Academic Writing 101: Part 4

Yeay! Akhirnya ini adalah bagian terakhir dari Academic Writing 101. Pada bagian ini, saya akan berbagi beberapa tips yang mungkin kecil tapi perlu diperhatikan dan dilakukan saat menulis. Ada tiga hal yang didiskusikan pada bagian ini, yaitu mengenai fokus dalam menulis, pentingnya latihan, dan saran saya untuk berkonsultasi mengenai tulisan Anda. 

Don’t lose your focus

Seperti yang sudah dibahas di beberapa tulisan sebelumnya, esai yang baik adalah esai yang dapat menjawab pertanyaan mengenai suatu masalah dengan memberikan argumen yang logis dan tepat. Bagi saya, mendefinisikan permasalahan dan argumen adalah hal yang sangat penting sebelum mulai menulis esai. Mengapa? Karena tanpa tujuan penulisan yang jelas, esai akan kehilangan arah. Sialnya, esai yang kehilangan arah tidak akan menjawab pertanyaan, atau setidaknya tidak secara logis dan efisien menjawab pertanyaan. Oleh karena itu, perjelas dan pertajam masalah yang akan Anda bahas dalam esai Anda and stick to it!

Saya pernah mendapatkan saran dari seorang dosen S2 saya mengenai penulisan esai. Ia menyebutkan bahwa topik sebuah esai harus sempit dan pembahasan esai harus dalam. Salah satu esai yang mungkin tidak akan dinilai terlalu baik adalah esai yang membahas suatu permasalahan secara umum dan hanya di permukaan. Cobalah untuk meminimalisir deskripsi dan memperbanyak analisis. Pengalaman saya sendiri, bagian-bagian deskriptif dari esai akademis yang saya tulis biasanya hanya ada pada pendahuluan. Sisanya, saya mengelaborasi berbagai bukti dan contoh untuk mendukung argumen saya.

Salah satu cara yang cukup bermanfaat adalah dengan menggunakan kerangka tulisan dan mencocokkan informasi yang dimiliki ke dalam kerangka tulisan tersebut. Apabila informasi tertentu tidak dapat diklasifikasi ke dalam kerangka tulisan, bisa jadi memang informasi tersebut kurang relevan dan harus dihapus. Sedih memang untuk membuang informasi yang sudah susah-susah dicari. Believe me, saya pernah membuang setengah dari informasi yang saya miliki hasil dari membaca puluhan buku karena ternyata informasi tersebut tidak tepat untuk ditulis di dalam esai saya.

Kendala yang sering dihadapi dan membuat seseorang kehilangan fokus dalam penulisan esai adalah adanya ekspektasi jumlah kata yang dituliskan pada esai. Tentunya, sebagian besar esai akademis yang menjadi tugas dari suatu mata kuliah memiliki kriteria tertentu. Kalau sebagian informasi sudah dibuang karena tidak relevan, lalu bagaimana esai saya bisa mencapai kriteria yang diminta? Lagi-lagi, BACA. Baca lagi, cari lagi, eksplorasi lagi. Kalau tidak ada lagi yang bisa dilakukan? Mungkin memang topik yang dipilih kurang tepat atau tidak cukup ‘kaya’ untuk ditulis sebagai esai.

Latihan

Bahasa adalah keterampilan. Saya sudah pernah membahas hal ini di tulisan saya dengan judul yang berbeda. Karena bahasa adalah keterampilan, maka ia membutuhkan latihan. Saya, Anda, semua orang perlu berlatih agar lancar berbahasa. Pernah mengalami kesulitan menggunakan bahasa Inggris karena sudah lama tidak digunakan? Begitupun halnya dengan menulis, sebagai salah satu aspek dari keterampilan berbahasa. Menulis juga butuh latihan.

Banyak sekali cara untuk berlatih menulis. Meskipun bukan dalam konteks akademis, menulis lepas pun bisa dijadikan sarana untuk berlatih menulis akademis. Setidaknya, kaidah dasar penulisan pun masih selalu harus digunakan pada saat menulis. Misalnya, tulisan harus bertujuan, harus ada pendahuluan dalam suatu tulisan, harus ada pula kesimpulan. Mungkin cara yang cukup dapat dilakukan untuk merutinkan diri berlatih menulis adalah dengan menulis buku harian (iya, ini tipikal anak SD). But really, it helps. Saya sendiri tidak menulis buku harian, tapi selalu mencoba untuk menggunakan kegiatan menulis sebagai pengisi waktu luang. Refleksi diri dan menuliskannya, menulis pendapat tentang suatu hal, atau mungkin menulis tentang hal yang menarik bagi saya. Baru-baru ini, saya menulis tentang hal yang menurut suami saya ‘pernyataan sikap’ terhadap suatu topik (http://izzadinillah.tumblr.com/post/138498316931/super-woman-called-mom). Bagi saya, menulis lebih baik daripada mengeluh, ngedumel di dalam hati, atau malah marah-marah sendiri.

