasi yang digunakan untuk analisis dan penghitungan sebagai dasar dari penalaran, diskusi, dan argumen. Berdasarkan definisi ini, dapat disimpulkan bahwa data bisa memiliki berbagai macam bentuk. Fakta atau informasi yang digunakan sebagai data bisa merupakan angka, bentuk, narasi, atau hal-hal yang dapat diamati.

Tentunya, data dalam bidang disiplin ilmu pun berbeda. Ya, mungkin saja teman-teman yang mendalami bidang informatika lebih banyak berhubungan dengan data yang bersifat numerikal. Di sisi lain, teman-teman yang berkuliah di bidang ilmu sosial, seperti antropologi, lebih banyak berhubungan dengan data yang bersifat naratif. Eits, tapi jangan bahagia dulu saat merasa akan atau sedang belajar cabang ilmu sosial yang biasanya minim data numerikal. Berbagai penghitungan statistik, grafik, dan data berupa angka juga merupakan hal dasar yang harus dikuasai oleh semua orang di semua cabang ilmu. Sulit? Nggak, kok. Justru hal ini merupakan salah satu basic skills yang perlu dikuasai untuk bisa survive tidak hanya dalam pendidikan, tetapi juga pekerjaan di masa depan dan dalam kehidupan sehari-hari.

Hmmmm… ini berarti kita tidak bisa ‘kabur’ dari urusan data mendata pada saat memutuskan untuk masuk ke pendidikan tinggi. Segala sesuatu yang kita pelajari dan kita ungkapkan harus berdasarkan data. Orang-orang yang dulunya takut melihat soal dan data harus memberanikan diri menghadapi dan menggunakan data. Atau mungkin, persepsi kita bisa dibalik sehingga lebih nyaman dalam memandang data. Anggap saja, semua hal yang kita ketahui – bahkan dari kecil sekali – bisa dianggap sebagai data. Segala pengetahuan yang kita miliki dan simpan di dalam otak juga merupakan bentuk data apabila kita gunakan untuk melakukan analisa, penghitungan, atau perencanaan.

Tidak lepasnya kehidupan kita dari data mengharuskan kita untuk merasa nyaman bekerja dengan data. Keluwesan kita dalam bermain-main dengan data sangat dibutuhkan, terutama pada saat kita berada dalam lingkungan akademis. Memang sih, pada saat masa awal perkuliahan, biasanya ada mata kuliah yang memang dikhususkan untuk membantu para mahasiswa untuk membiasakan diri dengan data. Namun, apa salahnya kita tahu lebih dulu mengenai hal-hal yang bisa dilakukan terhadap data.

 

  • Putting it into context

 

Data tanpa konteks tidak memiliki arti. Tidak percaya? Ini contohnya: sebagian besar anak mengalami obesitas. Ada yang salah? Secara bentuk, kalimat tersebut benar. Namun, informasi tersebut tidak memiliki konteks. Anak dimana? Batasan yang disebut sebagai anak, berusia berapa? Selain kelengkapan informasi tersebut, kita juga perlu mengetahui konteks data secara lebih luas. Misalnya, ketika kita sudah mengetahui bahwa informasi tersebut berlaku pada anak-anak yang tinggal di Amerika Serikat, maka kita juga perlu mengetahui informasi yang relevan dengannya. Sebagai contoh, konsumsi makanan dengan gula buatan sangat tinggi di Amerika Serikat. Contoh ini merupakan informasi yang tambahan yang juga bisa menjadi data. Kedua data tersebut saling melengkapi dan bisa digunakan bersamaan, memberikan konteks pada satu sama lain. Bagaimana dengan data numerikal? Data numerikal juga membutuhkan konteks. Misalnya, 10% warga Jakarta merasa bahagia. Seberapa banyak 10% warga Jakarta? Tentu harus dikalikan dengan total jumlah warga Jakarta. Arti 10% ini tentu berbeda apabila disandingkan dengan 10% warga Pontianak. Putting it into context. Angka 10% yang tampak kecil menjadi jumlah warga yang puluhan ribu apabila dimasukkan ke dalam konteks kota besar.

 

  • Interpret it

 

Setelah melihat data dalam konteks yang benar, barulah kita dapat melakukan interpretasi data. Lagi-lagi, data bisa diinterpretasi apabila kita mengerti konteks dan arti dari informasi tersebut. Proses interpretasi data harus dilakukan sebelum data kemudian diolah lagi atau dianalisis lebih lanjut.

 

  • Critically analyse it

 

Nah, bagian yang cukup krusial dan unik dalam penggunaan data di tingkat universitas adalah analisis kritis. Pada aktivitas ini, kita bisa mempertanyakan informasi yang kita dapat dari data tersebut – baik mengenai ke-valid-an data tersebut, cara pengumpulan datanya, apakah data tersebut relevan dengan konteksnya, dan lain-lain. Bagi saya sendiri, proses ini adalah proses ‘mempertanyakan kebenaran data’. Butuh panduan bertanya? Yuk mampir ke https://theadventureofizzao.com/2016/06/17/university-101-the-art-of-asking-questions-1/. Data yang telah dianalisis secara kritis sehingga kita mengetahui kelemahannya dapat kemudian digunakan dalam proses-proses pengolahan data berikutnya.

 

  • Convert it

 

Aktivitas konversi data merupakan aktivitas lanjutan dan tambahan dari pengolahan data. Apabila tidak dibutuhkan, proses ini bisa di-skip. Pada umumnya, data dikonversi apabila bentuk lain dibutuhkan untuk proses pengolahan data lanjutan.

 

  • Present it

 

Data juga harus dipresentasikan atau disajikan. Nah, penyajian data tentu tergantung pada bentuk data. Pemilihan cara penyajian data juga harus memperhatikan kenyamanan pembaca. Kita menyajikan data dengan tujuan membuat pembaca mengerti, kan? Oleh karena itu, kita harus menyeleksi cara terbaik untuk mencapai tujuan kita. Data-data numerik biasanya kemudian disajikan dalam grafik sehingga lebih mudah dipahami. Data narasi disusun dengan kalimat yang efektif sehingga pembaca dengan mudah mencerna informasi yang diberikan.

 

Lalu, apa sih tujuan menggunakan data dan melakukan hal-hal di atas terhadap data? Tujuannya adalah untuk mendukung argumen yang kita miliki. Lagi-lagi, dalam konteks akademis pendidikan tinggi, mahasiswa banyak diminta untuk berargumen dan mengungkapkan pendapat. Tentu saja, pendapatnya orang berpendidikan beda yaa, dengan argumen warung kopi. Argumen dalam konteks akademik harus didukung oleh data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Nah, hal ini lah yang membuat data memiliki posisi yang penting dalam kehidupan akademis.

Practice makes it perfect. Sama seperti keterampilan yang lain, keterampilan mengolah, mengumpulkan, dan menganalisis data perlu dilatih sehingga kita lancar dalam menggunakannya. Mari mulai berlatih bermain-main dengan data!

 

Photo source: http://www.biznetsoftware.com/wp-content/uploads/2015/01/bigdata.jpg

 

Advertisement

University 101: Plagiarism

Artikel ini adalah urutan ketiga dari rangkaian seri University 101. Setelah sebelumnya membahas mengenai the art of asking question dan independent learning, kali ini saya akan membahas mengenai plagiarism. Familier dengan istilah ini?

Menurut Merriam-Webster Dictionary, plagiarism adalah “the act of using another person’s words or ideas without giving credit to that person : the act of plagiarizing something” (http://www.merriam-webster.com/dictionary/plagiarism). Oxford Dictionary kemudian menambahkan keterangan bahwa kata ini berasal dari kata Latin, plagiarius, yang berarti penculik. Yah, intinya adalah mengambil sesuatu yang bukan miliknya, lalu mengaku bahwa hal tersebut adalah miliknya. Gampangnya, copy-paste.

Di dalam online course yang saya ikuti, ada sebuah contoh yang menurut saya ‘ngena’ sekali dalam menggambarkan plagiarism. Bayangkan apabila suatu hari kita mengenakan baju dengan gaya tertentu, lalu besok-besoknya banyak orang yang meniru kita dan mengenakan baju yang sama dengan model yang sama. Ya, semacam trend anak muda, lah… How would you feel? Senang, bangga karena bisa jadi trendsetter? Mungkin lebih positif lah ya. Atau bisa juga kesal karena ditiru? Ih, nggak punya kepribadian amat sih ini orang-orang kok niru gue? Ini contohnya baju, sesuatu yang kita beli di toko. Yes we own it, but we don’t own the design for that clothes – kecuali kalau bajunya purely design dan bikin sendiri yaa..

Gimana kalau kasusnya contek mencontek? Pernah dong yaa (eh apa saya doang nih) yang se-enggak-nya nyalin PR teman. Atau mungkin mencontek pada saat ujian? Kalau jadi orang yang dicontek, apa rasanya? Ah, cuma jawab pertanyaan doang, nggak pake mikir gue.. (iye, pinter amat emang ini contohnya, PR ga pake mikir). Atau mungkin lebih ke arah solidaritas? Kasian lah, masa dia nggak lulus ujian nanti kalau nggak dibantuin? Hmmm… tapi kalau si PR dan ujian ini kamu persiapkan dengan berdarah-darah dan penuh cucuran air mata, gimana? Rela hasil kerjamu ini disalin oleh orang lain?

Saya sih… nggak. Enak aja… istilahnya, you take credit of what is not yours, but mine. I need the credit. At least if you want to use it, give me the credit. Iya lah. Itu kan kita yang bikin, kenapa harus dia yang dapat pujian atau pengakuan? Inilah alasan mengapa ada aturan yang sangat, sangat ketat mengenai plagiarism di jenjang universitas, atau lebih luasnya, di kalangan akademisi. Mengapa? Untuk menghargai jerih payah orang yang mengungkapkan ide, konsep, dan teori tersebut. Jadi, walaupun kita menggunakan ide-ide milik orang lain, kita mengakui bahwa itu bukan ide kita sendiri.

Plagiarism nggak boleh, lalu bagaimana cara kita menghindarinya? Seperti yang telah saya jelaskan, menggunakan ide orang lain dalam karya tulis kita boleh kok, asalkan kita memberikan credit terhadap orang tersebut. Caranya? Referencing. Kita memasukkan nama si orang tersebut setelah ide orang tersebut dicantumkan. Metode untuk mencantumkan ide pun ada beberapa macam. Jadi, bisa saja kita tidak hanya menyalin plek-plek apa yang orang tersebut katakan, atau yang biasa disebut sebagai quoting, tetapi juga mengambil intisari ide dan menuliskannya dengan bahasa kita sendiri, atau yang biasa disebut sebagai paraphrasing. Keduanya, tentunya, diakhiri dengan mencantumkan sumber yang kita rujuk. Kemudian, pada akhir tulisan, kita membuat daftar pustaka yang berisi daftar sumber yang kita jadikan rujukan.

