Academic Writing 101: Part 4

Yeay! Akhirnya ini adalah bagian terakhir dari Academic Writing 101. Pada bagian ini, saya akan berbagi beberapa tips yang mungkin kecil tapi perlu diperhatikan dan dilakukan saat menulis. Ada tiga hal yang didiskusikan pada bagian ini, yaitu mengenai fokus dalam menulis, pentingnya latihan, dan saran saya untuk berkonsultasi mengenai tulisan Anda. 

Don’t lose your focus

Seperti yang sudah dibahas di beberapa tulisan sebelumnya, esai yang baik adalah esai yang dapat menjawab pertanyaan mengenai suatu masalah dengan memberikan argumen yang logis dan tepat. Bagi saya, mendefinisikan permasalahan dan argumen adalah hal yang sangat penting sebelum mulai menulis esai. Mengapa? Karena tanpa tujuan penulisan yang jelas, esai akan kehilangan arah. Sialnya, esai yang kehilangan arah tidak akan menjawab pertanyaan, atau setidaknya tidak secara logis dan efisien menjawab pertanyaan. Oleh karena itu, perjelas dan pertajam masalah yang akan Anda bahas dalam esai Anda and stick to it!

Saya pernah mendapatkan saran dari seorang dosen S2 saya mengenai penulisan esai. Ia menyebutkan bahwa topik sebuah esai harus sempit dan pembahasan esai harus dalam. Salah satu esai yang mungkin tidak akan dinilai terlalu baik adalah esai yang membahas suatu permasalahan secara umum dan hanya di permukaan. Cobalah untuk meminimalisir deskripsi dan memperbanyak analisis. Pengalaman saya sendiri, bagian-bagian deskriptif dari esai akademis yang saya tulis biasanya hanya ada pada pendahuluan. Sisanya, saya mengelaborasi berbagai bukti dan contoh untuk mendukung argumen saya.

Salah satu cara yang cukup bermanfaat adalah dengan menggunakan kerangka tulisan dan mencocokkan informasi yang dimiliki ke dalam kerangka tulisan tersebut. Apabila informasi tertentu tidak dapat diklasifikasi ke dalam kerangka tulisan, bisa jadi memang informasi tersebut kurang relevan dan harus dihapus. Sedih memang untuk membuang informasi yang sudah susah-susah dicari. Believe me, saya pernah membuang setengah dari informasi yang saya miliki hasil dari membaca puluhan buku karena ternyata informasi tersebut tidak tepat untuk ditulis di dalam esai saya.

Kendala yang sering dihadapi dan membuat seseorang kehilangan fokus dalam penulisan esai adalah adanya ekspektasi jumlah kata yang dituliskan pada esai. Tentunya, sebagian besar esai akademis yang menjadi tugas dari suatu mata kuliah memiliki kriteria tertentu. Kalau sebagian informasi sudah dibuang karena tidak relevan, lalu bagaimana esai saya bisa mencapai kriteria yang diminta? Lagi-lagi, BACA. Baca lagi, cari lagi, eksplorasi lagi. Kalau tidak ada lagi yang bisa dilakukan? Mungkin memang topik yang dipilih kurang tepat atau tidak cukup ‘kaya’ untuk ditulis sebagai esai.

Latihan

Bahasa adalah keterampilan. Saya sudah pernah membahas hal ini di tulisan saya dengan judul yang berbeda. Karena bahasa adalah keterampilan, maka ia membutuhkan latihan. Saya, Anda, semua orang perlu berlatih agar lancar berbahasa. Pernah mengalami kesulitan menggunakan bahasa Inggris karena sudah lama tidak digunakan? Begitupun halnya dengan menulis, sebagai salah satu aspek dari keterampilan berbahasa. Menulis juga butuh latihan.

Banyak sekali cara untuk berlatih menulis. Meskipun bukan dalam konteks akademis, menulis lepas pun bisa dijadikan sarana untuk berlatih menulis akademis. Setidaknya, kaidah dasar penulisan pun masih selalu harus digunakan pada saat menulis. Misalnya, tulisan harus bertujuan, harus ada pendahuluan dalam suatu tulisan, harus ada pula kesimpulan. Mungkin cara yang cukup dapat dilakukan untuk merutinkan diri berlatih menulis adalah dengan menulis buku harian (iya, ini tipikal anak SD). But really, it helps. Saya sendiri tidak menulis buku harian, tapi selalu mencoba untuk menggunakan kegiatan menulis sebagai pengisi waktu luang. Refleksi diri dan menuliskannya, menulis pendapat tentang suatu hal, atau mungkin menulis tentang hal yang menarik bagi saya. Baru-baru ini, saya menulis tentang hal yang menurut suami saya ‘pernyataan sikap’ terhadap suatu topik (http://izzadinillah.tumblr.com/post/138498316931/super-woman-called-mom). Bagi saya, menulis lebih baik daripada mengeluh, ngedumel di dalam hati, atau malah marah-marah sendiri.

