When there is a will; there is a way, but….

…. Kalau nggak usaha sih sama aja. Akhir-akhir ini lagi sering ngobrol dengan suami tentang bermacam-macam hal. Lalu, suami cerita bahwa diantara teman-temannya sedang heboh tentang kesungguhan niat dan hasil yang dicapai – dalam konteks kuliah S2. Alhamdulillah saya dan suami diberi kesempatan untuk bisa ke Inggris dalam rangka berkuliah. Mungkin kalau terlihat oleh orang lain, wah kehidupan saya dan suami kok rasanya enak sekali. Menikah di usia muda, lalu bisa tinggal di luar negeri. Tapi, seperti rumput tetangga yang selalu terlihat lebih hijau, kita nggak pernah tahu perjuangan apa yang dilakukan oleh si tetangga supaya rumputnya bisa hijau, kan? Bisa jadi dia pakai pupuk yang harganya mahal, atau harus rela menyisihkan waktu lebih lama untuk merawat rumputnya. Yup, instead of judging, why don’t we try to understand?

Kali ini, saya mau sharing sedikit saja tentang kehidupan dan usaha yang saya dan suami lakukan hingga sampai di sini. Pencapaian kami masih super cetek kalau dibandingkan dengan orang lain. Namun, saya ingin berbagi untuk teman-teman yang sedang galau dalam memasuki tahapan kehidupan selanjutnya (sok tuaaa bgt guee…). Jadinya, tulisan ini akan ‘sedikit’ curhat tentang diri saya sendiri, hihi. Nggak apa-apa lah yaa sekali-sekali.

Sepertinya untuk memulai cerita ini, saya harus throwback agak jauh ke belakang, ke saat saya belum menikah dengan suami. Saya pertama kali bertemu lagi dengan suami (ya, kami teman SD dan SMP) setelah bertahun-tahun tidak bertemu di bulan Oktober 2013. Saat itu, saya baru saja pulang dari UK setelah menempuh pendidikan S2. Setelah pertemuan itu, kami semakin dekat. Namun, wacana untuk menikah masih ada di angan-angan karena pada saat itu saya baru saja menandatangani kontrak untuk bekerja di Jakarta selama 2 tahun dan (calon) suami saya saat itu bertugas di Batam. Angan-angan hanyalah angan-angan karena keluarga kami sudah saling tahu dan ingin kami segera menikah. Nah loh? Akhirnya, pada bulan Juli 2014 kami memutuskan untuk menikah. Dalam waktu 2 minggu saja, gedung sudah di booking dan persiapan pernikahan langsung dimulai. Proses lamaran dilakukan di awal Agustus dan kami menikah di bulan November. Ngebut? Bagi kami ini adalah proses yang cukup ngebut, walaupun ada banyak sekali orang yang juga mempersiapkan pernikahan dalam waktu sangat singkat. Apa yang terjadi selama persiapan? Lumayan grabak grubuk juga sih. Kondisi saya yang bekerja full time, (calon) suami yang tinggal di luar kota, semua membuat kami sangat-sangat terbantu oleh orang tua. Long weekend jadi media agar kami bisa test food, melihat gedung, memilih fotografer, dan membuat undangan. Pusing? Pusing… Tapi kami bersyukur bahwa semua proses yang dijalani lancar.

Pada saat memutuskan untuk menikah, kami tahu betul konsekuensi dari keputusan kami. Kondisi pekerjaan mengharuskan saya dan suami menjalani LDM – long distance marriage. Ada yang pernah putus karena LDR? Menjalani LDM pun berbeda dengan menjalani pernikahan bersama di satu tempat. Kami harus berusaha meluangkan waktu untuk berkomunikasi dan mau tidak mau juga harus terus memperbaiki komunikasi kami. Mengapa? Karena hanya itu andalan kami. Hidup berjauhan, saya dan suami tidak bisa benar-benar tahu kondisi masing-masing. Hanya dengan komunikasi lah kami bisa terus memperkuat hubungan kami. Usahanya lebih besar? Tidak bisa dibilang seperti itu juga, sih. Tapi, usahanya terlihat lebih jelas. Yang jelas, saya dan suami sih kalau bisa memilih, tidak mau lagi kalau disuruh untuk LDM. Untuk bersamamu, gunung dan lautan pun akan kusebrangi (cieilaaaahh..).

