Entah kenapa masih aja ya, perdebatan tentang working mom vs stay at home mom marak. Mulai dari cerita dan pendapat yang mendukung ibu rumah tangga dan mungkin yang agak nyinyir tentang ibu bekerja, hingga cerita tentang usaha keras ibu bekerja yang membela diri dari pandangan negatif yang ditujukan pada mereka. Susah memang, budaya di Indonesia yang cukup kental oleh konsep patriarki dan kemudian diterjang modernisasi kemudian membuat banyak orang bingung mengenai jati diri, termasuk wanita.
Rasanya tergelitik sekali ingin menulis ini, terlebih setelah diskusi di sebuah grup Whatsapp saya. Pastinya saya belum qualified ya, untuk bercerita tentang pengalaman saya karena saya belum menjadi seorang ibu. Tapi, saya punya dua orang wanita super yang memilih dua jalan berbeda, ibu saya dan mama mertua saya. Bagi saya, both are super women called moms.
Menarik sekali membaca artikel-artikel berisi pengalaman para ibu rumah tangga yang mendedikasikan waktu mereka untuk keluarga. Mereka mencurahkan tenaga dan pikiran dengan sepenuh hati untuk membangun keluarga yang baik. Bagi saya, cara para ibu rumah tangga mendidik anak-anak mereka harus diapresiasi. Dari banyak artikel yang saya baca, anak-anak dari para ibu rumah tangga tumbuh menjadi anak yang sukses. Mereka berkembang dengan baik, penuh dengan kasih sayang dan perhatian yang berlimpah dari para ibu. Melihat beberapa teman saya yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, saya mengerti mereka sangat paham perkembangan anak mereka, pengetahuan terbaru tentang perkembangan anak, dan kreatif dalam memberikan yang terbaik bagi anak-anak mereka. Tentunya, disini saya mengkategorikan ibu rumah tangga sebagai ibu yang memang mengurus anak mereka sendiri, ya… Bukan ibu-ibu tidak bekerja yang memiliki pengasuh khusus bagi anak mereka.
Saya juga kagum terhadap para ibu bekerja yang sepertinya punya tenaga ekstra hingga sanggup melakukan banyak hal sendiri. Beberapa artikel mengenai ibu bekerja yang saya baca menceritakan perjuangan para ibu bekerja ini – yang mudah-mudahan bukan ‘tumpangan’ keluhan mereka ya… Semoga semua ibu bekerja ikhlas dalam menjalankan semua peran mereka. Membaca dan melihat sendiri pengalaman ibu bekerja kadang-kadang membuat saya membayangkan bagaimana rasanya harus ‘membelah diri’ agar bisa memenuhi semua tuntutan, bagaimana rasanya meninggalkan anak yang sakit karena sudah tidak ada cuti, atau bagaimana harus ‘kabur’ dari kantor agar bisa cepat pulang ke rumah dan mengurus keluarga. Pastinya bukan perjuangan yang mudah.
Selalu ada dua, atau lebih, perspektif yang harus dilihat ketika berargumen, bukan? Melihat kedua sisi tersebut, saya yakin sekali bahwa setiap ibu memiliki alasan masing-masing saat memilih untuk menjadi ibu rumah tangga atau menjadi ibu bekerja. Saya juga yakin, mereka pasti tahu konsekuensi atas pilihan mereka. We cannot judge because we are not on their shoes, right? Semua orang punya preferensi masing-masing, setiap orang punya alasan masing-masing. Jangan paksakan, jangan salahkan karena semua ibu pasti berjuang demi keluarga. Bagi saya, pilihannya bukan di bagian menjadi ibu rumah tangga atau menjadi ibu bekerja, tetapi di bagian keluarga seperti apa yang ingin dibangun, anak-anak seperti apa yang ingin dibesarkan. Bagaimana caranya, tentu akan tergantung pada kondisi masing-masing keluarga dan individu.