Penulisan daftar pustaka sendiri pun ada banyak cara. Style penulisan daftar pustaka biasanya akan bergantung pada cabang ilmu kita. Misalnya, jurusan-jurusan social science menggunakan style Harvard, jurusan science dan psikologi menggunakan APA, dan jurusan literatur menggunakan MLE. Namun, ini bukan patokan pasti. Kita harus mengecek apakah di jurusan kita ada standar tertentu untuk penulisan reference.

Isu plagiarism ini bukan hal yang main-main loh di tingkat universitas. Pelanggaran terhadap hal ini (atau apabila kita terbukti plagiat) adalah pemutusan hak belajar, alias DO, apabila terbukti bahwa plagiarism dilakukan 100%. Intinya, 100% mencontek karya orang lain means you are out of the university. Bagaimana kalau tidak 100%? Adanya kecanggihan teknologi membuat banyak software yang bisa digunakan untuk mengecek plagiarism dan hasilnya pun biasanya cukup akurat, menunjukkan persentase bagian yang merupakan plagiarism. Nah, memang tidak mungkin juga ada hasil karya yang 100% asli. Oleh karena itu, batas yang diberikan oleh universitas berkisar antara 15-20%. Di atas itu? Biasanya, kita akan dipanggil dan semacam ‘disidang’ oleh komite kampus yang mengurusi bagian ini. Setelah itu, tugas tersebut akan di-nullify, yang berarti bahwa kita tidak lulus mata kuliah tersebut atau harus mengulang tugas tersebut. Intinya, semua tergantung keputusan si komite kampus ini.

Mengingat pentingnya masalah plagiarism ini, kita harus berhati-hati. Sebagai bagian dari komunitas akademisi, kita bisa mulai membiasakan diri dengan tidak mencontek, menghargai hasil karya orang lain, dan memberikan credit kepada orang yang hasil karyanya kita ambil. Baiklaah… Masih ada tiga artikel lagi untuk seri ini, tunggu lanjutannya yaa..

Photo source: http://www.plagiarismchecker.net/img/plagiarism-stolen-ideas.jpg

 

University 101: Independent Learning (2)

Setelah bagian pertama feels like a thousand days ago, mari kita lanjutkan seri tulisan tentang University 101 ini. Sekedar mengingatkan, seri ini sengaja saya tulis untuk teman-teman yang akan berkuliah (S1 maupun S2) untuk memberikan gambaran mengenai study skills yang dibutuhkan saat menjadi mahasiswa, terutama di universitas non-Indonesia. Namun, harusnya sih isinya pun relevan bagi teman-teman yang akan berkuliah di universitas di Indonesia. Framework artikel ini didasarkan pada sebuah online course yang saya ikuti mengenai preparing for university.

Beberapa minggu yang lalu, saya membahas mengenai the art of asking questions. Kali ini, salah satu aspek penting dalam kehidupan mahasiswa di universitas adalah independent learning. Ya, sudah besar dan dewasa (harusnya) membuat mahasiswa memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam memastikan keberhasilan studi-nya.

Saya jadi ingat, seminggu lalu sebuah daerah di Birmingham ‘kekeringan’ karena ada water pipe burst. Hal ini menyebabkan ada sekolah yang diliburkan karena tidak ada supply air bersih. Namanya juga musibah, pemberitahuan libur sekolah baru dilakukan oleh pihak sekolah di pagi hari, saat anak-anak sudah bersiap berangkat sekolah. Lucunya, seorang anak kawan saya menangis cukup drama karena ia sedih tidak jadi berangkat sekolah. Dasar anak-anak yaa… Sekolah membuat bahagia. Kalau kita? Hahaha…. Mungkin ada yang merasa sekolah tidak menyenangkan? Libur jadi momen yang ditunggu-tunggu?

Hmmm… harusnya sih kalau kuliah tetap semangat untuk masuk kelas ya? Mengapa? Karena harusnya kan kuliah sesuai dengan topik atau bidang yang diminati. We should be interested in what we learn in the university. Mari dicek artikel saya sebelumnya: https://theadventureofizzao.com/2016/03/27/salah-jurusan/. Kalau semangatnya harus sama dengan si anak kecil yang ingin sekali bersekolah, ada hal yang berbeda tentang libur. Bagi mahasiswa, tidak ada kelas bukan berarti tidak belajar. Whaaaat?

Pertama-tama, saya akan menjelaskan mengenai sistem belajar di universitas di UK (dan mungkin banyak negara lain). Ada isitlah yang disebut sebagai ‘contact time’. Apakah itu? Contact time berarti waktu yang dialokasikan bagi mahasiswa untuk bertemu dengan dosen. Nah, contact time ini dihitung sejumlah jam dalam satu minggu. Contact time di setiap jurusan dan jenjang pendidikan pun berbeda-beda. Ada jurusan-jurusan yang contact time-nya sedikit, seperti jurusan English Literature, Drama, dan Music (8-15 jam per minggu). Namun, ada juga jurusan yang memiliki banyak contact time, seperti International Relation dan jurusan-jurusan Social Science (20-28 jam per minggu). Bagaimana dengan jurusan Science? Biasanya mahasiswa yang mengambil jurusan Science memiliki contact time yang sedang, dengan proporsi lab work yang cukup besar. Misalnya, 15 jam contact time dan 15 jam lab work per minggu. Biasanya, ada 3 jenis pertemuan mahasiswa dengan dosen, yaitu lecture, seminar, dan tutorial. Apa bedanya? Lecture adalah kuliah, seperti kelas kuliah di Indonesia. Mahasiswa dalam satu kelas ada banyak dan biasanya dosen memegang kendali dalam memberikan penjelasan tentang suatu topik. Seminar dilakukan dalam kelompok yang lebih kecil dari lecture, dan biasanya student-based. Jadi, mahasiswa harus aktif berdiskusi, mengerjakan tugas, dan melakukan case study. Project-project pun biasanya dikerjakan selama seminar ini. Terakhir, tutorial adalah pertemuan individual satu mahasiswa dengan dosen. Biasanya, alokasi waktu ini didapatkan pada jenjang tingkat akhir S1 atau pada saat S2. Mahasiswa memiliki hak untuk bertemu dengan dosen selama sekian jam pada masa kuliah berlangsung. Hak, ya, bukan kewajiban. Jadi, mahasiswa lah yang harus menuntut haknya dengan membuat appointment dengan dosen karena dosen tidak akan mengejar-ngejar Anda untuk bertemu. Yekaliii, macam artis aja.

Wah, nggak adil dong? Ada yang kuliahnya banyak tapi ada juga yang sedikit? Nah, keadilan itu ada di independent learning. Teman-teman yang memiliki contact hour sedikit, pasti tugasnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan teman-teman yang contact hour-nya banyak. Sebagai perbandingan, saat S2 saya memiliki contact hour 10 jam per minggu. Tugas saya ada essay 500 kata setiap minggu dan essay 6000 kata x 5 mata kuliah untuk dikumpulkan di akhir term. Suami saya memiliki contact time 20 jam per minggu dengan case study untuk setiap mata kuliah dan essay 2500 kata x 6 mata kuliah untuk dikumpulkan di akhir term. Otomatis, waktu yang saya sisihkan untuk independent learning (mengerjakan tugas) pun jadi bisa make up the difference antara contact hour saya dan contact hour suami saya. Intinya sih, sama-sama belajar!

Oke, lalu apa yang dilakukan di waktu kosong tersebut? Seperti yang sudah dijelaskan, kita bisa mengerjakan tugas, membaca bahan kuliah (reading list), dan melakukan revision. Jangan dikira hal-hal tersebut memakan waktu singkat, ya. Ini bukan SMA yang bisa ngerjain PR sebelum bel di sekolah. Hihi. semua hal tersebut memakan considerable amount of time. Jadi, alokasikan lah waktumu dengan baik. Mari kita bahas masing-masing kegiatan tersebut!

Mengerjakan tugas

Apa sih tugasnya mahasiswa? Ada banyak sekali jenis tugas yang diberikan pada mahasiswa. Kita bisa diminta untuk menulis essay, merancang dan membuat project, atau lab work. Jenis tugas biasanya tergantung jurusan yang dipilih. Biasanya, kita sudah bisa tahu tugas apa saja yang akan kita kerjakan di pertemuan kuliah pertama. Jadi, tidak seperti PR di sekolah yang ‘ujug-ujug’ diberikan, saat kuliah ini kita bisa ancang-ancang untuk mengerjakan tugas di awal masa perkuliahan. Tugas yang diberikan pun bisa berupa tugas individu atau tugas kelompok. Keduanya membutuhkan effort yang besar. Misalnya, tugas kelompok butuh kekompakan, kerja sama, dan kolaborasi dengan teman-teman sekelompok. Saat berkuliah di tempat dengan mahasiswa yang background budaya-nya berbeda, kita pun harus bisa fleksibel dan bertoleransi. Ini PR yang besar dan cukup menantang untuk dijalani. Kalau tidak mampu bekerja sama dengan baik, maka nilai kita lah yang dikorbankan. Berbeda dengan tantangan pada tugas kelompok, tugas individu membuat kita harus bersusah-susah sendiri. Jadi, banyak waktu dihabiskan di perpustakaan atau di kamar untuk membaca dan menulis. Kebosanan, godaan untuk bermain, dan kecenderungan prokrastinasi adalah tantangannya. Oleh karena itu, motivasi dan time management skills sangat dibutuhkan, terutama apabila ada banyak tugas yang harus diselesaikan dalam satu waktu.

Membaca bahan kuliah

Kegiatan lain yang bisa dilakukan saat kita tidak harus masuk kelas adalah membaca bahan kuliah. Biasanya, mahasiswa telah diberikan reading list di awal masa kuliah. Reading list ini ada yang wajib dan ada juga yang sunnah (additional). Nah, kalau yang wajib saja sudah sebareg, gimana dengan yang sunnah? Oleh karena itu, saya biasanya menyisihkan waktu khusus untuk membaca reading list dan bahan kuliah. Oh ya, kalau kuliah di luar negeri, tidak bisa lagi seperti kuliah di Indonesia yang cukup membaca slide dari dosen, ya. Hahaha… Nilai kita bisa berantakan kalau mengandalkan slide kuliah dosen. Biasanya, slide kuliah dijadikan panduan mengenai topik apa yang wajib dibaca di buku. Jadi, bahkan sebelum masuk kuliah pun si slide kuliah sudah penuh dengan coretan-coretan. Selain untuk bisa mengerti materi kuliah agar tidak cengo’ saat di dalam kelas, membaca reading list juga sangat berguna untuk menambah wawasan dan membantu dalam mengerjakan tugas. Jadi, usahakanlah untuk selalu mencoba membaca additional reading material yang bisa berupa text book, jurnal terkini, dan usahakanlah untuk selalu update informasi terkait dengan apa yang kita pelajari dari berita terkini. Saat kuliah S2 dulu, saya mengalokasikan 1 jam di pagi hari untuk membaca berita yang ada serta jurnal terbaru tentang topik yang saya pelajari.

