Academic Writing 101: Part 2

The Difficult Part: Critical Thinking

Setelah ketiga aspek mendasar dari academic writing dapat membuat esai Anda lulus kriteria dasar, kategori berikutnya yang perlu diperhatikan dalam menulis esai di tingkat pascasarjana di Britania Raya, dan mungkin di negara-negara lain, adalah seberapa baik analisis Anda mengenai suatu masalah. Disini, hal tersebut lebih populer dengan nama critical thinking.

Critical in University work means being thoughtful, asking questions, not taking things you read (or hear) at face value. It means finding information and understanding different approaches and using them in your writing.

Getting Critical (Pocket Study Skills), pviiii, Kate Williams

(http://www.ed.ac.uk/institute-academic-development/postgraduate/taught/learning-resources/critical)

Sebagai seseorang yang sejak kecil hingga perguruan tinggi bersekolah di Indonesia seperti saya, critical thinking adalah hal yang paling menantang saat menempuh jenjang pascasarjana. Ya, saya tidak terbiasa. Saya rasa, pandangan bahwa guru paling benar dan ilmu pengetahuan sebaiknya ‘ditelan’ saja mentah-mentah masih banyak membayangi saya pada awal berkuliah di Inggris. Sepertinya, sistem pendidikan di Indonesia pun hingga sekarang masih juga menggunakan pendekatan yang sama sehingga siswa tidak didorong untuk mencari ilmu pengetahuan dari berbagai sumber dan untuk bertanya. Saya beruntung karena pada masa kuliah S1, saya mendapatkan kesempatan untuk berlatih berpikir kritis (walaupun pada saat itu ya saya tidak dong juga). Setidaknya, saya tidak terlalu kaget walaupun masih kesulitan untuk melakukannya.

Salah satu cara yang ditempuh oleh beberapa universitas di Britania Raya untuk melatih kemampuan berpikir kritis para mahasiswa, terutama mahasiswa internasional, adalah dengan menyarankan mahasiswa untuk membaca berbagai buku mengenai keterampilan berpikir kritis dan menyelenggarakan kelas yang biasa disebut sebagai study skills class. Kelas seperti ini tidak populer di kalangan mahasiswa lokal, mungkin mereka sudah muak dengan pembahasan mengenai hal ini. Namun, bagi mahasiswa internasional, kelas tersebut bagai surga. Bagaimana tidak, berbagai keterampilan dilatih, mulai dari menulis, berpikir kritis, menulis referensi, sampai cara menggunakansoftware-software canggih untuk penelitian. Saya sangat menyarankan Anda untuk mengikuti kelas-kelas seperti ini untuk meningkatkan keterampilan akademis apabila universitas memang menyediakan fasilitas tersebut.

Apa sih sebenarnya mahluk bernama critical thinking ini? Seperti kutipan di atas, berpikir kritis berarti mempertanyakan segala sesuatu dan memperdalam pemahaman tentang suatu topik dengan mempertimbangkan berbagai perspektif yang ada. Berpikir kritis bukan berarti menolak suatu pandangan atau argumen, berpikir kritis adalah mempertanyakan. Pada bagian ini, saya akan mencoba memberikan beberapa tips untuk melatih kemampuan berpikir kritis. Beberapa tips yang saya sebutkan sudah pernah saya coba sendiri.

1.      Question EYERYTHING

Bagi saya pribadi, poin ini adalah inti dari critical thinking. Lihat anak kecil yang selalu bertanya ‘Ini apa?’ dan ‘Kenapa bisa begitu?’. Mereka sedang berlatih berpikir kritis, loh. Jadi, coba untuk mempertanyakan segala sesuatu, bahkan sesuatu yang sudah kita tahu. Kalau sudah merasa tahu tentang suatu hal, coba lihat dari sudut pandang lain, coba bertanya lagi. Salah satu hal yang menjadi kebiasaan saya pada saat berkuliah pascasarjana adalah menulis pertanyaan di buku catatan. Jujur saja, saya malas mencatat pada saat kuliah S2 karena hampir semua dosen sudah memberikan materi mereka online dan buku rujukan pun tersedia. Jadi, buku catatan atau hand out materi kuliah saya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan mengapa begini mengapa begitu untuk melatih saya berpikir kritis. Seringkali saya juga mendapatkan inspirasi untuk esai-esai saya dari corat coret saya saat mendengarkan dosen. Mungkin cara ini bisa juga Anda coba. Tidak sulit, kan?