Apabila sudah cukup terbiasa menulis, saya akan menyarankan Anda untuk membuat sebuah blog.Media ini cukup bermanfaat untuk menampung tulisan-tulisan yang dimiliki. Tujuannya tentu bukan untuk menambah follower atau mencari popularitas. Bagi saya, blog yang saya miliki berguna untuk mengingatkan saya agar menulis. Saat ini, salah satu hal yang sedang saya biasakan adalah menulis dalam bahasa Inggris setidaknya seminggu sekali. Oleh karena itu, saya pun membuat sebuah seri diblog saya, yang saya beri judul AdventureNotes (http://izzadinillah.tumblr.com/post/138270024166/adventurenotes-13-london-the-introduction). Karena merasa diwajibkan untuk menghidupkan blog saya, maka saya berusaha sekali untuk selalu menulis seri tersebut. Latihan, latihan, dan latihan menulis. Dengan berlatih, saya menjadi cukup lancar menulis dan selalu memperbaiki tulisan-tulisan saya.

Konsultasi

Saya sangat sangat menyarankan setiap orang yang menulis dalam bidang akademis untuk berkonsultasi. Konsultasi bisa dilakukan sebelum, di awal, pada saat menulis, dan setelah tulisan selesai. Pada saat saya sedang berkuliah S2, saya selalu berusaha untuk menyelesaikan tugas setidaknya seminggu sebelum tenggat waktu pengumpulan agar saya dapat berkonsultasi pada dosen saya, teman saya, atau orang lain yang dapat dimintai bantuan.

Dilemanya, terkadang manusia tidak suka dikritisi. Yes. Tapi, demi tulisan dan nilai yang baik, saya rela. Hasil konsultasi saya tidak selalu baik. Diminta mengganti topik esai setelah half way through the writing process? Pernah. Diminta untuk mengubah struktur esai saat sudah ¾ jadi? Pernah. Sedih, kesal, lelah… tidak ada rasa yang enak setelah menerima feedback negatif. Semua saya telan saja karena saya yakin, proses tersebut baik untuk saya pada akhirnya.

Jadi, saya menyarankan Anda untuk konsultasi pada orang yang Anda anggap mampu memberikan umpan balik yang tepat dan jujur dalam menilai tulisan Anda. Jangan minta ke saya ya, karena saya cukup galak ketika memberikan feedback sampai suami saya saja stress duluan kalau meminta saya membaca esainya.

Terima kasih sudah membaca tulisan yang sangat panjang ini. Sungguh, niatnya hanya ingin berbagi. Semoga berguna dan membantu Anda dalam menulis akademis, ya…

Happy writing!

Feb 04, 2016

Advertisement

Academic Writing 101: Part 3

Menulis

Ya, kedua bagian mengenai academic writing sebelumnya adalah bagian teori. Now, let’s get practical!Setelah mengetahui dasar tulisan akademis yang baik dan berlatih mengenai critical thinking, tentunyaacademic writing mengharuskan kita untuk menulis.

Kaidah penulisan akademis memang sedikit berbeda dengan penulisan non-akademis. Pada academic writing, penulis biasanya diminta untuk mengajukan suatu argumen atau pendapat mengenai suatu isu. Lalu, berbeda juga dengan tulisan saya ini, penulisan akademis mengharuskan si penulis untuk memberikan bukti-bukti yang mendukung argumen atau pendapatnya. Sulitnya, dalam critical thinking, kan kita diminta untuk objektif? Lalu bagaimana caranya?

Pada bagian ini, saya akan mencoba untuk menceritakan pengalaman saya dalam menulis. Tips ini bisa berlaku bagi Anda, tapi mungkin Anda memiliki cara yang lebih efektif. Here it goes..