Mengerjakan revision

Aktivitas terakhir yang bisa dilakukan di waktu kosong adalah mengerjakan revision. Apakah itu revision? Revision berarti mengulang pelajaran atau latihan. Mungkin ini bentuknya macam kita belajar di SD, saat harus membaca lagi apa yang telah dipelajari di sekolah dan mengerjakan latihan soal. Nah, si revision ini biasanya tidak lagi dilakukan saat S2 karena tugas dan pelajarannya sudah lebih banyak ke arah developing ideas, bukan memahami konsep dasar. Nah, apa yang dibutuhkan saat revision? Tentunya materi yang telah dipelajari (bisa berupa catatan, slide kuliah, atau video) dan latihan soal. Untuk lebih baik lagi dalam melakukan revision, kita perlu tahu metode belajar yang paling nyaman bagi diri kita sendiri. Dengan begitu, revision bisa dilakukan dengan efektif dan hasil belajar pun lebih baik.

 

Seperti yang telah disebutkan di atas, independent learning ini sangat penting pada jenjang universitas karena mahasiswa tidak lagi ‘disuapi’ oleh dosen. Kemajuan belajar kita akan tergantung pada diri kita sendiri, tergantung usaha yang kita keluarkan. Selain itu, latihan independent learning pada saat berkuliah dapat melatih diri kita agar menjadi life-long learner, pembelajar seumur hidup. Skill ini sangat dibutuhkan terutama saat kita bekerja karena progress karir pun akan sebanding dengan luasnya pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu, ada atau tidak sarananya, kita harus bisa meng-upgrade pengetahuan dan kemampuan kita tanpa harus didorong oleh orang lain atau ‘dipaksa’ oleh pihak eksternal.

Independent learning is a skill. Tapi, di dalamnya ada berbagai keterampilan yang juga dibutuhkan dan terkait, seperti kemampuan mengatur waktu, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan kolaborasi, motivasi internal dan eksternal, serta kemampuan untuk memahami diri sendiri. Yuk, tingkatkan kemampuan kita dan mulai membiasakan diri untuk menjadi pembelajar mandiri.
Nantikan artikel berikutnya masih dalam topik University 101, yaa. Terima kasih sudah membaca.

University 101: The Art of Asking Questions (1)

Yay! Akhirnya dapat semangat untuk menulis sesuatu yang ‘berbau’ akademis. Kali ini, ‘baunya’ agak jauh sih, tapi yaa gapapa lah yaa..

Baru-baru ini saya mengikuti online course yang diselenggarakan oleh FutureLearn tentang menyiapkan diri untuk berkuliah. Sejujurnya sih, course ini ditujukan bagi orang-orang yang akan mulai kuliah S1. Tapi, sepertinya penjelasan yang diberikan pun cukup relevan bagi seluruh jenjang perkuliahan. Yah, mungkin untuk me-refresh lagi ingatan mengenai study skills yang dibutuhkan pada saat berkuliah bagi teman-teman yang akan lanjut S2 atau S3.

Saya akan menulis seri artikel ini berdasarkan isi dari online course tersebut serta tambahan pengalaman pribadi saya. Pada masing-masing bagian, ada highlight study skills tertentu yang penting untuk diketahui, dipelajari, diasah, dan dipraktikkan agar dapat menjalankan kuliah dengan lancar. Semoga bermanfaat!

 

Pendahuluan

Menurut teman-teman, apa sih hal yang penting dimiliki oleh seorang mahasiswa? Apa bedanya mahasiswa dan siswa? Dulu waktu S1, rasanya dosen-dosen saya senang sekali meng-highlight perbedaan antara siswa dan mahasiswa. Mungkin karena kesal dengan kelakuan mahasiswa yang mirip anak SMA? Mungkin juga untuk selalu mengingatkan bahwa kami sudah besar, sudah harus bertanggung jawab. Kalau dulu saya sempat mengajar sebagai dosen, sih, gemes banget rasanya melihat mahasiswa yang kurang bertanggung jawab, tidak mau berusaha, dan yang paling penting, tidak mau membaca!

Bagi saya, dan mungkin banyak akademisi lain di luar sana, iklim universitas adalah iklim ilmiah, dimana semua orang seharusnya memiliki semangat yang sama untuk tahu lebih banyak tentang bidang ilmu yang diminati. Yah, seharusnya kan kita memang berkuliah di jurusan yang kita minati. Apalagi kalau sudah di level S2 atau S3. Wah, bisa keteteran juga kalau ternyata kita tidak suka dengan apa yang dipelajari. Nah, karena adanya motivasi internal dan minat terhadap bidang ilmu tertentu, harusnya semangat dong, ya? Oleh karena itu, tentunya ekspektasi para dosen cukup tinggi mengenai performa akademis mahasiswa. Setidaknya, diharapkan para mahasiswa menunjukkan usaha untuk memperkaya wawasan dan mendalami bidang ilmu. Setidaknya, mereka menunjukkan ketertarikan dan semangat saat berkuliah.

Ada lagi kah perbedaan mahasiswa dan siswa? Salah satu perbedaan yang cukup mencolok adalah mengenai kemandirian. Mahasiswa dituntut untuk dapat bertanggung jawab terhadap kemajuan akademisnya. Jam belajar, pengerjaan tugas, dan segala hal yang berhubungan dengan akademis harus ditentukan sendiri oleh mahasiswa. Dosen tidak lagi berfungsi sebagai guru yang harus ‘mengejar-ngejar’ mahasiswa untuk mengumpulkan tugas atau memberikan remedial ketika nilai kita jelek. Semua adalah tanggung jawab pribadi.

Dalam online course yang saya ikuti, ada beberapa kata yang disebutkan oleh para dosen di UK tentang apa saja ekspektasi mereka terhadap mahasiswa. Kata-kata tersebut diantaranya adalah curiosity, enthusiasm, self-determination, willingness to take risk, critical ability, synthesizing information, learning fast, discipline, dan teamwork. Karakteristik tersebut dianggap penting untuk dimiliki oleh mahasiswa. Oleh karena itu, tidak ada salahnya untuk melakukan refleksi kembali, meninjau kembali, apakah kita yang akan berkuliah, apapun jenjangnya, telah memiliki karakterstik tersebut.

 

Rasa Ingin Tahu

Karaktersitik pertama yang akan saya bahas adalah rasa ingin tahu atau curiosity. Selain karena hal ini adalah pembahasan pertama di dalam online course mengenai Preparing for University, saya pribadi juga berpendapat bahwa rasa ingin tahu adalah hal yang krusial dalam menuntut ilmu. Tanpa rasa ingin tahu, tidak akan ada dorongan dan motivasi internal untuk memperkaya wawasan, untuk mendalami, dan untuk bertanya mengenai suatu hal.

Studying means asking questions. Studying means exploring. Belajar berarti mengakui bahwa kita belum sepenuhnya tahu. Belajar berarti berani meraba, mencari, mengeksplorasi sesuatu yang kita baru tahu sekelumit saja. Ya, bahkan para ahli pun masih terus menerus mencari. Itu sebabnya, penelitian adalah inti dari semua ilmu. Karena manusia hanya tahu sedikit saja. Kalau teman-teman segan untuk bertanya, merasa sudah tahu, tidak mau berusaha untuk mencari tahu, lalu untuk apa belajar? Untuk apa berkuliah? Sepertinya, sayang ya, waktu dan uang yang dihabiskan. Lebih baik bekerja saja atau mengisi waktu dengan hal lain yang juga berguna. Bagi saya, iklim akademis ditujukan bagi orang-orang yang ingin belajar dan orang-orang yang menyadari bahwa wawasan yang ia miliki hanyalah sekelumit dari yang ada – orang-orang yang humble enough untuk mengakui bahwa ia butuh lebih, ia punya banyak pertanyaan, ia tidak mengerti mengenai satu atau banyak hal.

Gampang lah…. Semua manusia sebenarnya memiliki rasa ingin tahu. Yah, kalau tidak, bagaimana kita dari bayi lalu bisa belajar banyak hal? Semua pasti karena ada rasa ingin tahu. Sayangnya, rasa ingin tahu pun bisa menurun intensitasnya apabila tidak dipupuk. Dalam hal ini, lingkungan eksternal sangat berpengaruh. Saya ingat sekali, waktu SD dulu, anak-anak yang dianggap baik dan pintar adalah anak yang mengangkat tangannya untuk menjawab, bukan untuk bertanya. Saya juga ingat, ada murid saya dulu yang sangat takut bertanya karena saat kelas 2 SD, seorang gurunya pernah berkomentar ‘yah, masa gitu aja nggak tahu?’ saat ia bertanya tentang sesuatu. Lalu kemudian, komentar gurunya pun disambung oleh tawa dari teman-temannya. The culture of shaming those who ask. Siapa lagi yang pernah punya pengalaman serupa? Pantas saja di jenjang universitas para dosen kewalahan memotivasi mahasiswa mereka untuk bertanya. Wong dari kecil dididik bahwa bertanya adalah hal yang memalukan.

Ketika para dosen di Indonesia bisa bertoleransi dengan gerakan tutup mulut mahasiswa untuk bertanya dan kemudian menyesuaikan approach mereka menjadi ala-ala guru sekolah, lain halnya dengan di luar negeri. Nah, ini khusus yang akan melanjutkan belajar di jenjang pendidikan tinggi di luar Indonesia, ya. Dosen-dosen disini tidak akan menoleransi gerakan tidak mau bertanya yang kita lakukan. Lalu? Lalu, either kita dipaksa untuk mengungkapkan sesuatu (bertanya, berpendapat) di kelas atau kita benar-benar akan jadi mahasiswa tidak terlihat. Maksudnya? Bahkan teman-teman pun tidak menyadari keberadaan kita di kelas saking pasifnya kita. Hasilnya apa? Kemajuan belajar kita terhambat, keterampilan belajar kita tidak terasah, dan hasil belajar pun bisa jadi tidak sesuai dengan ekspektasi. Sebagai gambaran, perkuliahan di UK, dan mungkin berbagai negara lain, menempatkan diskusi ilmiah pada pusat pembelajaran. Jadi, duduk dan mendengarkan dosen menjelaskan adalah hal yang jarang dilakukan. Mungkin hanya sekitar 40% dari kegiatan perkuliahan yang diisi oleh kegiatan ini. Sisanya? Diskusi kelompok, presentasi, debat, dan lain-lain. Semuanya menuntut partisipasi aktif dari para mahasiswa. Dari sini dapat terlihat bahwa rasa ingin tahu adalah hal yang penting dan kemampuan untuk bertanya adalah salah satu study skills yang utama.

