Home Away from Home: Kesehatan (2)

Setelah minggu lalu kita membahas tentang pelayanan kesehatan secara umum yang ada di UK, kini saatnya melanjutkan pembahasan tentang topik yang sama tetapi lebih detil pada benefit yang diperoleh untuk anak-anak dan ibu hamil. Dua golongan ini boleh dikata mendapat perlakuan istimewa di sini, dan tentu saja kebanyakan bisa didapat secara gratis. Sehingga, meskipun nilai tukar poundsterling lebih mahal dibanding rupiah, Anda yang membawa anak-anak dan atau sedang hamil tidak perlu pusing memikirkan biaya kesehatan di sini.

 

Pelayanan Kesehatan Anak

Orang tua tentunya menginginkan yang terbaik untuk anaknya termasuk urusan kesehatan. Tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, di UK pun terdapat pemberian vaksin secara berkala dan terjadwal, hanya bedanya adalah semuanya gratis kalau anda mengambil pelayanan vaksin tersebut melalui NHS. Setelah anda tiba di UK dan mendaftar ke GP, tentunya mereka akan memiliki data tentang keluarga termasuk anak anda. Dari data yang mereka punya, biasanya nanti pihak GP ini akan mengirimkan surat pemberitahuan secara berkala apabila mereka akan mengadakan pelayanan kesehatan berkala semisal vaksinasi sesuai usia dan riwayat kesehatan anak. Usahakan untuk datang dan mendapatkan vaksin tersebut untuk putra-putri anda sesuai jadwal yang diberikan GP. Bagaimana jika anda sekeluarga sedang bepergian atau ada urusan sehingga tidak bisa datang ke appointment tersebut? Tenang dulu, coba anda bicarakan dengan dokter atau petugas kesehatan di GP, dan tanyakan apakah ada kemungkinan untuk meng-arrange pemberian vaksin di waktu yang lain, atau mungkin di GP yang berbeda.

Selain layanan kesehatan yang general, melalui NHS, anak-anak juga bisa memperoleh pelayanan kesehatan gigi secara cuma-cuma. Anda bisa menemukan tempat dokter gigi terdekat dengan lokasi tempat tinggal anda melalui link berikut:  http://www.nhs.uk/Service-Search/Dentist/LocationSearch/3

Selain GP, terkadang sekolah juga bekerjasama dengan GP atau rumah sakit untuk dapat mengadakan imunisasi atau vaksinasi gratis. Tentunya, prosedur yang digunakan sama dengan prosedur yang dilakukan di Indonesia. Orang tua akan diberikan surat dan formulir yang menyatakan boleh atau tidaknya anak diberikan treatment tertentu. Begitu juga dengan perawatan gigi yang terkadang didatangkan juga ke sekolah.

Berbeda dengan di Indonesia, anak di UK tidak dibiasakan untuk minum obat. Jadi, bersiaplah para orang tua yang sering mengandalkan antibiotik bagi anak. Disini, memberikan paracetamol bagi anak adalah hal yang paling “mantap” bisa diberikan oleh dokter. Dokter hanya mau memberikan antibiotik apabila kondisi anak sudah sangat parah. Oleh karena itu, mungkin membawa obat-obatan yang biasa dikonsumsi anak bisa dipertimbangkan karena pemberian obat di UK sangat langka.

Anak-anak juga mendapatkan fasilitas khusus yang berhubungan dengan kesehatan mata. Apabila anak mengalami gangguan penglihatan, ia dapat berobat ke dokter secara gratis dan bisa menebus “resep” kacamata secara gratis. Selain itu, ia juga mendapatkan fasilitas gratis penggantian kacamata setiap 6 bulan sekali. Hihi… enak yaa… Mungkin hal ini bisa dimanfaatkan untuk menimbun kacamata sebelum pulang. Eits, tapi ingat yaa, fasilitas ini hanya berlaku bagi anak-anak.

 

Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil

Sama halnya dengan anak-anak yang memerlukan prioritas pengawasan dan penanganan untuk tumbuh kembangnya, ibu hamil juga mendapatkan hak pelayanan istimewa di Inggris. Mulai dari awal pemeriksaan kehamilan, penanganan rutin selama kehamilan, sampai pada saat melahirkan dan pasca kelahiran si bayi. Oh ya! Perawatan gigi bagi ibu hamil pun ikutan gratis loh! Paramedis di sini memberikan pelayanan yang dikategorikan kelas dunia khususnya kepada calon ibu.
Untuk wanita yang mungkin baru saja hamil saat berada di UK, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah datang ke GP unit maternity untuk mendapatkan dan membuat janji dengan bidan (midwife) yang akan memandu atau memberikan pelayanan selama kehamilan hingga melahirkan. Pada pertemuan pertama biasanya midwife akan mencatat data diri anda, dan memberikan informasi dasar tentang kehamilan dan nomor-nomor penting yang bisa dihubungi dalam kondisi urgent, selain itu juga mereka akan memberitahukan timeline selama 9 bulan yang meliputi jadwal pemeriksaan dan kontrol rutin dengan midwife, tes darah dan pemeriksaan lain bila diperlukan, juga kapan anda bisa melakukan USG. Lebih lanjut bidan juga akan menanyakan kembali lebih detail tentang riwayat kesehatan dan kebiasaan sehari-hari ibu hamil, serta memberikan family questionnaire yang harus diisi, sehingga hal ini dimaksudkan agar dapat membantu pihak medis untuk mengidentifikasi lebih dini apakah anda temasuk dalam kehamilan berisiko. Biasanya, sebelum pulang mereka akan memberikan brosur-brosur, CD, ataupun mini book yang menambah informasi tentang kehamilan dan bacaan seputar persiapan menjadi ibu. Oh iya, karena di sini bukan negara berpenduduk mayoritas Islam, jadi tidak ada salahnya bagi anda yang muslim untuk menanyakan terlebih dahulu apakah zat yang diberikan saat vaksinasi berbahan halal atau bisakah dipakai untuk vegetarian. Manfaatkan pertemuan dengan midwife ini semaksimal mungkin ya, anda bisa bertanya sebanyak-banyaknya tentang apapun yang ingin anda ketahui, karena memang pada dasarnya mereka di assign untuk membantu dan menjadi pendamping selama kehamilan dan proses melahirkan. Usahakan untuk selalu bisa hadir sesuai jadwal yang sudah disepakati di awal, karena untuk reschedule berarti menunda pertemuan dan membutuhkan waktu sekitar 2-3 minggu lebih lama.

Di UK, pertemuan dengan midwife ini biasanya dilakukan di tempat medical practice terdekat dengan rumah untuk konsultasi dan cek rutin, dan beberapa kali di rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan khusus semisal down syndrome test atau USG. Jadi, disini peran midwife mostly untuk tempat konsultasi seputar kandungan, pemeriksaan rutin termasuk tes urin, cek tekanan darah dan detak jantung bayi. Sedangkan apabila ditemukan tanda-tanda kelainan atau ketidakberesan terhadap janin, maka GP akan merujuk ke rumah sakit untuk dapat dilakukan tindakan yang diperlukan. Ibu hamil biasanya akan memperoleh jatah USG gratis sebanyak satu kali selama kehamilan, yaitu di kisaran usia kandungan 10-14 minggu. Selanjutnya apabila ditemukan kondisi yang kurang baik pada janin, atau misalnya karena si ibu hamil mempunyai riwayat kehamilan yang bermasalah, maka akan diberikan scan USG yang kedua. Tetapi untuk memperoleh scan tambahan ini, anda tidak dapat meminta langsung kepada rumah sakit melainkan harus dengan rujukan terlebih dulu dari maternity unit atau GP terdekat.

Fasilitas lain yang juga bisa didapatkan adalah kelas seperti breastfeeding workshop, dimana para calon ibu diberikan berbagai informasi tentang pentingnya ASI dan persiapan menyusui. Ada juga antenatal class yang memberikan berbagai informasi serba-serbi kehamilan dan terutama tentang proses kelahiran yang akan dijalani. Di sini, ibu hamil diberikan kebebasan untuk memilih ingin melahirkan dengan metode apa, misalnya normal, caesar, waterbirth; jadi dalam kelas tersebut juga dijelaskan plus minus melahirkan dengan masing-masing metode tersebut, misalnya tentang kapan sebaiknya calon ibu mulai datang ke rumah sakit, persiapan apa saja yang harus dilakukan sebelum melahirkan, tindakan apa saja yang akan dilakukan paramedis untuk masing-masing metode, sampai kepada jenis suntikan dan anestesi apa saja yang akan mereka berikan dan juga yang dapat dipilih oleh si calon ibu termasuk efek sampingnya. Selain itu, dijelaskan pula tentang opsi melahirkan secara caesar dan bagaimana tindakan yang akan dilakukan para medis saat operasi caesar tersebut termasuk mengajak para peserta workshop melihat ruang operasinya. Antenatal class ini dianjurkan untuk dapat diikuti tidak hanya oleh calon ibu saja, tetapi juga suami, agar memahami tentang apa yang nantinya dapat dilakukan dan dipersiapkan untuk membantu istri menjelang persalinan. Perawatan atau pelayanan kesehatan gigi juga bisa diperoleh secara gratis selama kehamilan hingga setahun pasca melahirkan. Menarik, bukan? Hehe.