Apabila sudah cukup terbiasa menulis, saya akan menyarankan Anda untuk membuat sebuah blog.Media ini cukup bermanfaat untuk menampung tulisan-tulisan yang dimiliki. Tujuannya tentu bukan untuk menambah follower atau mencari popularitas. Bagi saya, blog yang saya miliki berguna untuk mengingatkan saya agar menulis. Saat ini, salah satu hal yang sedang saya biasakan adalah menulis dalam bahasa Inggris setidaknya seminggu sekali. Oleh karena itu, saya pun membuat sebuah seri diblog saya, yang saya beri judul AdventureNotes (http://izzadinillah.tumblr.com/post/138270024166/adventurenotes-13-london-the-introduction). Karena merasa diwajibkan untuk menghidupkan blog saya, maka saya berusaha sekali untuk selalu menulis seri tersebut. Latihan, latihan, dan latihan menulis. Dengan berlatih, saya menjadi cukup lancar menulis dan selalu memperbaiki tulisan-tulisan saya.

Konsultasi

Saya sangat sangat menyarankan setiap orang yang menulis dalam bidang akademis untuk berkonsultasi. Konsultasi bisa dilakukan sebelum, di awal, pada saat menulis, dan setelah tulisan selesai. Pada saat saya sedang berkuliah S2, saya selalu berusaha untuk menyelesaikan tugas setidaknya seminggu sebelum tenggat waktu pengumpulan agar saya dapat berkonsultasi pada dosen saya, teman saya, atau orang lain yang dapat dimintai bantuan.

Dilemanya, terkadang manusia tidak suka dikritisi. Yes. Tapi, demi tulisan dan nilai yang baik, saya rela. Hasil konsultasi saya tidak selalu baik. Diminta mengganti topik esai setelah half way through the writing process? Pernah. Diminta untuk mengubah struktur esai saat sudah ¾ jadi? Pernah. Sedih, kesal, lelah… tidak ada rasa yang enak setelah menerima feedback negatif. Semua saya telan saja karena saya yakin, proses tersebut baik untuk saya pada akhirnya.

Jadi, saya menyarankan Anda untuk konsultasi pada orang yang Anda anggap mampu memberikan umpan balik yang tepat dan jujur dalam menilai tulisan Anda. Jangan minta ke saya ya, karena saya cukup galak ketika memberikan feedback sampai suami saya saja stress duluan kalau meminta saya membaca esainya.

Terima kasih sudah membaca tulisan yang sangat panjang ini. Sungguh, niatnya hanya ingin berbagi. Semoga berguna dan membantu Anda dalam menulis akademis, ya…

Happy writing!

Feb 04, 2016

Advertisement

Academic Writing 101: Part 3

Menulis

Ya, kedua bagian mengenai academic writing sebelumnya adalah bagian teori. Now, let’s get practical!Setelah mengetahui dasar tulisan akademis yang baik dan berlatih mengenai critical thinking, tentunyaacademic writing mengharuskan kita untuk menulis.

Kaidah penulisan akademis memang sedikit berbeda dengan penulisan non-akademis. Pada academic writing, penulis biasanya diminta untuk mengajukan suatu argumen atau pendapat mengenai suatu isu. Lalu, berbeda juga dengan tulisan saya ini, penulisan akademis mengharuskan si penulis untuk memberikan bukti-bukti yang mendukung argumen atau pendapatnya. Sulitnya, dalam critical thinking, kan kita diminta untuk objektif? Lalu bagaimana caranya?

Pada bagian ini, saya akan mencoba untuk menceritakan pengalaman saya dalam menulis. Tips ini bisa berlaku bagi Anda, tapi mungkin Anda memiliki cara yang lebih efektif. Here it goes..

Dalam menulis sebuah esai, saya biasa memulai dengan memberikan gambaran mengenai masalah atau isu yang saya angkat. Saya belajar cukup banyak mengenai hal ini pada saat menyusun skripsi saya. Dosen pembimbing saya selalu menekankan untuk mencari topik atau isu penelitian (atau esai) dari masalah yang terjadi di kehidupan. Ada dua alasan yang mendasari hal ini. Pertama, data mengenai masalah yang terjadi biasanya cukup banyak tersedia, baik yang sudah dieksplorasi maupun yang belum dieksplorasi. Kedua, dengan melakukan penelitian atau menulis esai mengenai isu yang benar-benar terjadi, kita bisa mencoba untuk menyelesaikan atau menjawab masalah yang ada. Manfaat penelitian menjadi praktis dan tepat guna. Namun, tidak mudah untuk menemukan topik atau isu yang cocok untuk dieksplorasi lebih lanjut. Oleh karena itu, saya menyarankan untuk banyak-banyak membaca koran. Dengan begitu, wawasan mengenai current issues akan bertambah dan memudahkan untuk mencari topik yang sesuai. Bagi saya, tahapan ini adalah tahapan yang cukup krusial dalam menulis karena topik lah yang menentukan kelangsungan penulisan akademis saya. Saya mencoba untuk mencari saran dari dosen-dosen saya. Ketika mereka merasa bahwa topik tersebut bisa dituliskan dalam bentuk esai akademis, barulah saya mulai menulis. Tentunya, saya mengajukan topik tidak hanya berupa judul, tetapi berupa framework tulisan sehingga dosen saya bisa mengerti apa yang ingin saya tunjukkan melalui esai saya. Sulit? Hmmm… tergantung. Pada awalnya saya seringkali bolak balik bertemu dan konsultasi dengan dosen untuk mendapatkan topik yang tepat. Ditolak sampai 3 kali? Biasa… Namun, lama-lama terbiasa juga mengira-ngira sendiri apakah topik yang saya pilih dapat dibahas dalam sebuah tulisan akademis.