Saya ingat ketika berkuliah S2, saya pernah mendapatkan satu kelas yang di setiap pertemuan selama satu tahun, si dosen hanya datang dengan satu bahan bacaan atau video dan satu pertanyaan. Pertanyaan tersebut ia gunakan untuk menstimulasi diskusi sehingga saya dan teman-teman harus aktif. Mengapa? Karena kalau tidak, kelas akan krik-krik. Bayangkan, kelas berdurasi 2.5 jam digunakan hanya untuk berdiskusi tentang satu tema yang diperkenalkan melalui pertanyaan. Awal bergabung di kelas ini, saya bingung se-bingung-bingungnya. Saya tidak mengerti apa yang dipelajari, saya tidak paham tujuan dari pembelajaran yang ada di kelas tersebut. Namun, saya akhirnya dapat beradaptasi dan terbiasa mempersiapkan diri untuk menjawab pertanyaan dan berdiskusi. It turns out that dari kelas tersebut lah saya belajar paling banyak. Ya, melalui satu pertanyaan saja setiap pertemuan, saya bisa belajar sangat banyak sekali.

Dalam perkuliahan, dapat terlihat bahwa pertanyaan berfungsi sebagai trigger, pemicu diskusi. Melalui diskusi tersebut, informasi dari berbagai sudut pandang dapat terkumpul dan disintesis oleh masing-masing individu sehingga membentuk personal knowledge. Pertanyaan juga dapat berujung pada banyak pertanyaan lain. Hal ini kemudian memotivasi mahasiswa untuk mencari tahu lebih dalam mengenai topik tertentu. Mencari darimana? Dari mana saja. Dosen bukanlah sumber utama ilmu dan pengetahuan. Bisa dibilang, saat bertanya pada dosen, mungkin ia akan menjawab secara umum atau merujuk kita pada buku atau jurnal tertentu, atau – yang paling menyebalkan (eh?) – menjawab dengan pertanyaan lain. Hahaha… Therefore, don’t ask silly questions.

Malu bertanya sesat di jalan. Betul. Tapi bagi saya, kebanyakan bertanya menunjukkan tidak ada usaha. Sorry to say, tapi saya sangat tidak terkesan pada pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya sangat mudah didapat hanya dengan googling atau membaca buku rujukan. Rasanya kok ya, orang ini bertanya hanya untuk iseng, menguji pengetahuan dosen, atau memang plainly tidak mau usaha membaca atau mencari tahu. Nah, kalau sudah begini, untuk apa berkuliah? S1 masih begini, mungkin masih bisa dimaklumi karena baru beradaptasi. S2 begini? Wah, ke laut aja. Sudah berani memutuskan untuk sekolah tinggi-tinggi, seharusnya sudah ada motivasi untuk belajar dan tahu lebih banyak. Indeed, S2 itu berat! Jangan bayangkan seperti kuliah S1, apalagi kalau teman-teman berkesempatan untuk kuliah di luar negeri. Model-model pertanyaan yang ‘konyol’ paling hanya mendapat tanggapan pertanyaan balik dari dosen ‘Have you read the reading material?’. Hiyaaahhh… mati kutu deh kalau dosen sudah bilang begitu.

Terus bagaimana dong? Bagaimana saya mau belajar, bertanya saja sulit? Hihi… tenang… Preparation is key. Kunci dari pertanyaan yang baik adalah persiapan. Sebelum masuk kelas, biasakanlah untuk membaca dan mencari informasi seputar topik yang akan dibahasi di kelas. Setiap dosen pasti sudah memberikan reading list, buku referensi, bahkan presentasi yang akan digunakan di kelas. Jangan malas membaca karena nanti hanya bisa diam, bengong, dan meratapi nasib di kelas. Saat membaca materi sebelum kelas, mulailah mempertanyakan hal-hal yang tidak dimengerti. Saat berkuliah S2, buku catatan saya tidak penuh dengan catatan, tapi penuh dengan pertanyaan. Ya, bukan anak SD lagi yang harus menyalin catatan dari papan tulis, kan? Materi sudah dengan mudah didapat dari internet dan tinggal di-save, buku catatan pun beralih fungsi menjadi buku pertanyaan. Selain itu, selama di kelas pun kita bisa berlatih bertanya. Setiap ada isu yang menarik, cobalah buat pertanyaan mengenai isu tersebut, lalu tanyakan.
Mari berlatih bertanya. Salah satu study skill yang penting dimiliki bagi mahasiswa ini adalah pintu gerbang wawasan. Pertanyaan juga dapat membangun rasa ingin tahu sehingga kita selalu ‘haus’ akan ilmu dan terus termotivasi untuk belajar.

Academic Writing 101: Part 4

Yeay! Akhirnya ini adalah bagian terakhir dari Academic Writing 101. Pada bagian ini, saya akan berbagi beberapa tips yang mungkin kecil tapi perlu diperhatikan dan dilakukan saat menulis. Ada tiga hal yang didiskusikan pada bagian ini, yaitu mengenai fokus dalam menulis, pentingnya latihan, dan saran saya untuk berkonsultasi mengenai tulisan Anda. 

Don’t lose your focus

Seperti yang sudah dibahas di beberapa tulisan sebelumnya, esai yang baik adalah esai yang dapat menjawab pertanyaan mengenai suatu masalah dengan memberikan argumen yang logis dan tepat. Bagi saya, mendefinisikan permasalahan dan argumen adalah hal yang sangat penting sebelum mulai menulis esai. Mengapa? Karena tanpa tujuan penulisan yang jelas, esai akan kehilangan arah. Sialnya, esai yang kehilangan arah tidak akan menjawab pertanyaan, atau setidaknya tidak secara logis dan efisien menjawab pertanyaan. Oleh karena itu, perjelas dan pertajam masalah yang akan Anda bahas dalam esai Anda and stick to it!

Saya pernah mendapatkan saran dari seorang dosen S2 saya mengenai penulisan esai. Ia menyebutkan bahwa topik sebuah esai harus sempit dan pembahasan esai harus dalam. Salah satu esai yang mungkin tidak akan dinilai terlalu baik adalah esai yang membahas suatu permasalahan secara umum dan hanya di permukaan. Cobalah untuk meminimalisir deskripsi dan memperbanyak analisis. Pengalaman saya sendiri, bagian-bagian deskriptif dari esai akademis yang saya tulis biasanya hanya ada pada pendahuluan. Sisanya, saya mengelaborasi berbagai bukti dan contoh untuk mendukung argumen saya.

Salah satu cara yang cukup bermanfaat adalah dengan menggunakan kerangka tulisan dan mencocokkan informasi yang dimiliki ke dalam kerangka tulisan tersebut. Apabila informasi tertentu tidak dapat diklasifikasi ke dalam kerangka tulisan, bisa jadi memang informasi tersebut kurang relevan dan harus dihapus. Sedih memang untuk membuang informasi yang sudah susah-susah dicari. Believe me, saya pernah membuang setengah dari informasi yang saya miliki hasil dari membaca puluhan buku karena ternyata informasi tersebut tidak tepat untuk ditulis di dalam esai saya.

Kendala yang sering dihadapi dan membuat seseorang kehilangan fokus dalam penulisan esai adalah adanya ekspektasi jumlah kata yang dituliskan pada esai. Tentunya, sebagian besar esai akademis yang menjadi tugas dari suatu mata kuliah memiliki kriteria tertentu. Kalau sebagian informasi sudah dibuang karena tidak relevan, lalu bagaimana esai saya bisa mencapai kriteria yang diminta? Lagi-lagi, BACA. Baca lagi, cari lagi, eksplorasi lagi. Kalau tidak ada lagi yang bisa dilakukan? Mungkin memang topik yang dipilih kurang tepat atau tidak cukup ‘kaya’ untuk ditulis sebagai esai.

Latihan

Bahasa adalah keterampilan. Saya sudah pernah membahas hal ini di tulisan saya dengan judul yang berbeda. Karena bahasa adalah keterampilan, maka ia membutuhkan latihan. Saya, Anda, semua orang perlu berlatih agar lancar berbahasa. Pernah mengalami kesulitan menggunakan bahasa Inggris karena sudah lama tidak digunakan? Begitupun halnya dengan menulis, sebagai salah satu aspek dari keterampilan berbahasa. Menulis juga butuh latihan.

Banyak sekali cara untuk berlatih menulis. Meskipun bukan dalam konteks akademis, menulis lepas pun bisa dijadikan sarana untuk berlatih menulis akademis. Setidaknya, kaidah dasar penulisan pun masih selalu harus digunakan pada saat menulis. Misalnya, tulisan harus bertujuan, harus ada pendahuluan dalam suatu tulisan, harus ada pula kesimpulan. Mungkin cara yang cukup dapat dilakukan untuk merutinkan diri berlatih menulis adalah dengan menulis buku harian (iya, ini tipikal anak SD). But really, it helps. Saya sendiri tidak menulis buku harian, tapi selalu mencoba untuk menggunakan kegiatan menulis sebagai pengisi waktu luang. Refleksi diri dan menuliskannya, menulis pendapat tentang suatu hal, atau mungkin menulis tentang hal yang menarik bagi saya. Baru-baru ini, saya menulis tentang hal yang menurut suami saya ‘pernyataan sikap’ terhadap suatu topik (http://izzadinillah.tumblr.com/post/138498316931/super-woman-called-mom). Bagi saya, menulis lebih baik daripada mengeluh, ngedumel di dalam hati, atau malah marah-marah sendiri.

Apabila sudah cukup terbiasa menulis, saya akan menyarankan Anda untuk membuat sebuah blog.Media ini cukup bermanfaat untuk menampung tulisan-tulisan yang dimiliki. Tujuannya tentu bukan untuk menambah follower atau mencari popularitas. Bagi saya, blog yang saya miliki berguna untuk mengingatkan saya agar menulis. Saat ini, salah satu hal yang sedang saya biasakan adalah menulis dalam bahasa Inggris setidaknya seminggu sekali. Oleh karena itu, saya pun membuat sebuah seri diblog saya, yang saya beri judul AdventureNotes (http://izzadinillah.tumblr.com/post/138270024166/adventurenotes-13-london-the-introduction). Karena merasa diwajibkan untuk menghidupkan blog saya, maka saya berusaha sekali untuk selalu menulis seri tersebut. Latihan, latihan, dan latihan menulis. Dengan berlatih, saya menjadi cukup lancar menulis dan selalu memperbaiki tulisan-tulisan saya.