Dalam menulis sebuah esai, saya biasa memulai dengan memberikan gambaran mengenai masalah atau isu yang saya angkat. Saya belajar cukup banyak mengenai hal ini pada saat menyusun skripsi saya. Dosen pembimbing saya selalu menekankan untuk mencari topik atau isu penelitian (atau esai) dari masalah yang terjadi di kehidupan. Ada dua alasan yang mendasari hal ini. Pertama, data mengenai masalah yang terjadi biasanya cukup banyak tersedia, baik yang sudah dieksplorasi maupun yang belum dieksplorasi. Kedua, dengan melakukan penelitian atau menulis esai mengenai isu yang benar-benar terjadi, kita bisa mencoba untuk menyelesaikan atau menjawab masalah yang ada. Manfaat penelitian menjadi praktis dan tepat guna. Namun, tidak mudah untuk menemukan topik atau isu yang cocok untuk dieksplorasi lebih lanjut. Oleh karena itu, saya menyarankan untuk banyak-banyak membaca koran. Dengan begitu, wawasan mengenai current issues akan bertambah dan memudahkan untuk mencari topik yang sesuai. Bagi saya, tahapan ini adalah tahapan yang cukup krusial dalam menulis karena topik lah yang menentukan kelangsungan penulisan akademis saya. Saya mencoba untuk mencari saran dari dosen-dosen saya. Ketika mereka merasa bahwa topik tersebut bisa dituliskan dalam bentuk esai akademis, barulah saya mulai menulis. Tentunya, saya mengajukan topik tidak hanya berupa judul, tetapi berupa framework tulisan sehingga dosen saya bisa mengerti apa yang ingin saya tunjukkan melalui esai saya. Sulit? Hmmm… tergantung. Pada awalnya saya seringkali bolak balik bertemu dan konsultasi dengan dosen untuk mendapatkan topik yang tepat. Ditolak sampai 3 kali? Biasa… Namun, lama-lama terbiasa juga mengira-ngira sendiri apakah topik yang saya pilih dapat dibahas dalam sebuah tulisan akademis.

Setelah topik saya dapatkan dan saya tuangkan dalam pendahuluan esai saya, saya akan membaca dan menulis mengenai teori-teori mendasar yang berhubungan dengan topik tersebut. Saya akan menghubungkan masalah yang ada di realita dengan apa yang tertulis di dalam teori. Disini, critical thinking mulai bisa digunakan. Lihat, apa sih perbedaan antara realita dengan teori yang idealis itu? Mengapa masalah bisa terjadi padahal teori-nya bilang begini? Selain itu, coba lihat faktor-faktor lain yang bisa jadi mempengaruhi isu tersebut. Open wide. Buka selebar-lebarnya kemungkinan yang ada. Lihat sisi ideal dari isu yang dihadapi. Pertanyakan berbagai hal sehingga langkah selanjutnya bisa dilakukan.

Ya, langkah selanjutnya adalah mengumpulkan dan menuliskan bukti-bukti. Setelah teori mendasar didapatkan dan dituliskan, mari beralih pada kasus-kasus spesifik yang relevan dengan topik atau isu yang Anda bahas. Disinilah peran dari jurnal-jurnal dan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Perhatikan konteks penelitian-penelitian tersebut, lihat perbedaan hasil penelitian, lihat metode apa yang digunakan, dan lihat kembali faktor-faktor eksternal yang mungkin mempengaruhi perbedaan-perbedaan yang ada. Jangan lupa, kaitkan kembali bukti-bukti yang Anda dapatkan dari jurnal dan penelitian terdahulu dengan isu yang Anda bahas. Analisis, kemudian simpulkan. Hal yang perlu diperhatikan pada bagian ini adalah bagaimana mengelaborasi berbagai penelitian yang ada untuk dituliskan dengan baik dan mudah dibaca. Saya pribadi merasa bahwa dengan membaca banyak jurnal, kemampuan melakukan elaborasi pun terlatih. Saya jadi semakin mudah untuk menemukan hubungan antara hasil-hasil penelitian dan menggabungkan bukti-bukti yang ada menjadi tulisan yang mudah dimengerti.

Setelah bukti-bukti terkumpul dan selesai dibahas dalam tulisan, saatnya untuk membuat kesimpulan. Hal yang saya lakukan biasanya adalah refleksi kembali mengenai isu yang saya angkat. Saya lihat dan pertimbangkan teori dan bukti yang ada untuk membuat kesimpulan mengenai argumen saya. Tentunya, argumen saya harus bisa dijustifikasi oleh bukti yang ada. Kunci di langkah ini adalah logika berpikir. Sudah benarkah kesimpulan yang saya ambil? Masih adakah ruang-ruang yang bisa digunakan untuk membantah argumen saya? Kalau ada, lalu apa yang harus saya lakukan? Kesalahan yang seringkali terjadi pada bagian ini adalah memperpanjang pembahasan setelah mengambil kesimpulan. Ingat, kesimpulan Anda harus valid and sound. Oleh karena itu, kesimpulan harus menjadi klimaks dari esai Anda. Jangan kemudian ditambahkan lagi teori-teori atau bukti penelitian lain. Jelaskan argumen Anda dan bukti-buktinya dengan tegas, lalu beri kalimat penutup.

