For you who just want to give up because postgraduate study is so damn difficult

Entah kenapa tetiba ingin menulis tentang hal ini. Kenapa? Well, sepertinya memang pembahasan mengenai bagaimana kuliah S2 tidak akan habis-habis. Setiap individu punya cerita, setiap individu go through a different path. Setelah adik saya menulis tentang “Siapa bilang kuliah di luar negeri enak”, rasanya ini adalah sudut pandang saya tentang bagaimana kehidupan S2 saya diwarnai dengan minggu-minggu ‘mainan oven’ hingga lelahnya kerja pada saat puasa di musim panas. Memang, kehidupan S2 penuh dengan tantangan, seperti teman saya yang baru saja bercerita “Pernah nggak sih mau nyerah aja kok kuliah gini-gini amat”.

Pernah dengar bahwa individu bisa berkembang ketika keluar dari zona nyaman? Ini bukan sekedar kata-kata motivator jargon seminar pengembangan diri. I truly believe that. Saat belajar mengenai psikologi kognitif, saya mengenal sebuah kata yang selalu saya ingat hingga sekarang: disonansi kognitif. Istilah tersebut berarti adanya kesenjangan antara apa yang diketahui atau diyakini dengan apa yang terjadi, dilakukan, atau dengan informasi baru yang didapatkan. Hal ini menyebabkan ketidaknyamanan yang dialami oleh individu sehingga ia ‘dipaksa’ untuk melakukan sesuatu agar ketidaknyamanan tersebut berkurang atau hilang. Disonansi kognitif, meskipun mungkin baru-baru ini saja istilahnya Anda atau saya kenal, ternyata sudah terjadi sejak bayi. Disonansi kognitif adalah cara belajar, cara untuk memperbaiki lagi struktur pengetahuan yang dimiliki lagi, cara untuk menyesuaikan lagi sikap yang dimiliki, dan cara untuk mengubah perilaku. Namun, saya selalu ingat bahwa disonansi kognitif selalu menimbulkan ketidaknyamanan. Dari pengetahuan ini, saya menyimpulkan bahwa kita tidak belajar apabila tidak mengalami ketidaknyamanan yang berasal dari disonansi kognitif.

Intinya? Ya belajar itu tidak nyaman, ingin menjadi lebih baik dan mencapai mimpi itu memang harus keluar dari zona nyaman karena mahluk bernama disonansi kognitif ini. Lagipula, apa rasanya lulus tanpa perjuangan? Gitu-gitu aja lah pastinya… Justru yang terkenang adalah perjuangannya, kan?

Ketika ditanya, pernah nggak sih mau nyerah aja karena nggak kuat kuliah S2? Honestly, no. Entah kenapa saya tidak pernah merasa perkuliahan yang menyita waktu dan bikin pengen nangis itu nyaris membuat saya menyerah. Not at all. Tapi, saya juga tidak mengatakan bahwa masa perkuliahan saya mudah. Not at all. Jadi maunya apa, Za? I’d say… challenging.

Kuliah S2 itu sulit, Jenderal! Bagi saya yang berkuliah S2 di luar negeri, sulitnya bertambah-tambah karena harus juga beradaptasi dengan budaya sosial dan budaya akademis. Saya harus membangun hubungan baik dengan teman-teman yang berasal dari seluruh belahan dunia, yang tentunya tidak semua memiliki value yang sama dengan saya. Saya harus beradaptasi dengan cara berinteraksi orang-orang lokal, berusaha menjaga nama baik negara saya (ya, disini saya merasa nasionalis – hal yang kadang-kadang saja saya rasakan, hehehe…). Dalam hal budaya akademis, adaptasi yang dilakukan jauh lebih sulit dan jauh lebih banyak. Menggunakan bahasa Inggris dalam keseharian, dalam konteks akademis tentunya merupakan tantangan. Bahkan bagi orang-orang yang lancar berbahasa Inggris, hal ini bisa jadi cukup sulit. Belum lagi dengan materi-materi kuliah yang ada, bagaimana mahasiswa dituntut untuk berpikir kritis, dan bagaimana tugas beribu-ribu kata menunggu untuk dikerjakan.