Konsultasi

Saya sangat sangat menyarankan setiap orang yang menulis dalam bidang akademis untuk berkonsultasi. Konsultasi bisa dilakukan sebelum, di awal, pada saat menulis, dan setelah tulisan selesai. Pada saat saya sedang berkuliah S2, saya selalu berusaha untuk menyelesaikan tugas setidaknya seminggu sebelum tenggat waktu pengumpulan agar saya dapat berkonsultasi pada dosen saya, teman saya, atau orang lain yang dapat dimintai bantuan.

Dilemanya, terkadang manusia tidak suka dikritisi. Yes. Tapi, demi tulisan dan nilai yang baik, saya rela. Hasil konsultasi saya tidak selalu baik. Diminta mengganti topik esai setelah half way through the writing process? Pernah. Diminta untuk mengubah struktur esai saat sudah ¾ jadi? Pernah. Sedih, kesal, lelah… tidak ada rasa yang enak setelah menerima feedback negatif. Semua saya telan saja karena saya yakin, proses tersebut baik untuk saya pada akhirnya.

Jadi, saya menyarankan Anda untuk konsultasi pada orang yang Anda anggap mampu memberikan umpan balik yang tepat dan jujur dalam menilai tulisan Anda. Jangan minta ke saya ya, karena saya cukup galak ketika memberikan feedback sampai suami saya saja stress duluan kalau meminta saya membaca esainya.

Terima kasih sudah membaca tulisan yang sangat panjang ini. Sungguh, niatnya hanya ingin berbagi. Semoga berguna dan membantu Anda dalam menulis akademis, ya…

Happy writing!

Feb 04, 2016

Academic Writing 101: Part 3

Menulis

Ya, kedua bagian mengenai academic writing sebelumnya adalah bagian teori. Now, let’s get practical!Setelah mengetahui dasar tulisan akademis yang baik dan berlatih mengenai critical thinking, tentunyaacademic writing mengharuskan kita untuk menulis.

Kaidah penulisan akademis memang sedikit berbeda dengan penulisan non-akademis. Pada academic writing, penulis biasanya diminta untuk mengajukan suatu argumen atau pendapat mengenai suatu isu. Lalu, berbeda juga dengan tulisan saya ini, penulisan akademis mengharuskan si penulis untuk memberikan bukti-bukti yang mendukung argumen atau pendapatnya. Sulitnya, dalam critical thinking, kan kita diminta untuk objektif? Lalu bagaimana caranya?

Pada bagian ini, saya akan mencoba untuk menceritakan pengalaman saya dalam menulis. Tips ini bisa berlaku bagi Anda, tapi mungkin Anda memiliki cara yang lebih efektif. Here it goes..

Dalam menulis sebuah esai, saya biasa memulai dengan memberikan gambaran mengenai masalah atau isu yang saya angkat. Saya belajar cukup banyak mengenai hal ini pada saat menyusun skripsi saya. Dosen pembimbing saya selalu menekankan untuk mencari topik atau isu penelitian (atau esai) dari masalah yang terjadi di kehidupan. Ada dua alasan yang mendasari hal ini. Pertama, data mengenai masalah yang terjadi biasanya cukup banyak tersedia, baik yang sudah dieksplorasi maupun yang belum dieksplorasi. Kedua, dengan melakukan penelitian atau menulis esai mengenai isu yang benar-benar terjadi, kita bisa mencoba untuk menyelesaikan atau menjawab masalah yang ada. Manfaat penelitian menjadi praktis dan tepat guna. Namun, tidak mudah untuk menemukan topik atau isu yang cocok untuk dieksplorasi lebih lanjut. Oleh karena itu, saya menyarankan untuk banyak-banyak membaca koran. Dengan begitu, wawasan mengenai current issues akan bertambah dan memudahkan untuk mencari topik yang sesuai. Bagi saya, tahapan ini adalah tahapan yang cukup krusial dalam menulis karena topik lah yang menentukan kelangsungan penulisan akademis saya. Saya mencoba untuk mencari saran dari dosen-dosen saya. Ketika mereka merasa bahwa topik tersebut bisa dituliskan dalam bentuk esai akademis, barulah saya mulai menulis. Tentunya, saya mengajukan topik tidak hanya berupa judul, tetapi berupa framework tulisan sehingga dosen saya bisa mengerti apa yang ingin saya tunjukkan melalui esai saya. Sulit? Hmmm… tergantung. Pada awalnya saya seringkali bolak balik bertemu dan konsultasi dengan dosen untuk mendapatkan topik yang tepat. Ditolak sampai 3 kali? Biasa… Namun, lama-lama terbiasa juga mengira-ngira sendiri apakah topik yang saya pilih dapat dibahas dalam sebuah tulisan akademis.

Setelah topik saya dapatkan dan saya tuangkan dalam pendahuluan esai saya, saya akan membaca dan menulis mengenai teori-teori mendasar yang berhubungan dengan topik tersebut. Saya akan menghubungkan masalah yang ada di realita dengan apa yang tertulis di dalam teori. Disini, critical thinking mulai bisa digunakan. Lihat, apa sih perbedaan antara realita dengan teori yang idealis itu? Mengapa masalah bisa terjadi padahal teori-nya bilang begini? Selain itu, coba lihat faktor-faktor lain yang bisa jadi mempengaruhi isu tersebut. Open wide. Buka selebar-lebarnya kemungkinan yang ada. Lihat sisi ideal dari isu yang dihadapi. Pertanyakan berbagai hal sehingga langkah selanjutnya bisa dilakukan.

Ya, langkah selanjutnya adalah mengumpulkan dan menuliskan bukti-bukti. Setelah teori mendasar didapatkan dan dituliskan, mari beralih pada kasus-kasus spesifik yang relevan dengan topik atau isu yang Anda bahas. Disinilah peran dari jurnal-jurnal dan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Perhatikan konteks penelitian-penelitian tersebut, lihat perbedaan hasil penelitian, lihat metode apa yang digunakan, dan lihat kembali faktor-faktor eksternal yang mungkin mempengaruhi perbedaan-perbedaan yang ada. Jangan lupa, kaitkan kembali bukti-bukti yang Anda dapatkan dari jurnal dan penelitian terdahulu dengan isu yang Anda bahas. Analisis, kemudian simpulkan. Hal yang perlu diperhatikan pada bagian ini adalah bagaimana mengelaborasi berbagai penelitian yang ada untuk dituliskan dengan baik dan mudah dibaca. Saya pribadi merasa bahwa dengan membaca banyak jurnal, kemampuan melakukan elaborasi pun terlatih. Saya jadi semakin mudah untuk menemukan hubungan antara hasil-hasil penelitian dan menggabungkan bukti-bukti yang ada menjadi tulisan yang mudah dimengerti.

Setelah bukti-bukti terkumpul dan selesai dibahas dalam tulisan, saatnya untuk membuat kesimpulan. Hal yang saya lakukan biasanya adalah refleksi kembali mengenai isu yang saya angkat. Saya lihat dan pertimbangkan teori dan bukti yang ada untuk membuat kesimpulan mengenai argumen saya. Tentunya, argumen saya harus bisa dijustifikasi oleh bukti yang ada. Kunci di langkah ini adalah logika berpikir. Sudah benarkah kesimpulan yang saya ambil? Masih adakah ruang-ruang yang bisa digunakan untuk membantah argumen saya? Kalau ada, lalu apa yang harus saya lakukan? Kesalahan yang seringkali terjadi pada bagian ini adalah memperpanjang pembahasan setelah mengambil kesimpulan. Ingat, kesimpulan Anda harus valid and sound. Oleh karena itu, kesimpulan harus menjadi klimaks dari esai Anda. Jangan kemudian ditambahkan lagi teori-teori atau bukti penelitian lain. Jelaskan argumen Anda dan bukti-buktinya dengan tegas, lalu beri kalimat penutup.

Pada dasarnya, langkah-langkah di atas sudah cukup dalam penulisan akademis. Namun, biasanya ada beberapa dosen yang menginginkan lebih. Setelah argumen saya valid, lalu apa? Apa gunanya argumen yang valid tanpa ada follow up? Hal yang biasa saya tambahkan di akhir esai adalah saran. Saya akan memberikan saran yang relevan dengan isu yang saya bahas dan tentunya relevan dengan argumen saya. Tidak perlu panjang, satu paragraf pun cukup karena kita tidak perlu membuka diskusi lagi, kan? Basi, esainya sudah selesai!

Selamat menulis.

Jan 27, 2016

Academic Writing 101: Part 2

The Difficult Part: Critical Thinking

Setelah ketiga aspek mendasar dari academic writing dapat membuat esai Anda lulus kriteria dasar, kategori berikutnya yang perlu diperhatikan dalam menulis esai di tingkat pascasarjana di Britania Raya, dan mungkin di negara-negara lain, adalah seberapa baik analisis Anda mengenai suatu masalah. Disini, hal tersebut lebih populer dengan nama critical thinking.

Critical in University work means being thoughtful, asking questions, not taking things you read (or hear) at face value. It means finding information and understanding different approaches and using them in your writing.

Getting Critical (Pocket Study Skills), pviiii, Kate Williams

(http://www.ed.ac.uk/institute-academic-development/postgraduate/taught/learning-resources/critical)

Sebagai seseorang yang sejak kecil hingga perguruan tinggi bersekolah di Indonesia seperti saya, critical thinking adalah hal yang paling menantang saat menempuh jenjang pascasarjana. Ya, saya tidak terbiasa. Saya rasa, pandangan bahwa guru paling benar dan ilmu pengetahuan sebaiknya ‘ditelan’ saja mentah-mentah masih banyak membayangi saya pada awal berkuliah di Inggris. Sepertinya, sistem pendidikan di Indonesia pun hingga sekarang masih juga menggunakan pendekatan yang sama sehingga siswa tidak didorong untuk mencari ilmu pengetahuan dari berbagai sumber dan untuk bertanya. Saya beruntung karena pada masa kuliah S1, saya mendapatkan kesempatan untuk berlatih berpikir kritis (walaupun pada saat itu ya saya tidak dong juga). Setidaknya, saya tidak terlalu kaget walaupun masih kesulitan untuk melakukannya.

Salah satu cara yang ditempuh oleh beberapa universitas di Britania Raya untuk melatih kemampuan berpikir kritis para mahasiswa, terutama mahasiswa internasional, adalah dengan menyarankan mahasiswa untuk membaca berbagai buku mengenai keterampilan berpikir kritis dan menyelenggarakan kelas yang biasa disebut sebagai study skills class. Kelas seperti ini tidak populer di kalangan mahasiswa lokal, mungkin mereka sudah muak dengan pembahasan mengenai hal ini. Namun, bagi mahasiswa internasional, kelas tersebut bagai surga. Bagaimana tidak, berbagai keterampilan dilatih, mulai dari menulis, berpikir kritis, menulis referensi, sampai cara menggunakansoftware-software canggih untuk penelitian. Saya sangat menyarankan Anda untuk mengikuti kelas-kelas seperti ini untuk meningkatkan keterampilan akademis apabila universitas memang menyediakan fasilitas tersebut.