Pada dasarnya, langkah-langkah di atas sudah cukup dalam penulisan akademis. Namun, biasanya ada beberapa dosen yang menginginkan lebih. Setelah argumen saya valid, lalu apa? Apa gunanya argumen yang valid tanpa ada follow up? Hal yang biasa saya tambahkan di akhir esai adalah saran. Saya akan memberikan saran yang relevan dengan isu yang saya bahas dan tentunya relevan dengan argumen saya. Tidak perlu panjang, satu paragraf pun cukup karena kita tidak perlu membuka diskusi lagi, kan? Basi, esainya sudah selesai!

Selamat menulis.

Jan 27, 2016

Academic Writing 101: Part 2

The Difficult Part: Critical Thinking

Setelah ketiga aspek mendasar dari academic writing dapat membuat esai Anda lulus kriteria dasar, kategori berikutnya yang perlu diperhatikan dalam menulis esai di tingkat pascasarjana di Britania Raya, dan mungkin di negara-negara lain, adalah seberapa baik analisis Anda mengenai suatu masalah. Disini, hal tersebut lebih populer dengan nama critical thinking.

Critical in University work means being thoughtful, asking questions, not taking things you read (or hear) at face value. It means finding information and understanding different approaches and using them in your writing.

Getting Critical (Pocket Study Skills), pviiii, Kate Williams

(http://www.ed.ac.uk/institute-academic-development/postgraduate/taught/learning-resources/critical)

Sebagai seseorang yang sejak kecil hingga perguruan tinggi bersekolah di Indonesia seperti saya, critical thinking adalah hal yang paling menantang saat menempuh jenjang pascasarjana. Ya, saya tidak terbiasa. Saya rasa, pandangan bahwa guru paling benar dan ilmu pengetahuan sebaiknya ‘ditelan’ saja mentah-mentah masih banyak membayangi saya pada awal berkuliah di Inggris. Sepertinya, sistem pendidikan di Indonesia pun hingga sekarang masih juga menggunakan pendekatan yang sama sehingga siswa tidak didorong untuk mencari ilmu pengetahuan dari berbagai sumber dan untuk bertanya. Saya beruntung karena pada masa kuliah S1, saya mendapatkan kesempatan untuk berlatih berpikir kritis (walaupun pada saat itu ya saya tidak dong juga). Setidaknya, saya tidak terlalu kaget walaupun masih kesulitan untuk melakukannya.

Salah satu cara yang ditempuh oleh beberapa universitas di Britania Raya untuk melatih kemampuan berpikir kritis para mahasiswa, terutama mahasiswa internasional, adalah dengan menyarankan mahasiswa untuk membaca berbagai buku mengenai keterampilan berpikir kritis dan menyelenggarakan kelas yang biasa disebut sebagai study skills class. Kelas seperti ini tidak populer di kalangan mahasiswa lokal, mungkin mereka sudah muak dengan pembahasan mengenai hal ini. Namun, bagi mahasiswa internasional, kelas tersebut bagai surga. Bagaimana tidak, berbagai keterampilan dilatih, mulai dari menulis, berpikir kritis, menulis referensi, sampai cara menggunakansoftware-software canggih untuk penelitian. Saya sangat menyarankan Anda untuk mengikuti kelas-kelas seperti ini untuk meningkatkan keterampilan akademis apabila universitas memang menyediakan fasilitas tersebut.

Apa sih sebenarnya mahluk bernama critical thinking ini? Seperti kutipan di atas, berpikir kritis berarti mempertanyakan segala sesuatu dan memperdalam pemahaman tentang suatu topik dengan mempertimbangkan berbagai perspektif yang ada. Berpikir kritis bukan berarti menolak suatu pandangan atau argumen, berpikir kritis adalah mempertanyakan. Pada bagian ini, saya akan mencoba memberikan beberapa tips untuk melatih kemampuan berpikir kritis. Beberapa tips yang saya sebutkan sudah pernah saya coba sendiri.