Siapa bilang anak-anak dengan ibu yang fokus mengurus mereka pasti berhasil? Tidak ada jaminan juga. Siapa bilang ibu rumah tangga tidak memiliki keterampilan dan kapabilitas untuk bermanfaat bagi komunitas yang lebih luas? Siapa bilang ibu rumah tangga kerjanya leha-leha di rumah tanpa pekerjaan berat? Mama mertua saya seorang ibu rumah tangga. Sejak menikah, ia memilih untuk tinggal di rumah mengurus anak-anak. Santai? Haha tentunya tidak. Dengan 4 orang anak yang sibuk luar biasa di tempat kursus, organisasi, dan sekolah, Mama sibuk mengurus semua kebutuhan anak-anaknya. Bangun super pagi untuk memasak bekal (ya, Mama memasak sendiri walaupun ada pembantu rumah tangga di rumah) bagi anak-anaknya, mencari informasi terbaru untuk pengembangan diri anak-anaknya, hingga ikut sibuk ketika anak-anaknya akan ujian. Melihat keseharian Mama, saya melihat bagaimana ibu rumah tangga pun update terhadap informasi yang ada dan selalu membangun hubungan baik dengan para ibu lain. Mengapa? Agar ia bisa mengobrol, berkomunikasi dengan anak-anak serta suaminya. Mama adalah seorang ibu yang cerdas, yang selalu memberikan masukan berarti bagi suami dan anak-anaknya. Jadi, siapa bilang menjadi ibu rumah tangga itu mudah?
Siapa bilang anak-anak dengan ibu bekerja kurang perhatian? Belum tentu! Siapa bilang ibu bekerja hanya fokus pada karir mereka dan membiarkan anak-anak mereka diasuh oleh pembantu, pengasuh, atau nenek-kakek? Siapa bilang ibu bekerja pulang ke rumah tinggal beristirahat? Saya anak dari seorang ibu bekerja. Jawaban dari pertanyaan di atas adalah tidak. Sejak kecil, saya terbiasa di rumah tanpa Ibu, tapi saya ingat bahwa setiap siang Ibu selalu menelepon rumah untuk absen. Saya juga terbiasa mandiri dan belajar tanpa disuruh oleh Ibu, tapi setiap pulang kerja, ibu selalu ada untuk mengecek hasil belajar dan PR saya. Dan ibu bekerja, harus melawan stigma yang ada di masyarakat, yang semoga sekarang sudah mulai berkurang, bahwa anak-anak mereka tidak terurus dan tidak mungkin berprestasi. Saya ingat, Ibu saya pernah bercerita bahwa guru SD saya tidak percaya saya bisa mendapatkan nilai bagus dan curiga bahwa saya seringkali mencontek teman saya yang ibunya ada di rumah. Kalau jadi Ibu, saya sih akan marah luar biasa. Indeed, stok sabar dan tenaga ibu bekerja pun harus super banyak. Selain mengecek hasil belajar saya, Ibu tidak pernah absen membacakan dongeng atau cerita apa pun sebelum saya tidur, hingga saya duduk di kelas atas SD. Jadi, siapa bilang menjadi ibu bekerja berarti tidak perhatian pada anaknya?
Dua sisi dari satu koin. Mereka sama-sama ibu. Anak dan keluarga adalah dua hal yang menjadi fokus dari hidup mereka. At least pada kasus kedua ibu yang saya ceritakan, ya… Keduanya memiliki cara yang berbeda untuk memberikan yang terbaik bagi keluarga. Apa kesamaan dari kedua ibu tersebut? Doa. Mama dan Ibu selalu berdoa untuk anak-anak mereka. Saya tahu persis bahwa Ibu tidak pernah absen bangun tengah malam untuk mendoakan keluarganya. Saya pun tahu bahwa Mama akan bangun malam untuk mendoakan kemudahan urusan anak-anaknya.
Lalu, siapa kita yang berani menilai mana yang lebih baik? Mengapa tidak kita hargai semua ibu di dunia yang berdoa untuk keluarga mereka? Apa pun cara mereka, apa pun pilihan mereka, yakinlah semua ibu ingin memberikan yang terbaik bagi keluarga mereka, bagi anak-anak mereka.
Feb 02, 2016