Apa sih sebenarnya mahluk bernama critical thinking ini? Seperti kutipan di atas, berpikir kritis berarti mempertanyakan segala sesuatu dan memperdalam pemahaman tentang suatu topik dengan mempertimbangkan berbagai perspektif yang ada. Berpikir kritis bukan berarti menolak suatu pandangan atau argumen, berpikir kritis adalah mempertanyakan. Pada bagian ini, saya akan mencoba memberikan beberapa tips untuk melatih kemampuan berpikir kritis. Beberapa tips yang saya sebutkan sudah pernah saya coba sendiri.

1.      Question EYERYTHING

Bagi saya pribadi, poin ini adalah inti dari critical thinking. Lihat anak kecil yang selalu bertanya ‘Ini apa?’ dan ‘Kenapa bisa begitu?’. Mereka sedang berlatih berpikir kritis, loh. Jadi, coba untuk mempertanyakan segala sesuatu, bahkan sesuatu yang sudah kita tahu. Kalau sudah merasa tahu tentang suatu hal, coba lihat dari sudut pandang lain, coba bertanya lagi. Salah satu hal yang menjadi kebiasaan saya pada saat berkuliah pascasarjana adalah menulis pertanyaan di buku catatan. Jujur saja, saya malas mencatat pada saat kuliah S2 karena hampir semua dosen sudah memberikan materi mereka online dan buku rujukan pun tersedia. Jadi, buku catatan atau hand out materi kuliah saya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan mengapa begini mengapa begitu untuk melatih saya berpikir kritis. Seringkali saya juga mendapatkan inspirasi untuk esai-esai saya dari corat coret saya saat mendengarkan dosen. Mungkin cara ini bisa juga Anda coba. Tidak sulit, kan?

Lalu, apa yang harus ditanyakan? Banyak sekali hal yang bisa ditanyakan. Mulai dari kata tanya yang paling tinggi derajatnya ‘mengapa’ hingga yang paling dangkal ‘masa sih?’. Dalam hal akademis seperti teori, pandangan, pendekatan, dan hasil penelitian, saya menyarankan untuk bertanya ‘Apa sih yang mendasari orang ini berkata demikian? Apa buktinya? Mengapa dia bisa mengambil kesimpulan seperti itu?’. Tidak sebentar saya berusaha mencerna konsep mempertanyakan ‘apa yang mendasari sesuatu’ ini. Baru pada saat dosen S2 saya yang bule tulen itu ‘memaksa’ saya untuk membaca buku Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia, baru saya menyadari bahwa maksudnya adalah melihat aspek ekstrinsik dari suatu argumen sehingga dapat melihatnya secara utuh, sesuai dengan konteksnya. Bukan secara pragmatis dan mengambil yang kita suka saja.

2.      Free yourself from judgment

Berpikir kritis juga berkaitan dengan melihat segala sesuatu dengan skeptis. Oleh karena itu, kecenderungan untuk mempercayai sesuatu juga perlu diminimalisir. Tentu saja, semua orang memiliki hak untuk berpihak pada suatu teori atau percaya pada suatu hal. Tapi, demi mahluk bernama critical thinking ini, saya harus membebaskan diri dari judgment tertentu. Bahkan suatu teori atau pandangan yang saya suka dan saya yakini pun harus saya pertanyakan.

Saya rasa, perumpamaan Hipotesis Nul dan Hipotesis Alternatif dalam penelitian bisa menggambarkan poin ini dengan cukup baik. Dalam penelitian ilmiah dengan pendekatan kuantitatif positivis, peneliti diminta untuk membuat dua jenis hipotesis, yaitu Hipotesis Nul yang berisi pernyataan netral mengenai prediksi hasil penelitian dan Hipotesis Alternatif yang berisi pernyataan tidak netral mengenai prediksi penelitian. Lalu, peneliti mengambil data dan menganalisis data tersebut dalam konteks Hipotesis Nul. Jadi, yang diuji adalah pandangan netral, bukan pandangan dengan judgment tertentu. Pendekatan ini juga lah yang harus digunakan pada saat berpikir kritis. Saya sendiri selalu mencoba untuk berhati-hati saat membentuk argumen, bahkan opini saya pribadi, karena saya tahu bahwa selalu ada sudut pandang lain yang berbeda dengan sudut pandang saya dan selalu ada kemungkinan bahwa apa yang saya yakini tidak tepat (Hmmm… aneh juga paragraf ini dimulai dengan pendekatan positivis dan ditutup dengan pendekatan relativis). Ya, intinya seimbang lah dalam berpikir, lepaskan diri dan pikiran dari judgment.

3.      Reading before writing

Anda suka membaca? Suka atau tidak, berkuliah pascasarjana mewajibkan Anda untuk membaca. Betul? Kebiasaan membaca hanya ketika diminta dosen dan ketika akan ujian harus dibuang jauh-jauh.Kenapa? Coba jelaskan bagaimana Anda dapat membentuk argumen dan berpikir kritis tanpa dasar pengetahuan dan informasi yang luas. Bisa? Berpikir kritis membutuhkan usaha untuk mendalami suatu hal, melihat berbagai perspektif, dan mempertanyakan banyak hal (yang tidak sekedar dipertanyakan tapi dicari jawabannya). Oleh karena itu, membaca sangat diperlukan. Dalam hal ini, membaca tidak diartikan secara sempit, ya. Mungkin bahasa yang lebih tepat adalah information literate. Saat ini, banyak sekali sumber yang tidak membosankan untuk mendapatkan informasi. Selain buku dan jurnal, media non-mainstream seperti video, program TV, surat kabar, talkshow, buku fiksi, dan siaran radio bisa digunakan sebagai sumber informasi ilmiah maupun non ilmiah. Coba mampir kehttps://www.ted.com/talks untuk melihat video yang berkaitan dengan minat Anda atau cek surat kabar harian online. Bahkan, saat ini di http://www.channel4.com/programmes/the-secret-life-of-4-5-and-6-year-olds ada sebuah penelitian mengenai perkembangan anak yang disiarkan online.Menarik dan tidak membosankan.

Nah, membaca pun tidak sekedar membaca dan menelan informasi. Lagi-lagi, kedua poin di atas harus kembali diperhatikan: mempertanyakan segala sesuatu dan tanpa judgment. Selain itu, perhatikan juga konteks tulisan karena tentunya perbedaan konteks bisa menyebabkan perbedaan hasil dan pandangan. Corat coret kembali bahan-bahan yang Anda baca. Pertanyakan lagi, cari lagi jawabannya.

Lalu, kapan berhenti membaca dan mulai menulis? Apa ada jumlah tertentu yang menjadi patokan? Berkaca dari pengalaman pribadi saya, biasanya saya akan mulai membaca dari teori-teori yang mendasar mengenai topik esai saya. Setelah itu, saya beralih ke bacaan yang lebih dalam mengenai topik tersebut untuk melihat dimana posisi argumen saya. Setelah merasa cukup memiliki dasar pengetahuan, saya akan mulai merancang framework penulisan saya. Saya akan mulai membuat poin-poin untuk struktur esai saya (lihat bagian sebelumnya dari tulisan ini). Sambil mulai menulis sedikit-sedikit, saya meneruskan membaca. Saya akan berhenti ketika informasi yang saya dapatkan sudah ‘jenuh’. Maksudnya, ketika saya sudah tidak bisa lagi menemukan informasi baru. Saat itulah saya akan berkonsentrasi menulis, menyudahi proses membaca saya.

Pengalaman saya sendiri, membaca merupakan hal yang sangat penting dalam mendukung proses penulisan esai-esai akademis saya. Saya membuka diri terhadap berbagai informasi dari berbagai sumber. Membaca berita menjadi kegiatan saya setiap hari. Selain itu, saya juga membaca buku rujukan dan jurnal-jurnal. Saat bosan, saya beralih ke TED talks. Sebagai contoh, untuk membuat satu esai dengan panjang 4000-6000 kata, saya biasanya membaca 100-150 rujukan. Hasilnya? Hard work pays off. Alhamdulillah, nilai saya cukup baik untuk ukuran mahasiswa internasional.

4.      Start with verb on your title

Tips keempat ini cukup ampuh digunakan ketika akan menulis esai. Saya mendapatkan tips ini dari kelas study skills saya di University of Hull. Contoh kata-kata yang diasosiasikan dengan critical thinkingadalah evaluating, critiquing, arguing, dan analyzing. Masih ada berbagai kata lain, tentunya. Lalu, mengapa harus memulai judul esai dengan kata-kata tersebut? Bagi saya sendiri, kata-kata tersebut berfungsi sebagai pengingat bahwa saya harus selalu menerapkan keterampilan berpikir kritis saya sepanjang pengerjaan esai. Dengan kata-kata pengingat tersebut, saya terus-menerus berusaha untuk melakukan pendekatan kritis terhadap topik yang saya diskusikan. Pretty straight forward, pretty easy.Sayangnya, tidak semua dosen memperbolehkan mahasiswa untuk menentukan judul esai secara individual. Tapi intinya adalah bagaimana pendekatan Anda akan sebuah topik lah yang menentukan apakah Anda telah berpikir secara kritis. Tanpa kata-kata tersebut di judul esai Anda, selama Anda memang bertujuan untuk menggunakan critical thinking dalam menulis esai, it should be just fine.

Tentunya masih banyak lagi tips mengenai cara mengasah kemampuan berpikir kritis. Silahkan cekwebsite universitas masing-masing karena biasanya ada panduan mengenai crtical thinking. Saya merasa critical thinking adalah backbone dari esai-esai saya. Tanpa critical thinking, esai saya cenderung deskriptif dan mungkin sudah dianggap seperti kacang goreng bagi para dosen.

Well, setelah penjelasan yang cukup abstrak di atas, saya akan memberikan salah satu contoh tulisan yang menggunakan critical thinking. Tulisan ini,http://izzadinillah.tumblr.com/post/51553369997/humanising-human, saya buat sebagai salah satu tugas portfolio di sebuah mata kuliah mengenai isu kontemporer dalam konteks pendidikan. Pada kuliah tersebut memang semua mahasiswa dituntut untuk membuat tulisan dengan menggunakancritical thinking setiap minggu. Mudah-mudahan dapat cukup menggambarkan bagaimana bentuk sebuah tulisan dengan critical analysis ya.

Fiuh, bagian tersulit sudah selesai,

now let’s get practical!