1.      Question EYERYTHING

Bagi saya pribadi, poin ini adalah inti dari critical thinking. Lihat anak kecil yang selalu bertanya ‘Ini apa?’ dan ‘Kenapa bisa begitu?’. Mereka sedang berlatih berpikir kritis, loh. Jadi, coba untuk mempertanyakan segala sesuatu, bahkan sesuatu yang sudah kita tahu. Kalau sudah merasa tahu tentang suatu hal, coba lihat dari sudut pandang lain, coba bertanya lagi. Salah satu hal yang menjadi kebiasaan saya pada saat berkuliah pascasarjana adalah menulis pertanyaan di buku catatan. Jujur saja, saya malas mencatat pada saat kuliah S2 karena hampir semua dosen sudah memberikan materi mereka online dan buku rujukan pun tersedia. Jadi, buku catatan atau hand out materi kuliah saya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan mengapa begini mengapa begitu untuk melatih saya berpikir kritis. Seringkali saya juga mendapatkan inspirasi untuk esai-esai saya dari corat coret saya saat mendengarkan dosen. Mungkin cara ini bisa juga Anda coba. Tidak sulit, kan?

Lalu, apa yang harus ditanyakan? Banyak sekali hal yang bisa ditanyakan. Mulai dari kata tanya yang paling tinggi derajatnya ‘mengapa’ hingga yang paling dangkal ‘masa sih?’. Dalam hal akademis seperti teori, pandangan, pendekatan, dan hasil penelitian, saya menyarankan untuk bertanya ‘Apa sih yang mendasari orang ini berkata demikian? Apa buktinya? Mengapa dia bisa mengambil kesimpulan seperti itu?’. Tidak sebentar saya berusaha mencerna konsep mempertanyakan ‘apa yang mendasari sesuatu’ ini. Baru pada saat dosen S2 saya yang bule tulen itu ‘memaksa’ saya untuk membaca buku Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia, baru saya menyadari bahwa maksudnya adalah melihat aspek ekstrinsik dari suatu argumen sehingga dapat melihatnya secara utuh, sesuai dengan konteksnya. Bukan secara pragmatis dan mengambil yang kita suka saja.

2.      Free yourself from judgment

Berpikir kritis juga berkaitan dengan melihat segala sesuatu dengan skeptis. Oleh karena itu, kecenderungan untuk mempercayai sesuatu juga perlu diminimalisir. Tentu saja, semua orang memiliki hak untuk berpihak pada suatu teori atau percaya pada suatu hal. Tapi, demi mahluk bernama critical thinking ini, saya harus membebaskan diri dari judgment tertentu. Bahkan suatu teori atau pandangan yang saya suka dan saya yakini pun harus saya pertanyakan.

Saya rasa, perumpamaan Hipotesis Nul dan Hipotesis Alternatif dalam penelitian bisa menggambarkan poin ini dengan cukup baik. Dalam penelitian ilmiah dengan pendekatan kuantitatif positivis, peneliti diminta untuk membuat dua jenis hipotesis, yaitu Hipotesis Nul yang berisi pernyataan netral mengenai prediksi hasil penelitian dan Hipotesis Alternatif yang berisi pernyataan tidak netral mengenai prediksi penelitian. Lalu, peneliti mengambil data dan menganalisis data tersebut dalam konteks Hipotesis Nul. Jadi, yang diuji adalah pandangan netral, bukan pandangan dengan judgment tertentu. Pendekatan ini juga lah yang harus digunakan pada saat berpikir kritis. Saya sendiri selalu mencoba untuk berhati-hati saat membentuk argumen, bahkan opini saya pribadi, karena saya tahu bahwa selalu ada sudut pandang lain yang berbeda dengan sudut pandang saya dan selalu ada kemungkinan bahwa apa yang saya yakini tidak tepat (Hmmm… aneh juga paragraf ini dimulai dengan pendekatan positivis dan ditutup dengan pendekatan relativis). Ya, intinya seimbang lah dalam berpikir, lepaskan diri dan pikiran dari judgment.

3.      Reading before writing

Anda suka membaca? Suka atau tidak, berkuliah pascasarjana mewajibkan Anda untuk membaca. Betul? Kebiasaan membaca hanya ketika diminta dosen dan ketika akan ujian harus dibuang jauh-jauh.Kenapa? Coba jelaskan bagaimana Anda dapat membentuk argumen dan berpikir kritis tanpa dasar pengetahuan dan informasi yang luas. Bisa? Berpikir kritis membutuhkan usaha untuk mendalami suatu hal, melihat berbagai perspektif, dan mempertanyakan banyak hal (yang tidak sekedar dipertanyakan tapi dicari jawabannya). Oleh karena itu, membaca sangat diperlukan. Dalam hal ini, membaca tidak diartikan secara sempit, ya. Mungkin bahasa yang lebih tepat adalah information literate. Saat ini, banyak sekali sumber yang tidak membosankan untuk mendapatkan informasi. Selain buku dan jurnal, media non-mainstream seperti video, program TV, surat kabar, talkshow, buku fiksi, dan siaran radio bisa digunakan sebagai sumber informasi ilmiah maupun non ilmiah. Coba mampir kehttps://www.ted.com/talks untuk melihat video yang berkaitan dengan minat Anda atau cek surat kabar harian online. Bahkan, saat ini di http://www.channel4.com/programmes/the-secret-life-of-4-5-and-6-year-olds ada sebuah penelitian mengenai perkembangan anak yang disiarkan online.Menarik dan tidak membosankan.