Nah, untuk keluar dari situasi LDM, kami punya beberapa pilihan. Yang jelas, pilihan untuk saya pindah ke Batam, tempat dinas suami, sudah dicoret karena suami ingin pindah ke pulau Jawa, mendekat ke keluarga besar dan teman-teman. Mau tidak mau, suami lah yang harus berusaha pindah. Alternatifnya ada dua: pindah kerja atau sekolah. Akhirnya, suami pun paralel melamar kerja sambil juga daftar kuliah. Saya ingat sekali di bulan Januari 2015 kami sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan pendaftaran kuliah. Saat itu, suami fokus untuk mendaftar di universitas-universitas di UK. Selain kesibukan mendaftar kuliah, suami juga mulai mendaftar beasiswa. Kami sadar betul bahwa kami tidak punya uang (dan tidak punya sponsor) untuk bisa berkuliah dan hidup di UK tanpa bantuan beasiswa. Oleh karena itu, kami tahu bahwa apabila suami mendapatkan offer dari universitas tapi tidak mendapatkan beasiswa, maka suami harus menunda kuliah hingga ada yang mau membiayai. Usahanya apa untuk mendaftar kuliah dan beasiswa? Suami saya harus membuat esai dan tes bahasa Inggris. Saat itu tes bahasa Inggris dilakukan tanpa persiapan yang berarti. Saya hanya mengirimkan buku bekas latihan saya dari Jakarta agar suami bisa belajar di Batam. Kami juga saling email-email-an esai dan feedback esai hingga dirasa ‘pas’ untuk di-submit sebagai syarat pendaftaran kuliah dan beasiswa. Dari periode Januari hingga April 2015, suami mendaftar di hampir 10 universitas berbeda dan akhirnya, alhamdulillah, mendapatkan offer dari universitas yang diincar (walaupun belum rezeki untuk dapat offer dari University of Manchester). Suami pun memilih universitas idamannya dan segera men-submit aplikasi beasiswanya.

Rasanya di tahun 2015, waktu berjalan begitu cepat. Tiba-tiba saja di bulan Juni, suami saya mendapatkan kabar bahwa ia mendapatkan beasiswa. Kami langsung berpikir cepat tentang apa yang harus dilakukan. Pada saat itu, masih ada kabar bahwa ada kemungkinan suami baru bisa berangkat di tahun akademik berikutnya. Lagi-lagi kami harus bersiap dengan alternatif lain. Pilihan pertama adalah berangkat di bulan September tahun yang sama. Saya jelas harus ikut (disamping ingin jalan-jalan juga, alasan utama kami adalah tidak mau LDM). Namun, saya masih terikat kontrak kerja yang sisa 1 tahun lagi – dan harus membayar penalti apabila melanggar kontrak tersebut. Kami mulai berpikir: dari mana uang sebanyak itu? Selain itu, persiapan untuk berangkat di bulan September juga berkaitan dengan urusan visa dan kepindahan ke kota Birmingham. Kami pun jadi rajin membaca aturan visa (bahkan sampai kami print si buku petunjuk visa dari UKVI dan kami baca sampai khatam – berkali-kali khatam). Kami sadar betul bahwa urusan visa ini memiliki resiko yang besar apabila sampai ditolak. Jadi, kami harus mempersiapkan diri. Pada saat itu kami mulai menghitung uang yang ada di tabungan serta aset lain yang kami miliki. Opsi kedua adalah menunda keberangkatan hingga September 2016. Less risk, lebih sedikit biayanya (dan bisa menabung dulu selama 1 tahun), tetapi berarti kami harus bersabar karena masih satu tahun lagi harus LDM.

