Ada Langit di Atas Langit

10499096_310567115790904_1532127187_n

Dua artikel berturut-turut dan judulnya berhubungan dengan langit. Tenang, tenang… isinya beda kok! Berbeda dengan artikel sebelumnya yang membahas tentang langit biru, kali ini ingin membahas sebuah fenomena yang sepertinya kok sering saya lihat akhir-akhir ini. Maklum, I am a people observer. Kegiatan people-watching bagi saya terasa menyenangkan! Hehehe…

As an intro, ada yang sudah baca artikel ini: https://brightside.me/article/why-generation-y-is-unhappy-11105/? Saya sudah, dan saya suka. Saya suka dengan sudut pandang si penulis yang tidak lagi-lagi membahas karakter generasi Y saja – tetapi mencoba mengelaborasi dengan pengalaman nyata para anggota generasi Y. Intinya sih, ada sesuatu yang menyebabkan si generasi Y ini tidak bahagia: kepercayaan bahwa dunia seindah surga dan bahwa mereka (kita) pantas untuk mendapatkan si surga ini. Intinya yaa… perasaan ke-aku-an yang sungguh besar sehingga menganggap diri sendiri spesial.

Padahal, selalu ada langit di atas langit. Naaah… yang perlu disadari adalah langit di atas langit ini tidak hanya dalam arti positif loh, tapi juga dalam arti negatif. Misalnya nih, ada si X yang punya pengalaman bertahun-tahun, pintar, dan latar belakang pendidikannya baik. Dia merasa sebagai orang yang paling ekspert di bidangnya. Hal ini membuat dia merasa lalu harus di “servis” saat diminta berbagi ilmu atau merasa harus mendapatkan gaji super besar saat diminta bekerja di suatu perusahaan. Betul kah? Yhaaa… ada langit di atas langit, Pak! Dalam lingkungannya, mungkin ia yang paling hebat. Tapi, sudahkah mencoba untuk lihat keluar? Sudahkan mencoba untuk bertemu orang-orang baru di lingkungan baru? Mungkin – mungkin yaa – di luar sana ada orang yang jauh lebih hebat daripada si X.

Sebaliknya, ada langit di atas langit bisa juga terjadi dalam arti negatif. Pernah punya teman yang sepertinya hidupnya selalu susah (suka mengeluh maksudnyaa…)? Seberapa parah sih keluhannya dan korelasinya dengan realita? “Duh, males banget bawa anak kecil naik angkot panas-panas. Coba ya kalau ada motor kan lebih enak.” Buk, ada loh orang yang anaknya lebih dari dua dan memilih untuk jalan kaki kemana-mana karena ingin menabung agar anaknya bisa masuk sekolah yang bagus (walaupun ya, harusnya sih sekolah bagus harus bisa diakses oleh semua orang). Atau mungkin juga, ada orang lain yang kemana-mana harus naik sepeda karena harus berhemat uang yang pas-pasan.

Self-centered. Sifat ini seharusnya sudah bisa diminimalisir pada masa anak-anak awal, sekitar usia 3-6 tahun. Tapi memang, manusia pada dasarnya adalah mahluk yang self-centered. Setelah dilatih dan melihat orang lain, barulah kita semua belajar untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri, tetapi juga orang lain. Selain itu, kalau seperti yang dijelaskan oleh artikel yang saya sebutkan di atas, sosialisasi dari orang tua dan orang-orang di sekitar juga merupakan pembentuk karakter generasi Y yang utama. Isi sosialisasi inilah yang membuat para generasi Y (termasuk saya juga, mungkin) merasa paling spesial pake telor. Hasilnya, terpupuk lagi deh, sifat self-centered yang seharusnya sudah bisa diminimalisir.

Jujur, saya suka risih. Tidak terlalu suka dengan orang-orang yang tidak menyadari bahwa ada langit di atas langit. Tapi, gajah di pelupuk mata seringnya tidak terlihat. Mudah-mudahan tulisan ini menjadi pengingat bagi diri saya sendiri bahwa masih ada orang-orang yang lebih lebih hebat dari saya – dalam hal perjuangan (atau mungkin penderitaan), talenta, keahlian, dan lain-lain. Semoga tidak ada orang yang risih dengan saya karena hal ini. Semoga, semogaaa ya Allah, saya dijauhkan dari sifat “merasa yang paling …” supaya bisa lebih banyak belajar dan memperbaiki diri dan supaya bisa lebih banyak lagi bersyukur.
Laa hawla wa laa quwwata illa billah…

 

Photo Source: https://www.instagram.com/ryantoanugroho/?hl=en

Advertisement

No Blue Sky for You No More

Beberapa minggu kembali tinggal di Jakarta (baca: Bekasi), salah satu hal yang sangat saya rindukan dari Birmingham adalah langit biru.