~ stay tuned

Jan 22, 2016

Academic Writing 101: Part 1

Beberapa kali saya mendapat pertanyaan bagaimana cara agar mendapatkan nilai distinction di esai yang dikumpulkan untuk tugas akhir suatu mata kuliah di perkuliahan pascasarjana di Inggris. Jelas, saya bukan ahlinya dalam hal ini. Banyak orang yang memiliki kredibilitas lebih untuk berbicara mengenai hal ini, bukan saya yang mendapatkan nilai distinction saja bisa dihitung dengan jari. Namun, saya ingin berbagi (disamping cape juga ya, menjawab pertanyaan yang sama berkali-kali) mengenai bagaimana menulis sebuah esai dengan standar academic writing yang baik. Untuk membuat tulisan ini, saya merujuk pada pengalaman saya, sebuah materi kuliah yang diberikan oleh Dr. Natalia Vershinina dari Birmingham Business School, kuliah online mengenai academic writing skills, dan berbagai websiteuniversitas terkemuka di Britania Raya (tautan dari website tersebut akan saya lampirkan kemudian). Berbagai sumber tersebut akan saya elaborasi untuk memberikan sedikit penjelasan mengenaiacademic writing. Tentunya, kalau Anda ingin penjelasan yang lebih terpercaya dan reliabel, silahkan datang ke academic support service yang pasti ada di setiap universitas. Mereka akan memberikan penjelasan dan arahan yang sangat membantu untuk meningkatkan keterampilan menulis akademis.

Pertama-tama, apa sih bedanya academic writing dan menulis biasa? Tentunya perbedaan paling mendasar adalah dalam hal tujuan penulisan. Namanya saja academic writing, tentu saja tujuan dari tulisan tersebut adalah untuk membahas suatu isu dari sudut pandang akademis. Lalu, ada banyak hal yang menjadi konsekuensi dari academic writing, seperti bahasa yang harus formal, logika berpikir yang harus jelas, dan tulisan yang menggunakan referensi yang baik. Etika penulisan dan etika ilmiah lain juga perlu diperhatikan, tentunya sesuai dengan bidang ilmu masing-masing.

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam academic writing. Saya akan membagi hal-hal tersebut ke dalam enam kategori. Ini adalah kategori saya pribadi, hasil dari elaborasi saya terhadap berbagai sumber yang telah disebutkan. Kategori-kategori tersebut adalah dasar academic writing, critical thinking, menulis argument dalam academic writing, fokus penulisan, konsultasi pada ahli, dan latihan menulis.

Dasar Academic Writing

Apabila Anda pernah mengikuti kelas persiapan IELTS, tentunya Anda pasti pernah mendengar mengenai dasar academic writing. Terdapat tiga bagian dari academic writing, yaitu content, organization, dan language – isi, struktur, dan bahasa. Untuk membuat sebuah tulisan yang baik, secara umum, ketiga hal tersebut harus dipenuhi. Bagi saya, ketiga hal tersebut tidak hanya harus ada di dalamacademic writing, tetapi dalam semua bentuk tulisan.

1.      Isi

Isi dari tulisan adalah nyawa. Menurut saya, ini adalah hal yang menentukan keberhasilan tulisan. Isi dari sebuah esai akademis harus bisa menjawab pertanyaan atau permasalahan yang menjadi fokus dari tulisan tersebut. Tentunya, pertanyaan atau permasalahan tersebut tertuang di judul esai yang ditulis. Isi sebuah tulisan akademis biasanya terdiri dari teori, ide, bukti, dan contoh-contoh yang relevan dengan topik yang diangkat. Tulisan dengan isi yang tidak relevan tidak akan mendapatkan nilai yang baik, meskipun memiliki struktur yang baik dan ditulis dengan bahasa yang sempurna.

2.      Struktur

Struktur esai mencerminkan logika berpikir si penulis. Walaupun isi dari esai tersebut sangat baik, apabila tidak didukung dengan struktur yang jelas dan tepat, tentu orang yang membaca akan sulit mengerti tulisan tersebut. Secara umum, struktur dari sebuah esai akademis terdiri dari pendahuluan, isi, dan kesimpulan. Seluruh bagian tulisan harus terkait satu sama lain sehingga pembaca dapat mengerti alur berpikir si penulis. Berkesinambungan, bahasa sederhananya.

Bagian pendahuluan sebaiknya berisi mengenai pengenalan topik yang dibahas di esai dan alur penulisan esai tersebut. Bagi saya, pendahuluan harus dibuat dengan menarik dan harus menggunakan bahasa yang sederhana sehingga pembaca tidak mundur teratur. Siapa yang suka dihadapkan dengan tulisan yang dari awal saja sudah membuat pusing kepala?

Kemudian, bagian isi merupakan diskusi penulis mengenai topik yang diangkat. Bagian ini harus pelan-pelan mengarahkan pembaca kepada jawaban dari masalah atau argument penulis terhadap isu tertentu. Biasanya, bagian ini adalah bagian yang paling susah, sekaligus paling mudah. Mengapa? Susah karena menyusun diskusi dari berbagai teori dan hasil penelitian hingga menjadi suatu bagian yang mengalir dengan baik dan mudah dimengerti bukanlah hal yang sederhana. Mudah, karena di bagian ini, penulis tidak perlu sering-sering memutar otak untuk menyampaikan argumen pribadi. Kunci di bagian ini adalah kemampuan elaborasi dan kemampuan untuk melakukan paraphrase.

Akhir dari sebuah esai akademis adalah kesimpulan. Setelah pusing-pusing merangkai bagian diskusi, kesimpulan ini biasanya tidak lebih dari satu atau dua kalimat. Cape-cape menulis 2000 kata hanya sekalimat lah jadinya. Kesimpulan adalah jawaban dari pertanyaan yang dibahas di dalam esai tersebut. Kesimpulan juga bisa merupakan argumen si penulis mengenai suatu topik. Tentunya, kesimpulan didapatkan dengan mempertimbangkan berbagai hal yang sebelumnya didiskusikan di bagian isi esai. Pengalaman saya, seringkali orang-orang susah untuk move on dari pembahasan sehingga di kesimpulan pun, masih ada sedikit-sedikit pembahasan colongan. Hal ini sebaiknya dihindari karena kesimpulan harusnya menutup esai, bukannya membuka diskusi kembali. Selain kesimpulan, pada bagian akhir esai, Anda juga bisa menambahkan sedikit saran terhadap topik yang dibahas.

Saya selalu melihat struktur sebuah esai seperti cermin (well, at least di bayangan saya ini seperti cerita cermin cekung-cembung pada saat SMP). Bagian pendahuluan menceritakan suatu topik secara fokus, lalu melebar untuk eksplorasi berbagai teori dan hasil penelitian mengenai topik tersebut. Lalu, menuju akhir dari esai, fokus kembali menyempit untuk menarik kesimpulan dari diskusi. Akhirnya adalah suatu titik, titik fokus dari cermin (atau lensa atau apalah itu, saya tidak jago fisika). Mudah-mudahan penjelasan ini bisa Anda mengerti, despite perumpamaan saya yang abstrak.

3.      Bahasa

Aspek ini adalah yang biasanya paling ditakuti oleh international students. Iya lah, secara bahasa Inggris bukan bahasa utama yang digunakan sehari-hari. Mungkin, esai-esai saat pascasarjana ini adalah percobaan pertama menulis dalam bahasa Inggris formal. Masalahnya, concern yang paling besar ini, justru kontributor paling kecil dalam nilai. Ya, tentunya bahasa yang tidak bisa dimengerti akan membuat esai Anda gagal karena si penilai tidak mampu mencerna apa yang Anda sampaikan. Tapi, ketika bahasa Anda cukup bisa dimengerti, salah-salah sedikit di bagian grammar masih bisa ditoleransi (wah, ini tapi bahaya ya, terhadap kelangsungan bisnis proofreading saya). Aspek bahasa tidak hanya mencakup grammar, tapi juga kosa kata yang Anda gunakan. Keluasan dan ketepatan kosa kata yang digunakan akan menjadi nilai lebih. Kebanyakan proofreader berperan penting di aspek ini, meskipun ada juga lembaga proofreader professional yang menyediakan layanan yang lebih komprehensif untuk memberikan masukan mengenai aspek-aspek lain dari esai akademis Anda – dengan biaya yang lebih, tentunya.

Tulisan yang memperhatikan ketiga aspek diatas adalah tulisan yang baik. Saya jamin, Anda tidak akan tidak lulus. Tapi, kita tidak hanya mencari lulus, kan? Kita mencari distinction! (Iya, bermimpi setinggi langit itu wajib supaya kalau gagal, jatuhnya di merit, ya kan?). Nah, kategori-kategori selanjutnya lah yang menentukan seberapa baik nilai kelulusan Anda.

~ stay tuned

Jan 22, 2016

Cara Cepat Belajar Bahasa Inggris

Seringkali saya mendapatkan pertanyaan mengenai cara cepat untuk bisa berbahasa Inggris dengan lancar. Sebenarnya, tulisan ini terinspirasi dari sebuah pertanyaan yang baru-baru ini saya dapatkan: Bagaimana cara menghafal dan mendapatkan banyak kosa kata dengan cepat?

Jujur, saya bingung. Maklum saja, saya merasa tidak sadar belajar bahasa Inggris. Saya merasa, bisa saja dengan sendirinya. Ditanya pertanyaan seperti itu membuat saya berpikir. Baca kamus? Ya, saya pernah melakukannya. Mungking saking tidak ada kerjaan, waktu SMP saya pernah membaca kamus setiap hari. Bodoh sih sebenarnya karena membaca kata dan arti tanpa menempatkannya pada suatu konteks justru menimbulkan kebingungan. Lalu jawaban saya berikutnya adalah membiasakan diri dengan berbagai materi berbahasa Inggris, seperti buku, koran, program di TV, dan radio. Berbagai media tersebut memang bisa digunakan untuk membantu belajar bahasa Inggris. Lagi-lagi, hingga sekarang saya melakukannya. Bahkan ekstrimnya, dulu saya benar-benar tidak mau menonton film berbahasa Inggris dengan terjemahan. Selalu saya matikan sehingga saya ‘dipaksa’ untuk mengerti apa yang dibicarakan orang-orang di film itu. Tidak puas dengan jawaban tersebut, ada lagi cara lain yaitu dengan menghafalkan kosa kata secara tematik. Ini yang paling mudah karena struktur pengetahuan kita, kalau menurut Piaget, seperti peta yang menghubungkan suatu konsep dengan konsep lain. Saya langsung teringat kamus bahasa Inggris pertama saya yang memang bentuknya tematik. Saya teringat juga guru bahasa Jerman saya pernah memaksa seluruh muridnya untuk me-label barang-barang di sekitar kami dengan kosa kata bahasa Jerman sehingga kami selalu ingat – ini berlaku ketika belajar tentang barang-barang sehari-hari, ya.