Salah satu hal yang saya sangat rasakan pada saat berkuliah S2 adalah saya jadi rajin membaca. Bukan hanya reading list yang seabrek-abrek, individual research pun harus dilakukan untuk menambah wawasan. Mengapa? Karena kuliah disini mengharuskan mahasiswa untuk aktif berdiskusi. Masuk kelas dengan 0 pengetahuan? A big NO. Belum lagi membaca untuk mengerjakan tugas-tugas esai yang sungguh sangat banyak itu. Pastinya, seperti mungkin semua mahasiswa S2 disini, saya mau menangis saja. Trik saya adalah memanfaatkan waktu. Saya menempel sebuah post-it di meja belajar saya dengan tulisan ‘If you are not doing something great, do something useful’. Cukup berhasil untuk mengingatkan saya agar tidak menyia-nyiakan waktu. Dari waktu bangun saya, mungkin 70% saya habiskan untuk membaca.

Saya cukup beruntung (atau tidak beruntung, ya?) karena 100% nilai mata kuliah saya ditentukan oleh nilai esai saya. Setiap mata kuliah mengharuskan saya menulis esai 4000-6000 kata sebagai tugas akhir. Dalam satu semester, saya mengikuti 4-5 mata kuliah. Jadi, at the end of semester, saya harus mengumpulkan tulisan yang kalau ditotal jumlahnya adalah 25000 kata. Mau pingsan. Nggak kebayang sih bagaimana teman-teman yang masih ada pula tugas kelompok, presentasi, dan ujian. Lebih mau pingsan. Start early adalah kuncinya. Saya selalu berusaha memulai menulis esai right after the semester starts. Itu pun, biasanya 1-2 minggu sebelum pengumpulan tugas saya harus rela ‘mainan oven’ karena tidak sempat memasak. Beli frozen food yang tinggal di oven lah yang jadi solusi bagi saya. Nggak heran ya, sepanjang kuliah S2 berat badan saya turun drastis hingga 10-15kg. Lumayan, diet tanpa usaha. Saran saya sih, banyak-banyak konsultasi ke dosen mata kuliah agar dapat mengerjakan tugas sesuai dengan ekspektasi. Tidak sekali dua kali tugas saya yang sudah ditulis hingga 1000 kata lalu ditolak mentah-mentah oleh dosen dan saya harus menulis ulang lagi dari awal. Sedih, ya? But that’s life.

Di semester kedua, mahasiswa yang berkuliah S2 dalam waktu 1 tahun harus mulai memikirkan disertasi (disini disebut disertasi untuk S2, instead of tesis seperti di Indonesia). Tentu pusinya bertambah-tambah. Lagi-lagi, start early. Saya sendiri mulai berkonsultasi dengan dosen pembimbing saya sejak bulan Januari dan mulai menulis disertasi saya sejak bulan Februari. Penelitian saya berapa lama? 4 bulan, saudara-saudara. 4 bulan saya bolak-balik mengambil data di sebuah sekolah sambil berkuliah dan sambil bekerja (ya, sotoy nya saya adalah udah tau sibuk tetep aja mau kerja demi jalan-jalan). Pastinya ada saat-saat saya tidak mau bangun pagi karena lelah, maunya santai, maunya tidur aja, dan bertanya-tanya ‘kok hidup gue gini-gini amat?’. So little time so much to do. Trik saya? Hadapi saja! The whole thing will all pass. Fokus dengan tujuan, luruskan niat.