Nah, membaca pun tidak sekedar membaca dan menelan informasi. Lagi-lagi, kedua poin di atas harus kembali diperhatikan: mempertanyakan segala sesuatu dan tanpa judgment. Selain itu, perhatikan juga konteks tulisan karena tentunya perbedaan konteks bisa menyebabkan perbedaan hasil dan pandangan. Corat coret kembali bahan-bahan yang Anda baca. Pertanyakan lagi, cari lagi jawabannya.

Lalu, kapan berhenti membaca dan mulai menulis? Apa ada jumlah tertentu yang menjadi patokan? Berkaca dari pengalaman pribadi saya, biasanya saya akan mulai membaca dari teori-teori yang mendasar mengenai topik esai saya. Setelah itu, saya beralih ke bacaan yang lebih dalam mengenai topik tersebut untuk melihat dimana posisi argumen saya. Setelah merasa cukup memiliki dasar pengetahuan, saya akan mulai merancang framework penulisan saya. Saya akan mulai membuat poin-poin untuk struktur esai saya (lihat bagian sebelumnya dari tulisan ini). Sambil mulai menulis sedikit-sedikit, saya meneruskan membaca. Saya akan berhenti ketika informasi yang saya dapatkan sudah ‘jenuh’. Maksudnya, ketika saya sudah tidak bisa lagi menemukan informasi baru. Saat itulah saya akan berkonsentrasi menulis, menyudahi proses membaca saya.

Pengalaman saya sendiri, membaca merupakan hal yang sangat penting dalam mendukung proses penulisan esai-esai akademis saya. Saya membuka diri terhadap berbagai informasi dari berbagai sumber. Membaca berita menjadi kegiatan saya setiap hari. Selain itu, saya juga membaca buku rujukan dan jurnal-jurnal. Saat bosan, saya beralih ke TED talks. Sebagai contoh, untuk membuat satu esai dengan panjang 4000-6000 kata, saya biasanya membaca 100-150 rujukan. Hasilnya? Hard work pays off. Alhamdulillah, nilai saya cukup baik untuk ukuran mahasiswa internasional.

4.      Start with verb on your title

Tips keempat ini cukup ampuh digunakan ketika akan menulis esai. Saya mendapatkan tips ini dari kelas study skills saya di University of Hull. Contoh kata-kata yang diasosiasikan dengan critical thinkingadalah evaluating, critiquing, arguing, dan analyzing. Masih ada berbagai kata lain, tentunya. Lalu, mengapa harus memulai judul esai dengan kata-kata tersebut? Bagi saya sendiri, kata-kata tersebut berfungsi sebagai pengingat bahwa saya harus selalu menerapkan keterampilan berpikir kritis saya sepanjang pengerjaan esai. Dengan kata-kata pengingat tersebut, saya terus-menerus berusaha untuk melakukan pendekatan kritis terhadap topik yang saya diskusikan. Pretty straight forward, pretty easy.Sayangnya, tidak semua dosen memperbolehkan mahasiswa untuk menentukan judul esai secara individual. Tapi intinya adalah bagaimana pendekatan Anda akan sebuah topik lah yang menentukan apakah Anda telah berpikir secara kritis. Tanpa kata-kata tersebut di judul esai Anda, selama Anda memang bertujuan untuk menggunakan critical thinking dalam menulis esai, it should be just fine.

Tentunya masih banyak lagi tips mengenai cara mengasah kemampuan berpikir kritis. Silahkan cekwebsite universitas masing-masing karena biasanya ada panduan mengenai crtical thinking. Saya merasa critical thinking adalah backbone dari esai-esai saya. Tanpa critical thinking, esai saya cenderung deskriptif dan mungkin sudah dianggap seperti kacang goreng bagi para dosen.

Well, setelah penjelasan yang cukup abstrak di atas, saya akan memberikan salah satu contoh tulisan yang menggunakan critical thinking. Tulisan ini,http://izzadinillah.tumblr.com/post/51553369997/humanising-human, saya buat sebagai salah satu tugas portfolio di sebuah mata kuliah mengenai isu kontemporer dalam konteks pendidikan. Pada kuliah tersebut memang semua mahasiswa dituntut untuk membuat tulisan dengan menggunakancritical thinking setiap minggu. Mudah-mudahan dapat cukup menggambarkan bagaimana bentuk sebuah tulisan dengan critical analysis ya.