Lalu, apa yang harus ditanyakan? Banyak sekali hal yang bisa ditanyakan. Mulai dari kata tanya yang paling tinggi derajatnya ‘mengapa’ hingga yang paling dangkal ‘masa sih?’. Dalam hal akademis seperti teori, pandangan, pendekatan, dan hasil penelitian, saya menyarankan untuk bertanya ‘Apa sih yang mendasari orang ini berkata demikian? Apa buktinya? Mengapa dia bisa mengambil kesimpulan seperti itu?’. Tidak sebentar saya berusaha mencerna konsep mempertanyakan ‘apa yang mendasari sesuatu’ ini. Baru pada saat dosen S2 saya yang bule tulen itu ‘memaksa’ saya untuk membaca buku Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia, baru saya menyadari bahwa maksudnya adalah melihat aspek ekstrinsik dari suatu argumen sehingga dapat melihatnya secara utuh, sesuai dengan konteksnya. Bukan secara pragmatis dan mengambil yang kita suka saja.

2.      Free yourself from judgment

Berpikir kritis juga berkaitan dengan melihat segala sesuatu dengan skeptis. Oleh karena itu, kecenderungan untuk mempercayai sesuatu juga perlu diminimalisir. Tentu saja, semua orang memiliki hak untuk berpihak pada suatu teori atau percaya pada suatu hal. Tapi, demi mahluk bernama critical thinking ini, saya harus membebaskan diri dari judgment tertentu. Bahkan suatu teori atau pandangan yang saya suka dan saya yakini pun harus saya pertanyakan.

Saya rasa, perumpamaan Hipotesis Nul dan Hipotesis Alternatif dalam penelitian bisa menggambarkan poin ini dengan cukup baik. Dalam penelitian ilmiah dengan pendekatan kuantitatif positivis, peneliti diminta untuk membuat dua jenis hipotesis, yaitu Hipotesis Nul yang berisi pernyataan netral mengenai prediksi hasil penelitian dan Hipotesis Alternatif yang berisi pernyataan tidak netral mengenai prediksi penelitian. Lalu, peneliti mengambil data dan menganalisis data tersebut dalam konteks Hipotesis Nul. Jadi, yang diuji adalah pandangan netral, bukan pandangan dengan judgment tertentu. Pendekatan ini juga lah yang harus digunakan pada saat berpikir kritis. Saya sendiri selalu mencoba untuk berhati-hati saat membentuk argumen, bahkan opini saya pribadi, karena saya tahu bahwa selalu ada sudut pandang lain yang berbeda dengan sudut pandang saya dan selalu ada kemungkinan bahwa apa yang saya yakini tidak tepat (Hmmm… aneh juga paragraf ini dimulai dengan pendekatan positivis dan ditutup dengan pendekatan relativis). Ya, intinya seimbang lah dalam berpikir, lepaskan diri dan pikiran dari judgment.

3.      Reading before writing

Anda suka membaca? Suka atau tidak, berkuliah pascasarjana mewajibkan Anda untuk membaca. Betul? Kebiasaan membaca hanya ketika diminta dosen dan ketika akan ujian harus dibuang jauh-jauh.Kenapa? Coba jelaskan bagaimana Anda dapat membentuk argumen dan berpikir kritis tanpa dasar pengetahuan dan informasi yang luas. Bisa? Berpikir kritis membutuhkan usaha untuk mendalami suatu hal, melihat berbagai perspektif, dan mempertanyakan banyak hal (yang tidak sekedar dipertanyakan tapi dicari jawabannya). Oleh karena itu, membaca sangat diperlukan. Dalam hal ini, membaca tidak diartikan secara sempit, ya. Mungkin bahasa yang lebih tepat adalah information literate. Saat ini, banyak sekali sumber yang tidak membosankan untuk mendapatkan informasi. Selain buku dan jurnal, media non-mainstream seperti video, program TV, surat kabar, talkshow, buku fiksi, dan siaran radio bisa digunakan sebagai sumber informasi ilmiah maupun non ilmiah. Coba mampir kehttps://www.ted.com/talks untuk melihat video yang berkaitan dengan minat Anda atau cek surat kabar harian online. Bahkan, saat ini di http://www.channel4.com/programmes/the-secret-life-of-4-5-and-6-year-olds ada sebuah penelitian mengenai perkembangan anak yang disiarkan online.Menarik dan tidak membosankan.