At the end, semua usaha yang dikeluarkan akan terbayar. Pada akhirnya, disonansi kognitif itu berakhir, ketidaknyamanan itu berkurang, dan tujuan tercapai. Equilibrium, keseimbangan antara apa yang diketahui dan apa yang terjadi. Keseimbangan antara tujuan dan hasil. Hopefully. Saya pun tidak sadar seberapa banyak hal yang sudah saya kerjakan, seberapa banyak hal yang sudah saya alami, dan seberapa berharganya pengalaman saya kalau saja teman serumah saya dulu baru-baru ini bercerita. Saat itu, saya sedang mengunjungi kota tempat saya berkuliah dulu dan bertemu dengan teman saya tersebut. ‘I don’t know how you’ve done all those things in a year! Studying, doing your dissertation, working, volunteering, and travelling. You’ve always been busy but you also always have time to hang around and chat. Dan sejujurnya, saya pun tidak tahu, saya pun tidak sadar bagaimana cara saya melakukan semua hal tersebut dulu. Ternyata bisa ya, melakukan itu semua walaupun dengan acara nangis-nangis di depan buku dan laptop.

So, for you who just want to give up because postgraduate study is so damn difficult, you just have to push through. You are capable of what you are doing and this all shall pass. At the end, you won’t believe how much you’ve learned and how much you’ve gained. Good luck!

Feb 01, 2016

Advertisement

Super Woman Called Mom

Entah kenapa masih aja ya, perdebatan tentang working mom vs stay at home mom marak. Mulai dari cerita dan pendapat yang mendukung ibu rumah tangga dan mungkin yang agak nyinyir tentang ibu bekerja, hingga cerita tentang usaha keras ibu bekerja yang membela diri dari pandangan negatif yang ditujukan pada mereka. Susah memang, budaya di Indonesia yang cukup kental oleh konsep patriarki dan kemudian diterjang modernisasi kemudian membuat banyak orang bingung mengenai jati diri, termasuk wanita.

Rasanya tergelitik sekali ingin menulis ini, terlebih setelah diskusi di sebuah grup Whatsapp saya. Pastinya saya belum qualified ya, untuk bercerita tentang pengalaman saya karena saya belum menjadi seorang ibu. Tapi, saya punya dua orang wanita super yang memilih dua jalan berbeda, ibu saya dan mama mertua saya. Bagi saya, both are super women called moms.

Menarik sekali membaca artikel-artikel berisi pengalaman para ibu rumah tangga yang mendedikasikan waktu mereka untuk keluarga. Mereka mencurahkan tenaga dan pikiran dengan sepenuh hati untuk membangun keluarga yang baik. Bagi saya, cara para ibu rumah tangga mendidik anak-anak mereka harus diapresiasi. Dari banyak artikel yang saya baca, anak-anak dari para ibu rumah tangga tumbuh menjadi anak yang sukses. Mereka berkembang dengan baik, penuh dengan kasih sayang dan perhatian yang berlimpah dari para ibu. Melihat beberapa teman saya yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, saya mengerti mereka sangat paham perkembangan anak mereka, pengetahuan terbaru tentang perkembangan anak, dan kreatif dalam memberikan yang terbaik bagi anak-anak mereka. Tentunya, disini saya mengkategorikan ibu rumah tangga sebagai ibu yang memang mengurus anak mereka sendiri, ya… Bukan ibu-ibu tidak bekerja yang memiliki pengasuh khusus bagi anak mereka.

Saya juga kagum terhadap para ibu bekerja yang sepertinya punya tenaga ekstra hingga sanggup melakukan banyak hal sendiri. Beberapa artikel mengenai ibu bekerja yang saya baca menceritakan perjuangan para ibu bekerja ini – yang mudah-mudahan bukan ‘tumpangan’ keluhan mereka ya… Semoga semua ibu bekerja ikhlas dalam menjalankan semua peran mereka. Membaca dan melihat sendiri pengalaman ibu bekerja kadang-kadang membuat saya membayangkan bagaimana rasanya harus ‘membelah diri’ agar bisa memenuhi semua tuntutan, bagaimana rasanya meninggalkan anak yang sakit karena sudah tidak ada cuti, atau bagaimana harus ‘kabur’ dari kantor agar bisa cepat pulang ke rumah dan mengurus keluarga. Pastinya bukan perjuangan yang mudah.