Dari seluruh tips di atas, sepertinya satu benang merah bisa ditarik. Belajar bahasa membutuhkan latihan karena bahasa bukan hanya pengetahuan, tetapi juga keterampilan. Keterampilan bahasa, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti “ kecakapan seseorang untuk memakai bahasa dalam menulis, membaca, menyimak, atau berbicara”. Kata kerja di dalam definisi tersebut adalah ‘memakai’. Jadi, bagaimana cara belajar bahasa Inggris? Ya dipakai! As simple as that! Masalahnya…. banyak masalahnya. Tidak tahu mau menggunakan dimana, malu belum lancar, tidak tahu kosa kata yang tepat, dan lain-lain. Sayangnya, alasan tersebut tidak akan berlaku kalau dipaksa, kan? Mau tidak mau, suka tidak suka.

Bicara mengenai paksa memaksa, saya ingin berbagi pengalaman saya yang dipaksa belajar bahasa Inggris. Tidak dari SMP, tidak dari SMA, saya dipaksa berbahasa Inggris sejak sebelum masuk TK. Mungkin ada yang lalu berkomentar, kejam ya orang tua saya? Dulu, saat malas-malasnya belajar bahasa Inggris, tentu saya menganggap orang tua saya kejam. Sekarang? Saya merasakan sekali besar manfaat dari keterpaksaan saya berbahasa Inggris itu. Sekarang, kalau mendapat pertanyaan “Jadi, Za, berapa lama kamu belajar bahasa Inggris?”, jawaban saya adalah “My whole lifetime”.

Sejarah belajar bahasa Inggris saya dimulai ketika orang tua saya menggabungkan saya dengan sebuah kelompok kecil anak-anak seusia saya, sekitar 3-4 tahun, yang bersama-sama bermain sambil belajar. Saat itu, guru bahasa Inggris saya ‘bule’ tulen yang berasal dari Australia. Kami akan datang di sore hari setiap seminggu sekali ke rumahnya. Saya ingat, Beth namanya. Disana, kami melakukan banyak kegiatan, seperti mewarnai, menggambar, dan mainan-mainan anak kecil lainnya. Lalu bahasa Inggris-nya dimana? Anak sekecil kami, yang bahasa Indonesia pun masih minim sekali, lalu harus mengerti dan berkomunikasi dengan Beth yang bahasa Inggrisnya pun Australian sekali. Tentu saja saat itu saya…. tidak mengerti sama sekali! Walaupun tidak mengerti dan sulit berkomunikasi, saya ingat bahwa saya suka sekali datang ke rumah Beth. Berhasil kah saya berbahasa Inggris? Oh, tentu tidak! Sedih ya? Hehe.. Tapi, waktu itu manalah saya mengerti tentang malu kalau tidak bisa karena anak kecil memang banyak tidak bisanya. Saya ambil saya positif-nya, senang-senangnya. Orang tua saya pun tidak pernah memaksa saya untuk menggunakan bahasa Inggris (pada saat itu).

Masuk SD, saya pun beralih ke lembaga kursus bahasa Inggris yang lebih ‘proper’ dengan guru-gurunative speaker, atau ‘bule’ asli. Dengan kemampuan yang sedikit lebih karena sudah terbiasa mendengar kata-kata berbahasa Inggris, masuklah saya ke level 2 untuk anak-anak. Hingga awal kelas 6 SD, saya tidak pernah berhenti kursus bahasa Inggris. Saya berhenti ketika kelasnya sudah habis alias mentok. Saya sudah masuk di kelas anak-anak, hingga remaja, hingga kelas dewasa – ya, di usia saya yang masih SD saat itu. Pintar dong, saya? Hahaha lagi-lagi jawabannya tentu tidak. Beberapa kali ujian bahasa Inggris saya mendapat nilai ‘Poor’. Tidak mengerti struktur bahasa atau yang biasa dikenal sebagai ‘grammar’, itulah masalah saya. Membaca,  mendengar, dan berbicara, semua saya bisa. Mengisi pilihan ‘grammar’? 0 lah nilai saya. Memalukan juga kalau diingat-ingat.

Tidak hanya di tempat kursus, saya pun harus berbahasa Inggris di rumah. Ya, setidaknya pada saat makan malam. Saya ingat, orang tua saya memberlakukan aturan bahwa kami semua hanya boleh berbahasa Inggris saat makan malam. Mau tidak mau, ini harus kami lakukan. Dengan bahasa Inggris yang minim, tidak apa-apa! Yang penting mencoba. Pembiasaan ini, saya rasakan sekali manfaatnya saat ini. Jangan pernah menyepelekan kondisi apapun karena kita bisa berlatih bahasa Inggris dimanapun dan dengan cara apapun. Selain itu, saya juga mulai membaca buku berbahasa Inggris pada saat SD. Buku berbahasa Inggris pertama yang saya baca adalah Harry Potter. Ngerti, Za? Not at first. Saya berhenti di bab pertama dan beralih ke buku bahasa Indonesianya. Setelah itu, saya coba baca lagi buku yang berbahasa Inggris sampai selesai.

Selain orang tua saya, saya ingat dulu sekali waktu saya belum masuk sekolah, saya sering diajak oleh nenek saya pada saat ia kursus bahasa Inggris bersama ibu-ibu Dharmawanita. Saya sih tidak ingat apa yang dibicarakan dan dipelajari saat itu karena saya masih terlalu kecil. Tapi saya ingat, ketika saya mulai mengerti bahasa Inggris, nenek saya sering menggunakan bahasa tersebut untuk berbicara dengan saya mengenai hal-hal yang ‘rahasia’. Maksudnya, hal-hal yang tidak boleh diketahui adik-adik sepupu saya. Dulu saya sering menginap di rumah nenek saya bersama dengan adik dan adik-adik sepupu saya. Saat ingin berbicara mengenai hal yang ‘rahasia’, nenek saya menggunakan bahasa Inggris. Senang rasanya saat itu karena dianggap dewasa oleh nenek saya. Haha.

Intinya, selama bersekolah hingga SMA, saya tidak pernah diperbolehkan berhenti kursus bahasa Inggris. Orang tua saya tidak terlalu peduli dengan hasil ujian bahasa Inggris saya atau berapa kali saya absen kelas bahasa Inggris. Mereka hanya ingin saya kursus agar terus-menerus melatih kemampuan saya berbahasa Inggris. Lucunya, saat SMP saya baru menyadari bahwa nilai bahasa Inggris saya di sekolah cukup bagus, tetapi saya tidak pernah bisa menjelaskan mengapa saya memilih jawaban tertentu untuk pertanyaan tertentu. Saya tidak tahu alasan saya memilih jawaban yang benar. Saya selalu bilang, “Pakai perasaan saja”. Tentunya, semakin lama saya tidak bisa selalu mengandalkan perasaan karena banyak bahasa Inggris yang saya gunakan merupakan bahasa tidak formal. Di SMA, saya ingat sekali saat satu kelas saya diharuskan menulis 12 jenis tenses dalam bahasa Inggris beserta dengan contohnya. Saat itu lah saya baru mengerti mengenai logika struktur dalam bahasa Inggris. Bahasa Inggris menjadi semakin mudah dimengerti, sekarang tidak hanya dalam hal membaca, mendengarkan, dan berbicara, tetapi juga dalam hal struktur bahasa.

Di perkuliahan, sebagian besar buku yang digunakan berbahasa Inggris. Hal ini membantu saya untuk selalu berlatih menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, saya juga mulai menerapkan kemampuan bahasa Inggris saya dalam mengajar. Saya mengajar bahasa Inggris untuk siswa SD, SMP, SMA, kuliah. Niat saya hanya satu, membantu. Tidak berarti saya lebih pintar dari orang-orang yang saya ajar, saya mungkin lebih banyak berlatih. Hingga saat ini, saya masih menggunakan bahasa Inggris dalam kehidupan saya sehari-hari. Bahkan, kalau diingat-ingat lagi, saya mendapatkan semua pekerjaan saya karena keterampilan saya berbahasa Inggris. Lucu, ya? Tidak pernah kuliah jurusan sastra Inggris atauTeaching English as Foreign  Language tapi kok jadi guru bahasa Inggris?

Lalu, bagaimana cara cepat berbahasa Inggris? Tidak ada. Keterampilan bahasa membutuhkan latihan. Menjadi lancar menguasai bahasa tertentu membutuhkan waktu, banyak untuk beberapa orang dan sedikit untuk orang-orang lain. Saya tidak belajar bahasa secara instan. Saya belajar dengan perjuangan. Selamat berlatih berbahasa Inggris!

*Tulisan ini dibuat hanya untuk berbagi pengalaman dan tidak menunjukkan bahwa bahasa Inggris lebih penting dari bahasa lain, ya. Saya masih berbahasa Indonesia dan masih belajar bahasa-bahasa lainnya juga. 🙂

Jan 12, 2016

Being a Student Ambassador

After long hours of work and traffic, I want to do things that I like, such as writing! I remembered that Mbak Wuri asked me to write about working as a student ambassador so that others (Indonesian in Hull) can just read my blog to know more about it.  Well, here we go.

I worked as a student ambassador for only 6 months. I knew that there are student ambassadors but before I applied, I didn’t know how you can apply as one. Around May, I received an email saying that SCLS department in University of Hull needs student ambassadors. I applied. A few weeks later I got a series of training to be a student ambassador. Basically, we were taught about the event that we are going to have as well as an explanation about campus tour. We did the campus tour, actually. It was the first time I joined campus tour and it was quite fun.

After the training, I was involved in ACE Days event which is basically an event for secondary pupils. It was aimed to give some kind of information about higher education to them. The event is a little bit like training or something like that. There are some activities and it is fun (at least for me). I worked in around 5 ACE Days in the duration of 2 months. It wasn’t bad, really.

Besides ACE Days, as a student ambassador, you can also work in various university events, such as HE Day and Open Day. There are two types of events, the paid ones and the unpaid ones. Therefore, be aware when you read the announcement. I don’t mind doing voluntary work but it is also great to get extra money as well. The payment is quite good, especially seeing that the work is very flexible and not too difficult.

I think I gain a lot more than money as the result of being a student ambassador. I got to know people, understand the costumer service approach, able to do the campus tour, and I got to know about University of Hull and UK higher education system in general better. No regrets, really. I really enjoyed being a student ambassador and I wish I knew it sooner so that I worked longer.

If you are interested in being a student ambassador, you can just apply. Just send them email, saying that you want to work as a student ambassador and when they need you, they’ll contact you. The nearest event for now is Open Day and maybe if you apply now, you can work then. This article is solely based on my own experience and it may be subjective. But you can always try if you are interested. You’re not going to UK to study only, so get the whole experience! Cheers!

Oct 4, 2013