Suami kemudian mendapatkan kabar bahwa ia bisa berangkat (kemungkinan besar) di tahun 2015. Kami langsung menjalankan rencana kami. Pertama, kami harus meminjam uang untuk deposit persyaratan visa saya (karena finansial suami ditanggung oleh pemberi beasiswa). Sebagai bocoran, saat itu kami meminjam uang sejumlah hampir 150 juta untuk jaga-jaga konversi kurs rupiah ke poundsterling. Uang pinjaman itu kami endapkan dari akhir Juni untuk aplikasi visa di pertengahan Agustus. Ya, kami sudah ancang-ancang akan membuat appointment visa di pertengahan Agustus setelah menghitung-hitung jadwal serta persiapan kami (note: kami baru resign per 1 September, jadi suami pun harus nglaju Batam-Jakarta selama persiapan). Kedua, saya harus PDKT dengan kepala sekolah serta HR di sekolah tempat saya bekerja agar bisa cuti tak berbayar atau resign tanpa harus membayar penalti. Ihiks, seram juga kalau harus bayar. Ketiga, kami harus mempersiapkan segala dokumen untuk aplikasi visa, termasuk juga uang untuk membayar IHS (asuransi) serta visa. Anak piyik seperti kami hanya punya 1 kartu kredit yang limitnya pun terbatas. Jadilah kami harus lagi meminjam kartu kredit orang lain untuk membayar ini itu. Keempat, kami harus mulai hunting akomodasi di UK. Kami rajin membuka website pencarian akomodasi dan rajin juga email agen rumah dan landlord. Kami pun bersiap uang (lagi) untuk membayar deposit dan booking fee. Rasanya gaji di bulan-bulan itu ‘terbang’ hilang sekejap, belum lagi ditambah ongkos pesawat suami bolak-balik Batam-Jakarta.

Selesai urusan beasiswa dan visa, kami pun giat bekerja untuk menambal si tabungan yang bolong karena harus bayar ini itu. Kami juga memutuskan untuk bekerja hingga sesaat sebelum berangkat. Oh ya, kami berangkat di pertengahan September. Jadi, kami masih bekerja hingga akhir Agustus. Suami harus pindahan dari Batam ke Jakarta juga. Untungnya, barang yang dibawa tidak terlalu banyak sehingga biaya pindahan pun tidak terlalu besar. Segera setelah visa keluar, kami pun berburu tiket. Suami yang mendapatkan tiket dari pihak pemberi beasiswa segera mengabarkan informasi flight dan saya harus berburu tiket dengan jadwal yang sama ke berbagai travel agent. Cara ini saya lakukan agar dapat tiket dengan harga se-ekonomis mungkin. Hahaha… bukannya pelit, tapi beli tiket ini harus pakai acara jual-jual perhiasan (yang cuma segitu-gitunya) segala. Mahal cuy, apalagi belinya sudah mepet dengan tanggal keberangkatan.

Setelah heboh-heboh di Indonesia, sampailah kami di Birmingham. Selesai heboh-nya? Belum. Rasanya, masalah finansial ini masih terus heboh hingga sekitar bulan November. Kenapa begitu? Karena di masa awal adaptasi kok ya rasanya mengatur uang belum paham betul. Masih terkaget-kaget dengan pengeluaran dan akhirnya harus terus evaluasi hingga rekening bank kami stabil. Yang jelas, di awal datang, pengeluaran kami cukup banyak karena harus mengisi rumah. Tidak full mengisi sih, karena alat-alat basic sudah ada. Hanya saja, kami harus beli alat masak dan beberapa kebutuhan rumah tangga agar studio yang kami sewa bisa lebih homey. Di bulan berikutnya, kami harus menyesuaikan pola belanja bahan makanan agar bisa berhemat uang transportasi dan uang belanja. Nggak rela juga kalau setiap bulan hampir 100 pounds dikeluarkan untuk biaya transportasi. Kami pun evaluasi lagi dan merancang strategi lagi. Baru di bulan ketiga atau keempat lah kami bisa mulai ‘enak’ mengatur keuangan. Saya sih terbayang, berdua saja masih harus berpikir strategis supaya uang cukup dan berlebih untuk ditabung, bagaimana yang punya anak dua atau tiga? Huaaah harus putar otak agar dapur terus mengebul.

Berhemat adalah hal yang terus menerus saya dan suami lakukan. Saat bisa berhemat, kenapa tidak? Namun, ada satu hal yang tidak boleh dihemat: sedekah. Sesempit apapun kita, ibu saya selalu mengingatkan ‘Jangan pelit bersedekah’. Berikanlah yang terbaik untuk membantu orang lain. Sedekah ini tidak hanya dalam bentuk uang, ya… bisa juga dalam bentuk tenaga, ilmu, bahkan senyum. Percayalah bahwa Allah itu Maha Pemberi. Kalau kita sudah berusaha plus melakukan amal-amal baik, maka Allah pasti akan memberikan balasan yang terbaik.