Fiuh, bagian tersulit sudah selesai,

now let’s get practical!

~ stay tuned

Jan 22, 2016

Academic Writing 101: Part 1

Beberapa kali saya mendapat pertanyaan bagaimana cara agar mendapatkan nilai distinction di esai yang dikumpulkan untuk tugas akhir suatu mata kuliah di perkuliahan pascasarjana di Inggris. Jelas, saya bukan ahlinya dalam hal ini. Banyak orang yang memiliki kredibilitas lebih untuk berbicara mengenai hal ini, bukan saya yang mendapatkan nilai distinction saja bisa dihitung dengan jari. Namun, saya ingin berbagi (disamping cape juga ya, menjawab pertanyaan yang sama berkali-kali) mengenai bagaimana menulis sebuah esai dengan standar academic writing yang baik. Untuk membuat tulisan ini, saya merujuk pada pengalaman saya, sebuah materi kuliah yang diberikan oleh Dr. Natalia Vershinina dari Birmingham Business School, kuliah online mengenai academic writing skills, dan berbagai websiteuniversitas terkemuka di Britania Raya (tautan dari website tersebut akan saya lampirkan kemudian). Berbagai sumber tersebut akan saya elaborasi untuk memberikan sedikit penjelasan mengenaiacademic writing. Tentunya, kalau Anda ingin penjelasan yang lebih terpercaya dan reliabel, silahkan datang ke academic support service yang pasti ada di setiap universitas. Mereka akan memberikan penjelasan dan arahan yang sangat membantu untuk meningkatkan keterampilan menulis akademis.

Pertama-tama, apa sih bedanya academic writing dan menulis biasa? Tentunya perbedaan paling mendasar adalah dalam hal tujuan penulisan. Namanya saja academic writing, tentu saja tujuan dari tulisan tersebut adalah untuk membahas suatu isu dari sudut pandang akademis. Lalu, ada banyak hal yang menjadi konsekuensi dari academic writing, seperti bahasa yang harus formal, logika berpikir yang harus jelas, dan tulisan yang menggunakan referensi yang baik. Etika penulisan dan etika ilmiah lain juga perlu diperhatikan, tentunya sesuai dengan bidang ilmu masing-masing.

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam academic writing. Saya akan membagi hal-hal tersebut ke dalam enam kategori. Ini adalah kategori saya pribadi, hasil dari elaborasi saya terhadap berbagai sumber yang telah disebutkan. Kategori-kategori tersebut adalah dasar academic writing, critical thinking, menulis argument dalam academic writing, fokus penulisan, konsultasi pada ahli, dan latihan menulis.

Dasar Academic Writing

Apabila Anda pernah mengikuti kelas persiapan IELTS, tentunya Anda pasti pernah mendengar mengenai dasar academic writing. Terdapat tiga bagian dari academic writing, yaitu content, organization, dan language – isi, struktur, dan bahasa. Untuk membuat sebuah tulisan yang baik, secara umum, ketiga hal tersebut harus dipenuhi. Bagi saya, ketiga hal tersebut tidak hanya harus ada di dalamacademic writing, tetapi dalam semua bentuk tulisan.

1.      Isi

Isi dari tulisan adalah nyawa. Menurut saya, ini adalah hal yang menentukan keberhasilan tulisan. Isi dari sebuah esai akademis harus bisa menjawab pertanyaan atau permasalahan yang menjadi fokus dari tulisan tersebut. Tentunya, pertanyaan atau permasalahan tersebut tertuang di judul esai yang ditulis. Isi sebuah tulisan akademis biasanya terdiri dari teori, ide, bukti, dan contoh-contoh yang relevan dengan topik yang diangkat. Tulisan dengan isi yang tidak relevan tidak akan mendapatkan nilai yang baik, meskipun memiliki struktur yang baik dan ditulis dengan bahasa yang sempurna.

2.      Struktur

Struktur esai mencerminkan logika berpikir si penulis. Walaupun isi dari esai tersebut sangat baik, apabila tidak didukung dengan struktur yang jelas dan tepat, tentu orang yang membaca akan sulit mengerti tulisan tersebut. Secara umum, struktur dari sebuah esai akademis terdiri dari pendahuluan, isi, dan kesimpulan. Seluruh bagian tulisan harus terkait satu sama lain sehingga pembaca dapat mengerti alur berpikir si penulis. Berkesinambungan, bahasa sederhananya.