Selalu ada dua, atau lebih, perspektif yang harus dilihat ketika berargumen, bukan? Melihat kedua sisi tersebut, saya yakin sekali bahwa setiap ibu memiliki alasan masing-masing saat memilih untuk menjadi ibu rumah tangga atau menjadi ibu bekerja. Saya juga yakin, mereka pasti tahu konsekuensi atas pilihan mereka. We cannot judge because we are not on their shoes, right? Semua orang punya preferensi masing-masing, setiap orang punya alasan masing-masing. Jangan paksakan, jangan salahkan karena semua ibu pasti berjuang demi keluarga. Bagi saya, pilihannya bukan di bagian menjadi ibu rumah tangga atau menjadi ibu bekerja, tetapi di bagian keluarga seperti apa yang ingin dibangun, anak-anak seperti apa yang ingin dibesarkan. Bagaimana caranya, tentu akan tergantung pada kondisi masing-masing keluarga dan individu.

Siapa bilang anak-anak dengan ibu yang fokus mengurus mereka pasti berhasil? Tidak ada jaminan juga. Siapa bilang ibu rumah tangga tidak memiliki keterampilan dan kapabilitas untuk bermanfaat bagi komunitas yang lebih luas? Siapa bilang ibu rumah tangga kerjanya leha-leha di rumah tanpa pekerjaan berat? Mama mertua saya seorang ibu rumah tangga. Sejak menikah, ia memilih untuk tinggal di rumah mengurus anak-anak. Santai? Haha tentunya tidak. Dengan 4 orang anak yang sibuk luar biasa di tempat kursus, organisasi, dan sekolah, Mama sibuk mengurus semua kebutuhan anak-anaknya. Bangun super pagi untuk memasak bekal (ya, Mama memasak sendiri walaupun ada pembantu rumah tangga di rumah) bagi anak-anaknya, mencari informasi terbaru untuk pengembangan diri anak-anaknya, hingga ikut sibuk ketika anak-anaknya akan ujian. Melihat keseharian Mama, saya melihat bagaimana ibu rumah tangga pun update terhadap informasi yang ada dan selalu membangun hubungan baik dengan para ibu lain. Mengapa? Agar ia bisa mengobrol, berkomunikasi dengan anak-anak serta suaminya. Mama adalah seorang ibu yang cerdas, yang selalu memberikan masukan berarti bagi suami dan anak-anaknya. Jadi, siapa bilang menjadi ibu rumah tangga itu mudah?

Siapa bilang anak-anak dengan ibu bekerja kurang perhatian? Belum tentu! Siapa bilang ibu bekerja hanya fokus pada karir mereka dan membiarkan anak-anak mereka diasuh oleh pembantu, pengasuh, atau nenek-kakek? Siapa bilang ibu bekerja pulang ke rumah tinggal beristirahat? Saya anak dari seorang ibu bekerja. Jawaban dari pertanyaan di atas adalah tidak. Sejak kecil, saya terbiasa di rumah tanpa Ibu, tapi saya ingat bahwa setiap siang Ibu selalu menelepon rumah untuk absen. Saya juga terbiasa mandiri dan belajar tanpa disuruh oleh Ibu, tapi setiap pulang kerja, ibu selalu ada untuk mengecek hasil belajar dan PR saya. Dan ibu bekerja, harus melawan stigma yang ada di masyarakat, yang semoga sekarang sudah mulai berkurang, bahwa anak-anak mereka tidak terurus dan tidak mungkin berprestasi. Saya ingat, Ibu saya pernah bercerita bahwa guru SD saya tidak percaya saya bisa mendapatkan nilai bagus dan curiga bahwa saya seringkali mencontek teman saya yang ibunya ada di rumah. Kalau jadi Ibu, saya sih akan marah luar biasa. Indeed, stok sabar dan tenaga ibu bekerja pun harus super banyak. Selain mengecek hasil belajar saya, Ibu tidak pernah absen membacakan dongeng atau cerita apa pun sebelum saya tidur, hingga saya duduk di kelas atas SD. Jadi, siapa bilang menjadi ibu bekerja berarti tidak perhatian pada anaknya?