Setelah proses melahirkan, pihak rumah sakit akan membuatkan akte kelahiran yang bisa diproses dalam waktu cukup singkat (sekitar 30 menit saja), akan tetapi ‘sadisnya’, si ibu hamil akan segera diminta untuk meninggalkan rumah sakit hanya 6 jam setelah melahirkan. Hah? Beneran seperti itu?? Jangan kaget ya, hal ini memang sudah menjadi standar pada proses kelahiran di UK, kecuali jika ada masalah kesehatan pada si ibu dan bayi yang menjadi alasan yang cukup untuk tetap menginap di rumah sakit. Jika akhirnya anda sebagai ibu baru menginap di rumah sakit, harus rela berbagi kamar dengan pasien lain yang jumlahnya bisa sampai 12 orang dalam satu ruangan. Apabila menginginkan kamar pribadi maka jadinya pelayanan ini tidak lagi gratis, hehe. Pasca melahirkan, ibu tidak perlu kawatir karena midwife atau petugas kesehatan akan berkunjung ke rumah beberapa kali selama sekitar 10 hari pertama untuk memeriksa kondisi kesehatan ibu dan bayi, bahkan dapat diperpanjang sesuai kondisi bayi. Selanjutnya, petugas kesehatan akan rutin melakukan visit hingga bayi berusia 6 bulan, dan biasanya akan terus berlanjut hingga anak berusia 5 tahun menyesuaikan keperluan dan kondisi si anak.

 

Nah, sepertinya kami cukupkan sampai di sini ya pembahasan tentang pelayanan kesehatan di UK. Setidaknya anda jadi lebih tahu dan bisa mempersiapkan diri menghadapi situasi yang berlaku di sini. Utamanya, karena sudah paham bahwa para medis di sini sangat pelit dengan obat-obatan, sehingga memang kami sangat menyarankan agar anda jangan lupa untuk membawa obat sendiri yang sudah biasa dipakai dan cocok bagi keluarga. Meskipun begitu, percayalah bahwa seminim-minimnya tindakan kesehatan yang di berikan, dokter maupun tenaga medis di sini pastinya melakukan hal tersebut untuk kebaikan pasien juga kok. Jangan lupa untuk selalu melaksanakan pola hidup sehat, ya!

Seri Home Away from Home is coming to the end. Minggu depan adalah artikel terakhir dari seri tulisan ini. Jangan kelewatan ya!

 

Photo source: http://www.nhs.uk/Conditions/vaccinations/PublishingImages/when-to-get-child-vaccinated_364x200_104822596.jpg

Advertisement

Menjadi Advokat bagi Anak

Beberapa waktu lalu, saya dan teman-teman SMP sempat dihebohkan oleh pemberitaan mengenai kelas akselerasi di SMP kami yang akan ditutup pada tahun ajaran mendatang. Sebagai mantan siswa kelas akselerasi, kami merasa tidak nyaman. Muncul banyak pertanyaan mengenai pertimbangan penutupan kelas ini. Yah, bagi kami yang memiliki ikatan emosional dengan kelas akselerasi, tentu inginnya program ini tetap ada. Namun, bagaimana sih sebenarnya program akselerasi ini? Benarkah berdampak negatif? Atau benarkah berdampak positif?

Siswa yang menjalani program akselerasi biasanya tergolong sebagai anak berbakat. Konsep anak berbakat ini sendiri masih juga cukup problematik karena pengukuran bakat dan inteligensi sendiri ada banyak sekali jenisnya. Selain itu, keberbakatan seseorang ternyata belum tentu berbanding lurus denga kesuksesannya di masa depan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa anak-anak yang mengikuti program akselerasi memiliki kebutuhan khusus. Salah satu teman SMP saya bahkan sampai bilang, ‘wah, aksel aja kita sempet nakal yaa.. kaya nggak ada kerjaan aja isengnya. apalagi kalau nggak aksel? gabut banget kayanya deh’. Bukan sombong, tapi memang begitulah keadaan saya dan teman-teman sekelas saya di akselerasi SMP. Kami belajar, kami sibuk dengan tugas dan ujian, tapi kami juga sempat bermain dan berkreasi (alias kadang-kadang nakal dan iseng juga). Bagaimana jadinya anak-anak yang memiliki kebutuhan ekstra untuk distimulasi secara kognitif ini terpenuhi kebutuhannya di kelas reguler?