Kata orang, warna biru langit di setiap daerah itu berbeda. Well, mungkin. Saya adalah salah satu penggemar kegiatan mengamati langit. Kalau berdasarkan pengamatan saya, memang sih, warna langit setiap tempat memiliki “pesona”nya sendiri. Favorit saya? Birunya langit Liverpool di musim panas, birunya langit York saat musim semi, semburat jingga saat matahari terbit di Borobudur, dan… yang paling dahsyat menurut saya adalah warna warni langit saat matahari tenggelam di Sumbawa Barat. Magical!

Pink Sky

Nah tapi, setelah beberapa minggu di Jakarta-Bekasi, ternyata kok langitnya abu-abu? Yhaa… disamping akhir-akhir ini sering mendung, sepertinya, berdasarkan pengamatan subjektif saya, polusi di ibu kota tampaknya semakin parah, ya? I don’t mind with non-blue sky. Saya suka hawa-hawa mendung gloomy yang kalau di UK sana sedang sangat dominan karena sudah autumn saat ini. Di Jakarta pun, hawa mendung bagi saya membawa perasaan menenangkan.

Masalahnya, meskipun sama-sama abu-abu, langit tertutup polusi tuh nggak ada indah-indahnya. Malah sumpek dan bikin pengen kabur ke UK lagi #eh. Bahkan saking tebalnya, asap polusi sampai terlihat seperti kabut. Sedih!

Biangnya ya apalagi selain asap kendaraan bermotor? Saya salah satunya. Iya, saya mengaku bersalah jadi salah satu kontributor polusi di Jakarta. Cuy, moda transportasi itu kebutuhan primer warga dunia – terlebih bagi masyarakat penglaju seperti saya yang jarak tempuh setiap hari bisa lebih dari 20 km. Jarak tersebut tentu tidak bisa (tidak efektif) bila dipaksa ditempuh dengan cara berjalan kaki. So, what should I do?

Setidaknya, saya berusaha (superduper sekuat tenaga karena terbiasa dimanja dengan kendaraan pribadi) untuk meminimalisir penggunaan mobil pribadi sendiri. Kalau bisa, carpool (lebih populer dikenal dengan tebeng menebeng) lebih baik. Disamping kondisi lalu lintas Jakarta yang makin lama makin parah dan membuat malas menyetir sendiri, naik kendaraan umum atau ber-carpool bisa jadi alternatif yang lebih hemat.

Well, semoga saya bisa dengan istiqomah menjalankan sharing kendaraan ini, setidaknya dengan suami dan orang-orang terdekat) dan semakin banyak juga orang-orang yang berusaha dan punya solusi untuk mengurangi polusi Jakarta sehingga langit biru pun tampak kembali di kota tercinta ini. Ya, supaya there’s no more no blue sky for you no more.

University 101: Everything is Data (4)

Apa yang muncul dalam pikiran kita pada saat mendengar kata ‘data’? Ada yang mengasosiasikannya dengan pekerjaan, soal, ujian, penelitian, dan lain-lain. Namun, sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan data, dan mengapa data merupakan suatu hal yang penting untuk dibahas dalam hubungannya dengan universitas – baik pada jenjang S1, S2, maupun S3? Menurut Merriam-Webster Dictionary, data adalah fakta atau informasi yang digunakan untuk analisis dan penghitungan sebagai dasar dari penalaran, diskusi, dan argumen. Berdasarkan definisi ini, dapat disimpulkan bahwa data bisa memiliki berbagai macam bentuk. Fakta atau informasi yang digunakan sebagai data bisa merupakan angka, bentuk, narasi, atau hal-hal yang dapat diamati.

Tentunya, data dalam bidang disiplin ilmu pun berbeda. Ya, mungkin saja teman-teman yang mendalami bidang informatika lebih banyak berhubungan dengan data yang bersifat numerikal. Di sisi lain, teman-teman yang berkuliah di bidang ilmu sosial, seperti antropologi, lebih banyak berhubungan dengan data yang bersifat naratif. Eits, tapi jangan bahagia dulu saat merasa akan atau sedang belajar cabang ilmu sosial yang biasanya minim data numerikal. Berbagai penghitungan statistik, grafik, dan data berupa angka juga merupakan hal dasar yang harus dikuasai oleh semua orang di semua cabang ilmu. Sulit? Nggak, kok. Justru hal ini merupakan salah satu basic skills yang perlu dikuasai untuk bisa survive tidak hanya dalam pendidikan, tetapi juga pekerjaan di masa depan dan dalam kehidupan sehari-hari.

Hmmmm… ini berarti kita tidak bisa ‘kabur’ dari urusan data mendata pada saat memutuskan untuk masuk ke pendidikan tinggi. Segala sesuatu yang kita pelajari dan kita ungkapkan harus berdasarkan data. Orang-orang yang dulunya takut melihat soal dan data harus memberanikan diri menghadapi dan menggunakan data. Atau mungkin, persepsi kita bisa dibalik sehingga lebih nyaman dalam memandang data. Anggap saja, semua hal yang kita ketahui – bahkan dari kecil sekali – bisa dianggap sebagai data. Segala pengetahuan yang kita miliki dan simpan di dalam otak juga merupakan bentuk data apabila kita gunakan untuk melakukan analisa, penghitungan, atau perencanaan.