Dua sisi dari satu koin. Mereka sama-sama ibu. Anak dan keluarga adalah dua hal yang menjadi fokus dari hidup mereka. At least pada kasus kedua ibu yang saya ceritakan, ya… Keduanya memiliki cara yang berbeda untuk memberikan yang terbaik bagi keluarga. Apa kesamaan dari kedua ibu tersebut? Doa. Mama dan Ibu selalu berdoa untuk anak-anak mereka. Saya tahu persis bahwa Ibu tidak pernah absen bangun tengah malam untuk mendoakan keluarganya. Saya pun tahu bahwa Mama akan bangun malam untuk mendoakan kemudahan urusan anak-anaknya.

Lalu, siapa kita yang berani menilai mana yang lebih baik? Mengapa tidak kita hargai semua ibu di dunia yang berdoa untuk keluarga mereka? Apa pun cara mereka, apa pun pilihan mereka, yakinlah semua ibu ingin memberikan yang terbaik bagi keluarga mereka, bagi anak-anak mereka.

Feb 02, 2016

AdventureNotes #14: Artsy London

As promised, this one, and the upcoming AdventureNotes will be about London. I think, London is a city in which art is a major part. Therefore, this first exploration about London will be on art. Artsy London. If you are an art person, London is heaven. The city offers many choices of activities for you, whether you are into visual arts, crafts, music, or theatre. For me, the best part of London is its theatres. I love it so much, especially the musical plays. I am not so much into visual arts, but I quite like seeing crafts and street music. Here’s my experience being an ‘artsy’ person in London.

Visual art is closely linked to art galleries. I may not be the best person to give you suggestion on this, but I should say that art galleries in London are fabulous. There are many art galleries in London, from those displaying more conventional type of paintings to those displaying more contemporary forms of visual art. Say, National Gallery, Tate Britain, and Tate Modern. Those are just the famous names. I can think that every corner of London (well, at least in zone 1) has a dedicated art display. Anyway, I haven’t been to Tate Britain and Tate Modern, but I’ve been to National Gallery. My first impression: the place is huge! You surely have to spare one day alone to explore the paintings inside. If you like looking at paintings from hundreds of years ago, maybe you can go to this place. When I visited the place, I also saw a group of children having a tour specifically made for them. They were given drawing tools and they can try to copy their chosen paintings. That is kind of interesting because art galleries can be boring for children. This way, they can learn to love the art and explore the art gallery without judging that it is such a boring place to go to.

I kind of like crafts – just to look at. Don’t bother to ask me to make one, I will run away. Exploring markets in London can make you stumble upon unique crafts. I especially like to go to Portobello Market because there are lots of small shops and street stalls selling unique crafts. You can find rugs, bags, jewelry, and household stuffs there. Not that I’ve bought anything there, but the stuffs there are quite interesting! I don’t know if there is any place offering some kind of workshop there, but surely it is a good place to explore crafts in London.

Music! This is what I love about strolling on London streets because I can see street musicians performing. I love it! I think the best places to go to if you like street performers are Piccadilly Garden and Southbank area, near the London Eye. I once saw this group of female street musicians who are just wonderful! I can stay and stay and stay until they finish their performance. Well, that’s enough for me who don’t want to spend too much money on concerts. However, there are many music events held in London each year. You can look at Royal Albert Hall websites, the O2 arena, and other places regularly held musical performance. Sometimes, there are also music festivals in Hyde Park. If this is your interest, I think you should at least once feel the experience of coming to a concert in London. Where else can you see famous musicians with relatively not too expensive tickets?