Opini yang cukup populer saat ini, termasuk juga yang sependapat dengan saya, adalah mengenai sekolah dan kelas inklusi. What? Bukannya inklusi itu untuk anak-anak berkebutuhan khusus? Nah, disinilah letak kesalahan pandangan mengenai arti konsep inklusi dalam pendidikan yang umumnya dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Sekolah inklusi berarti sekolah yang dapat memberikan pelayanan sesuai kebutuhan siswa, bagaimana pun karakteristik siswa tersebut. Jadi, inklusi tidak hanya ditujukan bagi anak berkebutuhan khusus (ya toh anak berbakat juga termasuk dalam golongan anak berkebutuhan khusus), tapi juga bagi anak-anak dengan kondisi tertentu, seperti anak-anak dari golongan menengah ke bawah, pekerja anak, anak jalanan, anak bilingual, dan lain-lain.

Adanya sekolah inklusi dapat menggantikan segala program akselerasi, SLB, dan sekolah singgah karena pelayanan pendidikan yang diberikan akan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing individu. Masalahnya, menjalankan pendidikan inklusi ini tidak mudah. Rasanya, Indonesia masih harus banyak melakukan improvement agar dapat menjalankan pendidikan inklusi yang menyeluruh. Selama ini belum bisa dilakukan? PR bagi orang tua dan guru untuk dapat memenuhi kebutuhan anak.

Nah,itu baru pendahuluannya. Iyaaakk panjang kali itu pendahuluan. Sekali-sekali lah ya… Masih berhubungan dengan akselerasi juga, beberapa bulan yang lalu saya juga sempat membaca tulisan salah satu orang tua yang mengimbau orang tua lain untuk tidak menyertakan anak-anak mereka di program akselerasi karena dianggap merusak masa kecil anak demi memenuhi kebutuhan prestis orang tua. Hehehe… Saya cukup tertawa saja membaca ini. Selain cerita saya dan teman-teman SMP yang bahagia-bahagia saja meskipun menjalani program akselerasi, saya dan suami datang dari keluarga akselerasi yang juga baik-baik saja. Kami ikut program tersebut bukan karena paksaan dari orang tua melainkan karena motivasi pribadi. Salahkah jika anak yang ingin ikut program akselerasi kemudian dilarang oleh orang tua?

Hmmmm… Saya belum menjadi orang tua. However, I’ve learnt a great deal of parenting, how to be a parent, child development, dan tentang pendidikan anak. Yang membaca artikel ini boleh kok berkomentar ‘Ya situ belum jadi orang tua, nggak tau susahnya sih’. Hehe… Pengalaman saya memang pastinya minim, tapi saya pernah mengajar anak yang sungguh sangat kecil hingga remaja-remaja galau. Jadi, saya menulis ini berdasarkan pengalaman saya yang seadanya itu.

Berkaitan dengan topik di atas, rasanya kita perlu mengingat kembali salah satu peran dari guru dan orang tua, yaitu sebagai advokat bagi anak. What kind of thing is that?

Peran orang tua dan guru sebagai advokat berarti mereka berfungsi sebagai penjembatan antara kebutuhan anak dengan hal yang dapat memenuhi kebutuhan anak. Misalnya, anak membutuhkan stimulasi kegiatan fisik karena ia memiliki energi yang cukup banyak dan senang berkegiatan fisik. Orang tua sebagai advokat bertugas untuk ‘membaca’ dan ‘mengerti’ kebutuhan anak tersebut. Hal ini tidak mudah dilakukan karena anak-anak masih perlu bantuan dalam menyampaikan keinginannya. Bagi anak-anak yang belum bisa berbicara, maka orang tua perlu jeli memperhatikan perilaku dan tanda-tanda yang diberikan oleh anak. Setelah orang tua mengetahui kebutuhan tersebut, tugasnya adalah mencari sumber pemenuhan kebutuhan anak. Dalam contoh ini, orang tua dapat mengajak anak ke taman untuk bermain, mengikutkan anak ke kegiatan olah raga, atau mengajak anak berenang. Bebas, tergantung minat anak dan orang tua serta kemampuan orang tua.

Wah, jadi seluruh kemauan anak perlu dipenuhi? No. Kebutuhan anak perlu dipenuhi. Ingat, orang tua dan guru juga memiliki peran sebagai pendidik. Oleh karena itu, jangan lupakan juga fungsi sebagai ‘penyaring’ norma, nilai, dan moral. Hal tersebut tentunya disesuaikan dengan keyakinan yang dianut oleh orang tua, sekolah, serta masyarakat sekitar.