Bagian pendahuluan sebaiknya berisi mengenai pengenalan topik yang dibahas di esai dan alur penulisan esai tersebut. Bagi saya, pendahuluan harus dibuat dengan menarik dan harus menggunakan bahasa yang sederhana sehingga pembaca tidak mundur teratur. Siapa yang suka dihadapkan dengan tulisan yang dari awal saja sudah membuat pusing kepala?

Kemudian, bagian isi merupakan diskusi penulis mengenai topik yang diangkat. Bagian ini harus pelan-pelan mengarahkan pembaca kepada jawaban dari masalah atau argument penulis terhadap isu tertentu. Biasanya, bagian ini adalah bagian yang paling susah, sekaligus paling mudah. Mengapa? Susah karena menyusun diskusi dari berbagai teori dan hasil penelitian hingga menjadi suatu bagian yang mengalir dengan baik dan mudah dimengerti bukanlah hal yang sederhana. Mudah, karena di bagian ini, penulis tidak perlu sering-sering memutar otak untuk menyampaikan argumen pribadi. Kunci di bagian ini adalah kemampuan elaborasi dan kemampuan untuk melakukan paraphrase.

Akhir dari sebuah esai akademis adalah kesimpulan. Setelah pusing-pusing merangkai bagian diskusi, kesimpulan ini biasanya tidak lebih dari satu atau dua kalimat. Cape-cape menulis 2000 kata hanya sekalimat lah jadinya. Kesimpulan adalah jawaban dari pertanyaan yang dibahas di dalam esai tersebut. Kesimpulan juga bisa merupakan argumen si penulis mengenai suatu topik. Tentunya, kesimpulan didapatkan dengan mempertimbangkan berbagai hal yang sebelumnya didiskusikan di bagian isi esai. Pengalaman saya, seringkali orang-orang susah untuk move on dari pembahasan sehingga di kesimpulan pun, masih ada sedikit-sedikit pembahasan colongan. Hal ini sebaiknya dihindari karena kesimpulan harusnya menutup esai, bukannya membuka diskusi kembali. Selain kesimpulan, pada bagian akhir esai, Anda juga bisa menambahkan sedikit saran terhadap topik yang dibahas.

Saya selalu melihat struktur sebuah esai seperti cermin (well, at least di bayangan saya ini seperti cerita cermin cekung-cembung pada saat SMP). Bagian pendahuluan menceritakan suatu topik secara fokus, lalu melebar untuk eksplorasi berbagai teori dan hasil penelitian mengenai topik tersebut. Lalu, menuju akhir dari esai, fokus kembali menyempit untuk menarik kesimpulan dari diskusi. Akhirnya adalah suatu titik, titik fokus dari cermin (atau lensa atau apalah itu, saya tidak jago fisika). Mudah-mudahan penjelasan ini bisa Anda mengerti, despite perumpamaan saya yang abstrak.

3.      Bahasa

Aspek ini adalah yang biasanya paling ditakuti oleh international students. Iya lah, secara bahasa Inggris bukan bahasa utama yang digunakan sehari-hari. Mungkin, esai-esai saat pascasarjana ini adalah percobaan pertama menulis dalam bahasa Inggris formal. Masalahnya, concern yang paling besar ini, justru kontributor paling kecil dalam nilai. Ya, tentunya bahasa yang tidak bisa dimengerti akan membuat esai Anda gagal karena si penilai tidak mampu mencerna apa yang Anda sampaikan. Tapi, ketika bahasa Anda cukup bisa dimengerti, salah-salah sedikit di bagian grammar masih bisa ditoleransi (wah, ini tapi bahaya ya, terhadap kelangsungan bisnis proofreading saya). Aspek bahasa tidak hanya mencakup grammar, tapi juga kosa kata yang Anda gunakan. Keluasan dan ketepatan kosa kata yang digunakan akan menjadi nilai lebih. Kebanyakan proofreader berperan penting di aspek ini, meskipun ada juga lembaga proofreader professional yang menyediakan layanan yang lebih komprehensif untuk memberikan masukan mengenai aspek-aspek lain dari esai akademis Anda – dengan biaya yang lebih, tentunya.

Tulisan yang memperhatikan ketiga aspek diatas adalah tulisan yang baik. Saya jamin, Anda tidak akan tidak lulus. Tapi, kita tidak hanya mencari lulus, kan? Kita mencari distinction! (Iya, bermimpi setinggi langit itu wajib supaya kalau gagal, jatuhnya di merit, ya kan?). Nah, kategori-kategori selanjutnya lah yang menentukan seberapa baik nilai kelulusan Anda.

~ stay tuned

Jan 22, 2016