Setelah topik saya dapatkan dan saya tuangkan dalam pendahuluan esai saya, saya akan membaca dan menulis mengenai teori-teori mendasar yang berhubungan dengan topik tersebut. Saya akan menghubungkan masalah yang ada di realita dengan apa yang tertulis di dalam teori. Disini, critical thinking mulai bisa digunakan. Lihat, apa sih perbedaan antara realita dengan teori yang idealis itu? Mengapa masalah bisa terjadi padahal teori-nya bilang begini? Selain itu, coba lihat faktor-faktor lain yang bisa jadi mempengaruhi isu tersebut. Open wide. Buka selebar-lebarnya kemungkinan yang ada. Lihat sisi ideal dari isu yang dihadapi. Pertanyakan berbagai hal sehingga langkah selanjutnya bisa dilakukan.

Ya, langkah selanjutnya adalah mengumpulkan dan menuliskan bukti-bukti. Setelah teori mendasar didapatkan dan dituliskan, mari beralih pada kasus-kasus spesifik yang relevan dengan topik atau isu yang Anda bahas. Disinilah peran dari jurnal-jurnal dan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Perhatikan konteks penelitian-penelitian tersebut, lihat perbedaan hasil penelitian, lihat metode apa yang digunakan, dan lihat kembali faktor-faktor eksternal yang mungkin mempengaruhi perbedaan-perbedaan yang ada. Jangan lupa, kaitkan kembali bukti-bukti yang Anda dapatkan dari jurnal dan penelitian terdahulu dengan isu yang Anda bahas. Analisis, kemudian simpulkan. Hal yang perlu diperhatikan pada bagian ini adalah bagaimana mengelaborasi berbagai penelitian yang ada untuk dituliskan dengan baik dan mudah dibaca. Saya pribadi merasa bahwa dengan membaca banyak jurnal, kemampuan melakukan elaborasi pun terlatih. Saya jadi semakin mudah untuk menemukan hubungan antara hasil-hasil penelitian dan menggabungkan bukti-bukti yang ada menjadi tulisan yang mudah dimengerti.

Setelah bukti-bukti terkumpul dan selesai dibahas dalam tulisan, saatnya untuk membuat kesimpulan. Hal yang saya lakukan biasanya adalah refleksi kembali mengenai isu yang saya angkat. Saya lihat dan pertimbangkan teori dan bukti yang ada untuk membuat kesimpulan mengenai argumen saya. Tentunya, argumen saya harus bisa dijustifikasi oleh bukti yang ada. Kunci di langkah ini adalah logika berpikir. Sudah benarkah kesimpulan yang saya ambil? Masih adakah ruang-ruang yang bisa digunakan untuk membantah argumen saya? Kalau ada, lalu apa yang harus saya lakukan? Kesalahan yang seringkali terjadi pada bagian ini adalah memperpanjang pembahasan setelah mengambil kesimpulan. Ingat, kesimpulan Anda harus valid and sound. Oleh karena itu, kesimpulan harus menjadi klimaks dari esai Anda. Jangan kemudian ditambahkan lagi teori-teori atau bukti penelitian lain. Jelaskan argumen Anda dan bukti-buktinya dengan tegas, lalu beri kalimat penutup.

Pada dasarnya, langkah-langkah di atas sudah cukup dalam penulisan akademis. Namun, biasanya ada beberapa dosen yang menginginkan lebih. Setelah argumen saya valid, lalu apa? Apa gunanya argumen yang valid tanpa ada follow up? Hal yang biasa saya tambahkan di akhir esai adalah saran. Saya akan memberikan saran yang relevan dengan isu yang saya bahas dan tentunya relevan dengan argumen saya. Tidak perlu panjang, satu paragraf pun cukup karena kita tidak perlu membuka diskusi lagi, kan? Basi, esainya sudah selesai!

Selamat menulis.

Jan 27, 2016