Saya jadi ingat potongan status dari senior kuliah saya. Ia bercerita tentang kondisinya dan di akhir, ia menulis ‘stop merasa jadi orang paling nelangsa di dunia karena masih banyak orang yang kondisinya lebih buruk di luar sana’. Yap, saya harus banyak-banyak bersyukur karena telah banyak diberi kemudahan. Keinginan saya dan suami banyak yang sudah bisa terwujud. Saya kadang-kadang juga masih takjub bagaimana dalam waktu sangat singkat saya dan suami bisa sampai di sini. Seperti miracle, tapi juga bukan miracle 100% karena kami menyusun rencana, kami berusaha, kami memutar otak agar dapat bertahan. Dan yang terpenting, ya…. Banyak sekali orang-orang lain yang lebih hebat bisa mengatur uang dan kehidupan sedemikian rupa hingga bisa sukses dan bertahan hidup. Ada keluarga dengan tiga anak yang tetap bahagia dengan uang tunjangan beasiswa yang sama jumlahnya dengan mahasiswa single, ada keluarga-keluarga yang tinggal di London (yang amit-amit mahalnya) tapi tetap bisa piknik, ada juga teman yang harus berjuang mengulang ujian tapi akhirnya lulus setelah belajar di kampus hingga larut malam setiap hari, ada juga teman yang ditinggal oleh suaminya tapi tetap tegar menjalani hidup, ada ibu-ibu mahasiswa yang selain harus mengurus anak dan suami (dan mungkin juga harus bekerja) harus belajar dan menulis esai. Semua tergantung tujuan sih. Maunya apa? Tujuannya apa? When there is a will; there is a way, but…. Saya akan coba mengutip kata-kata dari novel yang menurut saya sangat bagus untuk memberi semangat:

“Kemudian yang kamu perlukan hanyalah kaki yang akan melangkah lebih jauh, tangan yang akan berbuat lebih banyak, mata yang akan melihat lebih lama, leher yang akan lebih sering mendongak, tekad yang setebal baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras serta mulut yang selalu berdoa.” (Donny Dhirgantoro)
Selamat bermimpi dan selamat berusaha!

Advertisement

Belajar Berumah Tangga dari Negeri Seberang

12196229_10153731241693679_1202522400558471331_n

First of all, pardon my language karena sudah lama sekali tidak menulis dalam bahasa Indonesia. Tulisan ini akan menggunakan bahasa yang lebih santai dan tidak formal, anggap saja seperti saya berbicara.

Anyway, sebenarnya hanya ingin sharing sih tenang rumah tangga. Walaupun saya adalah newbie di ranah ini, tapi boleh lah yaa sekedar curcol-curcol dan menyampaikan opini. Jadi, 3 bulan terakhir ini adalah periode terpanjang saya dan suami hidup bersama.

Walaupun sudah lebih dari 1 tahun menikah, kami awalnya hidup terpisah dan mengalami LDM – Long Distance Marriage. Well, setiap kondisi hidup memiliki ujiannya masing-masing, kan? We’ve succeeded going through that phase. Lalu kami harus berpindah ribuan kilometer jauhnya dari ‘rumah’ kami. A fresh start for us to build a new life. Disini, di tanah rantau di negeri orang ini, kami mulai benar-benar berumah tangga.

Beberapa tahun lalu, saya adalah pengamat. Saya tinggal di negara asing dan mengamati keluarga-keluarga Indonesia, yang boleh dibilang anti-mainstream. Kenapa? Karena kehidupan berumah tangga disini, walaupun dari sisi pengamat, memang berbeda dengan apa yang dianggap ‘normal’ di Indonesia. Yang jelas, hasil pengamatan saya saat itu membuat saya kagum. Di keluarga pelajar Indonesia, saya tidak melihat ada perilaku klise ‘ayah bekerja dan ibu memasak’. Yang ada, ‘ayah dan ibu bekerja dan keduanya juga memasak bersama’ dan karena salah satu atau salah dua dari ayah dan ibu adalah pelajar, maka mereka juga belajar. Sebagai contoh, sebuah keluarga yang cukup dekat dengan saya menunjukkan bagaimana pasangan suami istri dapat bekerja sama dengan baik. Sang suami setiap hari ke kampus untuk belajar, meninggalkan istrinya yang harus mengantar anak dan kemudian bekerja paruh waktu. Siangnya, si istri yang sudah selesai bekerja harus menjemput anak. Apabila si istri bekerja lebih lama, maka suami harus menggantikan tugas menjemput anak. Lalu sorenya si istri – dan suami kalau sudah ada di rumah – memasak bersama sambil mengobrol. Kemudian mungkin malamnya mereka harus membersihkan rumah atau memasak pesanan makanan. Melihat kondisi ini, saya kagum karena kerja sama antara suami dan istri ini seperti well-oiled machine. Keduanya bekerja, keduanya berusaha tanpa mengesampingkan kewajiban dasar sebagai suami dan istri.