Tidak lepasnya kehidupan kita dari data mengharuskan kita untuk merasa nyaman bekerja dengan data. Keluwesan kita dalam bermain-main dengan data sangat dibutuhkan, terutama pada saat kita berada dalam lingkungan akademis. Memang sih, pada saat masa awal perkuliahan, biasanya ada mata kuliah yang memang dikhususkan untuk membantu para mahasiswa untuk membiasakan diri dengan data. Namun, apa salahnya kita tahu lebih dulu mengenai hal-hal yang bisa dilakukan terhadap data.

 

  • Putting it into context

 

Data tanpa konteks tidak memiliki arti. Tidak percaya? Ini contohnya: sebagian besar anak mengalami obesitas. Ada yang salah? Secara bentuk, kalimat tersebut benar. Namun, informasi tersebut tidak memiliki konteks. Anak dimana? Batasan yang disebut sebagai anak, berusia berapa? Selain kelengkapan informasi tersebut, kita juga perlu mengetahui konteks data secara lebih luas. Misalnya, ketika kita sudah mengetahui bahwa informasi tersebut berlaku pada anak-anak yang tinggal di Amerika Serikat, maka kita juga perlu mengetahui informasi yang relevan dengannya. Sebagai contoh, konsumsi makanan dengan gula buatan sangat tinggi di Amerika Serikat. Contoh ini merupakan informasi yang tambahan yang juga bisa menjadi data. Kedua data tersebut saling melengkapi dan bisa digunakan bersamaan, memberikan konteks pada satu sama lain. Bagaimana dengan data numerikal? Data numerikal juga membutuhkan konteks. Misalnya, 10% warga Jakarta merasa bahagia. Seberapa banyak 10% warga Jakarta? Tentu harus dikalikan dengan total jumlah warga Jakarta. Arti 10% ini tentu berbeda apabila disandingkan dengan 10% warga Pontianak. Putting it into context. Angka 10% yang tampak kecil menjadi jumlah warga yang puluhan ribu apabila dimasukkan ke dalam konteks kota besar.

 

  • Interpret it

 

Setelah melihat data dalam konteks yang benar, barulah kita dapat melakukan interpretasi data. Lagi-lagi, data bisa diinterpretasi apabila kita mengerti konteks dan arti dari informasi tersebut. Proses interpretasi data harus dilakukan sebelum data kemudian diolah lagi atau dianalisis lebih lanjut.

 

  • Critically analyse it

 

Nah, bagian yang cukup krusial dan unik dalam penggunaan data di tingkat universitas adalah analisis kritis. Pada aktivitas ini, kita bisa mempertanyakan informasi yang kita dapat dari data tersebut – baik mengenai ke-valid-an data tersebut, cara pengumpulan datanya, apakah data tersebut relevan dengan konteksnya, dan lain-lain. Bagi saya sendiri, proses ini adalah proses ‘mempertanyakan kebenaran data’. Butuh panduan bertanya? Yuk mampir ke https://theadventureofizzao.com/2016/06/17/university-101-the-art-of-asking-questions-1/. Data yang telah dianalisis secara kritis sehingga kita mengetahui kelemahannya dapat kemudian digunakan dalam proses-proses pengolahan data berikutnya.

 

  • Convert it

 

Aktivitas konversi data merupakan aktivitas lanjutan dan tambahan dari pengolahan data. Apabila tidak dibutuhkan, proses ini bisa di-skip. Pada umumnya, data dikonversi apabila bentuk lain dibutuhkan untuk proses pengolahan data lanjutan.

 

  • Present it

 

Data juga harus dipresentasikan atau disajikan. Nah, penyajian data tentu tergantung pada bentuk data. Pemilihan cara penyajian data juga harus memperhatikan kenyamanan pembaca. Kita menyajikan data dengan tujuan membuat pembaca mengerti, kan? Oleh karena itu, kita harus menyeleksi cara terbaik untuk mencapai tujuan kita. Data-data numerik biasanya kemudian disajikan dalam grafik sehingga lebih mudah dipahami. Data narasi disusun dengan kalimat yang efektif sehingga pembaca dengan mudah mencerna informasi yang diberikan.

 

Lalu, apa sih tujuan menggunakan data dan melakukan hal-hal di atas terhadap data? Tujuannya adalah untuk mendukung argumen yang kita miliki. Lagi-lagi, dalam konteks akademis pendidikan tinggi, mahasiswa banyak diminta untuk berargumen dan mengungkapkan pendapat. Tentu saja, pendapatnya orang berpendidikan beda yaa, dengan argumen warung kopi. Argumen dalam konteks akademik harus didukung oleh data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Nah, hal ini lah yang membuat data memiliki posisi yang penting dalam kehidupan akademis.

Practice makes it perfect. Sama seperti keterampilan yang lain, keterampilan mengolah, mengumpulkan, dan menganalisis data perlu dilatih sehingga kita lancar dalam menggunakannya. Mari mulai berlatih bermain-main dengan data!

 

Photo source: http://www.biznetsoftware.com/wp-content/uploads/2015/01/bigdata.jpg