Kok kelihatannya anak jadi ‘raja’ ya, disini? Hmmm… sebenarnya tidak juga. Disini, anak berada di pusat pengasuhan. Bukankah begitu ibu-ibu? Parenting is about the child, not about the parents, right? Kalau kita mau yang terbaik bagi anak, jangan lupakan bahwa yang menjalankan keinginan-keinginan orang tua adalah anak. Ya, harus menyadari juga bahwa kita (orang tua dan guru) dan anak adalah entitas yang berbeda. Yang kita mau, belum tentu mereka mau. Yang menurut kita baik, belum tentu menurut mereka baik. Tentunya, ini tidak diterapkan dalam hal-hal prinsip bagi masing-masing orang tua, seperti misalnya agama bagi saya.

Jadi, instead of ‘saya melakukan semua ini demi anak’ tapi apa-apa yang dilakukan dan yang diputuskan berasal dari pemikiran, pendapat, dan kehendak orang tua, mengapa tidak kita coba dengarkan apa sih pendapat anak-anak kita? Mereka juga punya suara, pemikiran, dan pendapat, loh! Mereka punya kebutuhan yang mungkin berbeda dengan kebutuhan kita.

Hiyah, panjang banget ya tulisan ini. Tapi semoga dimengerti. I am far from an expert, this is merely what I know. Semoga kita bisa menjadi orang tua dan guru yang lebih baik bagi anak-anak kita!

The Dead of Death

I had an interesting lecture this evening. It’s about death, loss, and bereavement. In the beginning, I was thinking – how is it going to have something to do with education? Well, that is why it’s interesting.

Talking about death from different cultural points of view is interesting. And it is almost unbelievable how the concept of death, loss, and bereavement change historically. It was just never occurred to me, really. But how it is then connected to education is almost as bizarre. But then, hey, it’s not learning when you don’t have any cognitive dissonance, isn’t it?

However, here is my thought..

As any other concepts in the world, death concept is highly cultural. Looking back at my own culture and my experience, it is difficult to find the real conception of death explicitly explained. It is avoided as in taboo. Talking about death, especially to children is regarded inappropriate. Parents specifically ask teachers not to talk about death, especially to children who experience bereavement. WHY?

Yes, why? While on the other hand, other kind of loss which isn’t death, such as divorce, is often explained to children as death. Why is it? Is divorce then regarded worse than death so that children should not know about it and they better of with explanation about death?

Maybe, death is a simple answer. It doesn’t have any moral implication – right or wrong questions following it. Death is just.. death. Especially when then it is linked into religious explanation. Well maybe then.. death is an easy out.

What is going to happen then, if children are exposed with the idea that death is an easy out? They will find death as a solution for their problem. It’s easy – without thinking about the implication of it. There was this news about a primary school boy who attempted to commit suicide because his love was rejected by a girl he liked. This is a really good example about how death is seen as a quick fix to a problem.

This thought was just occurred to me during the class. Well then maybe, maybe.. it is the fact that the concept of death, loss, and bereavement is not thoroughly explained to children that they not only don’t understand about death and its friend but they also don’t understand about the meaning of being alive. When the concept of death is dead, how are children going to understand about being alive?

Mar 15, 2013

“If situations cannot be created that enable the young to deal with feelings of being manipulated by outside forces, there will be far too little sense of agency among them. Without a sense of agency, young people are unlikely to pose significant questions, the existentially rooted questions in which learning begins.”

 

Maxine Greene

The Dialectics of Freedom, 1988

The Hundred Languages of Children

I had my last class in International Perspective on Early Childhood yesterday. It was about Reggio Emilia approach. There’s this poem made by Loris Malaguzzi which I find interesting.

No way.

The hundred is there.

the child is made of one hundred.

the child has a hundred languages

a hundred hands

a hundred thoughts

a hundred ways of thinking

of playing, of speaking.

A hundred, always a hundred

ways of listening

of marveling, of loving

a hundred joys

for singing and understanding

a hundred worlds to discover

a hundred worlds to dream.

The child has a hundred languages

(and a hundred hundred hundred more)

but they steal ninety-nine.

The school and the culture

separate the head from the body.

They tell the child to think without hands

to do without head

to listen and not to speak

to understand without joy

to love and to marvel

only at Easter and Christmas.

They tell the child

to discover the world already there

and of the hundred

they steal ninety-nine.

They tell the child

that work and play

reality and fantasy

science and imagination

sky and earth

reason and dream

are things

that do not belong together.

And thus they tell the child

that the hundred is not there.

The child says

“No way – The hundred is there.”

Such a great poem to reflect how I perceived children and how my perception has changed overtime.

Dec 13, 2012