Dari hanya berperan sebagai pengamat, sekarang saya mengalaminya sendiri. Saya dan suami hidup berdua di negara yang jauh. Now, we call this place home. Karena kami baru berdua saja, semua memang lebih mudah, tidak se-hectic gambaran diatas. Tapi tetap saja hidup disini berbeda dengan di Indonesia. Tidak ada ‘mbak’ atau ‘bibi’ yang membantu, tidak ada juga warteg yang meringankan beban memasak. Semua harus dikerjakan sendiri. Disini, suami saya banyak menghabiskan waktu untuk belajar di kampus dan berorganisasi (iya, suami saya aktivis – nggak bisa diam maksudnyaa). Saya? Saya banyak berkegiatan dengan ibu-ibu warga Indonesia yang bermukim disini sambil melakukan usaha kecil-kecilan yang menghasilkan tambahan uang jajan. Kondisi ini membuat saya dan suami harus pintar-pintar membagi waktu dan pekerjaan sehingga hidup kami lancar. Kadang-kadang suami harus rela jajan diluar ketika saya terlambat bangun dan tidak sempat menyiapkan bekal. Kadang-kadang juga saya harus bangun hingga larut malam menunggu suami pulang dari rapat organisasinya. Untungnya, kami memahami posisi masing-masing dan menghargai pasangan kami sebagai individu. Saya tidak harus diam di rumah menunggu suami saya pulang karena kata suami saya ‘Kalau kamu dirumah terus dan nggak bersosialisasi, kamu nggak akan jadi diri kamu sendiri dan nggak akan jadi diri kamu yang aku suka’. Beberapa kali saya membantu suami saya belajar dan kemarin, saat banyak pekerjaan menumpuk, suami saya menyuapi saya saat bekerja. Mungkin kami memang belum di tahap well-oiled machine, but we’re getting there.

Seringkali saya berdiskusi dengan suami. Mungkin kalau tidak tinggal disini, kami tidak akan seperti ini ya? Mungkin saya tidak akan belajar macam-macam resep masakan. Mungkin suami saya tidak akan pernah bisa memasak. Mungkin kami tidak akan berlatih tentang kerja sama. Kondisi saat ini tentu jauh dibandingkan dengan keinginan kami sebelum menikah. Suami saya ingin istri yang tinggal di rumah dan mengurus anak-anak. Kerja dan kegiatan lain diperbolehkan asal hanya menghabiskan sedikit saja waktu di luar rumah. Suami saya akan bekerja, pergi pagi pulang malam. Kenyataannyaa? Jauh ya dari mimpi kami.

Tapi dengan begini kami belajar bahwa idealisme akan kalah dengan realita. How to cope with the reality is what important. Kami belajar bahwa intinya dalam berumah tangga kami harus bekerja sama dan saling mendukung. Masih ada beberapa bulan lagi untuk melatih kebiasaan baik tersebut dan semoga sampai di Indonesia nanti kami masih akan terus menerapkannya!

Dec 09, 2015

Crossing Path

We cross path with people we meet during our life. I crossed path with my husband when we were still in elementary school. We were just acquaintance until we became friend years later, when we were in junior high school. We walked the same path but then we moved to different directions. I was here, he was there. I am sure that we were in a very opposite side of the world. I may not be his type; he was definitely not my type.

Then, we crossed path again. We communicated with each other and found the similarities between us. Funny how people can feel very close even when they are so far away, right? It was indeed funny how we could connect although we spent years apart. After that we met again, and again and again.

Now here we are, walking on the same path; hopefully not for a short crossing path, but forever and ever.

Photo Credit: https://www.instagram.com/ryantoanugroho/

Nov 19, 2015