Nah, membaca pun tidak sekedar membaca dan menelan informasi. Lagi-lagi, kedua poin di atas harus kembali diperhatikan: mempertanyakan segala sesuatu dan tanpa judgment. Selain itu, perhatikan juga konteks tulisan karena tentunya perbedaan konteks bisa menyebabkan perbedaan hasil dan pandangan. Corat coret kembali bahan-bahan yang Anda baca. Pertanyakan lagi, cari lagi jawabannya.

Lalu, kapan berhenti membaca dan mulai menulis? Apa ada jumlah tertentu yang menjadi patokan? Berkaca dari pengalaman pribadi saya, biasanya saya akan mulai membaca dari teori-teori yang mendasar mengenai topik esai saya. Setelah itu, saya beralih ke bacaan yang lebih dalam mengenai topik tersebut untuk melihat dimana posisi argumen saya. Setelah merasa cukup memiliki dasar pengetahuan, saya akan mulai merancang framework penulisan saya. Saya akan mulai membuat poin-poin untuk struktur esai saya (lihat bagian sebelumnya dari tulisan ini). Sambil mulai menulis sedikit-sedikit, saya meneruskan membaca. Saya akan berhenti ketika informasi yang saya dapatkan sudah ‘jenuh’. Maksudnya, ketika saya sudah tidak bisa lagi menemukan informasi baru. Saat itulah saya akan berkonsentrasi menulis, menyudahi proses membaca saya.

Pengalaman saya sendiri, membaca merupakan hal yang sangat penting dalam mendukung proses penulisan esai-esai akademis saya. Saya membuka diri terhadap berbagai informasi dari berbagai sumber. Membaca berita menjadi kegiatan saya setiap hari. Selain itu, saya juga membaca buku rujukan dan jurnal-jurnal. Saat bosan, saya beralih ke TED talks. Sebagai contoh, untuk membuat satu esai dengan panjang 4000-6000 kata, saya biasanya membaca 100-150 rujukan. Hasilnya? Hard work pays off. Alhamdulillah, nilai saya cukup baik untuk ukuran mahasiswa internasional.

4.      Start with verb on your title

Tips keempat ini cukup ampuh digunakan ketika akan menulis esai. Saya mendapatkan tips ini dari kelas study skills saya di University of Hull. Contoh kata-kata yang diasosiasikan dengan critical thinkingadalah evaluating, critiquing, arguing, dan analyzing. Masih ada berbagai kata lain, tentunya. Lalu, mengapa harus memulai judul esai dengan kata-kata tersebut? Bagi saya sendiri, kata-kata tersebut berfungsi sebagai pengingat bahwa saya harus selalu menerapkan keterampilan berpikir kritis saya sepanjang pengerjaan esai. Dengan kata-kata pengingat tersebut, saya terus-menerus berusaha untuk melakukan pendekatan kritis terhadap topik yang saya diskusikan. Pretty straight forward, pretty easy.Sayangnya, tidak semua dosen memperbolehkan mahasiswa untuk menentukan judul esai secara individual. Tapi intinya adalah bagaimana pendekatan Anda akan sebuah topik lah yang menentukan apakah Anda telah berpikir secara kritis. Tanpa kata-kata tersebut di judul esai Anda, selama Anda memang bertujuan untuk menggunakan critical thinking dalam menulis esai, it should be just fine.

Tentunya masih banyak lagi tips mengenai cara mengasah kemampuan berpikir kritis. Silahkan cekwebsite universitas masing-masing karena biasanya ada panduan mengenai crtical thinking. Saya merasa critical thinking adalah backbone dari esai-esai saya. Tanpa critical thinking, esai saya cenderung deskriptif dan mungkin sudah dianggap seperti kacang goreng bagi para dosen.

Well, setelah penjelasan yang cukup abstrak di atas, saya akan memberikan salah satu contoh tulisan yang menggunakan critical thinking. Tulisan ini,http://izzadinillah.tumblr.com/post/51553369997/humanising-human, saya buat sebagai salah satu tugas portfolio di sebuah mata kuliah mengenai isu kontemporer dalam konteks pendidikan. Pada kuliah tersebut memang semua mahasiswa dituntut untuk membuat tulisan dengan menggunakancritical thinking setiap minggu. Mudah-mudahan dapat cukup menggambarkan bagaimana bentuk sebuah tulisan dengan critical analysis ya.

Fiuh, bagian tersulit sudah selesai,

now let’s get practical!

~ stay tuned

Jan 22, 2016

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s