My most favorite part of the artsy London is theatre! God, I love watching musicals! And London is the center of it! Every single time I went to London, I always find time to visit the West End. The area covering Victoria up to Covent Garden is the heart of theatres. Each theatre allocates itself for one type of performance. Say, you want to watch Lion King the musicals, then you have to go to Lyceum theatre. There are tens of performance shown each night and believe me, it is mostly fully booked. If you are into this kind of thing, I would suggest you to buy the theatre tickets way in advance to get the best deal. They sell theatre tickets online and there are lots of websites claiming that they offer the best price. One website that I would recommend is: http://www.tkts.co.uk/. If you are in a hurry and cannot book the ticket online, the cheapest way to see a theatre performance is by going to the ticket office last minutes as sometimes they still have some seats left or as some people may return their tickets for that night. If it is not cheap enough, you can always wait in front of the theatre until the performance begin, and they will sell the tickets in way cheaper price – although you may miss the beginning part of the show. I’ve seen two musicals so far, Wicked and Matilda. Both are great! I wouldn’t mind if someone asks me to watch those again, really. However, I would really love to see Lion King. Indeed, the ticket price never goes down! Poor me. I’d have to save my money before I can watch that show. Fingers crossed, I want to watch the show before I left the UK this year!

Of course, art is not limited to the parts that I discussed. Those are just the big parts. There are many ways to explore London in artsy ways. Look at unique places, festivals, and local art groups to know about it deeper. Next on: Budget London! Stay tuned!

Feb 05, 2016

AdventureNotes #13: London, the Introduction

Okay! So the Adventure Notes for London will be divided into several parts because it is such a big city with sooo many points of interest. Therefore, the articles on London will be based on different point of views, such as Artsy London, London on Budget, etc.

In this first London article, I will try to give you basic information about visiting London. Of course, you can always find all of the information in http://www.visitlondon.com/. However, I will try to elaborate some important things and tips based on the website, several other websites, as well as my own experience. Here it goes…

1.      Getting there

London is easily accessible from… well, basically all around the world – according to your budget, of course. Mostly, people from around UK come to London by train. There are many options for the train, starting from the cheap one up to the high-end one. I usually look out for the best fare here:http://www.thetrainline.com/farefinder/. Using the website, I can get the best deal on the day I plan to travel. I could also change my travel dates based on the cheapest available ticket. You can also visit by train from Paris, using the fast train, EuroStar. It can be as cheap as £20 one way. Again, monitor the website, http://www.eurostar.com/uk-en, to get the best deal.

From other far point of departure, such as Edinburgh, cities in continental Europe, and other cities around the world, flying may be the best option. Look out of the best airlines deal here:http://www.skyscanner.net/.

If those transportations are not cheap enough for you, you may find Megabus attractive. Haha! It can be very cheap sometimes. I usually try to find the deals on more uncommon destinations or the destinations very expensive to get to by train. It can be very tiring, traveling by bus, especially if it is far, but if budget is your concern, it can be an option. Check your price here: http://uk.megabus.com/.

2.      Staying

There are actually many options to stay in London. As I live not too far from London, it can be cheaper to just have a day trip from my city to London. However, if you really want to explore the city, stay overnight is recommended. Where you stay will much depend on how you are traveling and your budget. Nowadays, AirBnB is quite popular. I haven’t tried it, but if you are traveling in groups or with your family, it can be a good bargain. As an Indonesian, I can always book a room in Wisma Indonesia. It is quite cheap although the location is quite far from central London.

I visited London several times and all of those times I stayed in different places. When I was with my friend or with my husband, I stayed in budget hotel or bed and breakfast. There are several options of budget hotel, including for those with families, such as EasyHotel, Travelodge, Premier Inn, and Ibis Budget.

When you are alone, the way you stay in London will be more flexible. I believe that hostel is the best option. Oh! And hostel is also a good option if you are traveling with several friends, say 4-8 people as you can stay together in a room for a cheaper price instead of booking several rooms in a hotel. People may think that hostel is… well, not clean, lack of privacy, and uncomfortable. In my experience, it basically depends on the hostel. Remember to read carefully the description of the hostel if you are looking for one. It usually mentions the ambience of the hostel, whether it is quite and businesslike or if it is hype and trendy with lots of parties around. Most hostels that I have ever visited are clean. The bathrooms are well maintained although it is a shared bathroom. Each bed will have its own access to an electric plug and each guest is given a certain locker with its key for the belongings. So, don’t worry, you can try to book a bed in a hostel!

My suggestion is, in looking for a budget hotel or hostel, do consider these things: price, location, room accessibility, and facilities in and around the hotel. For me, location is the most important thing. I wouldn’t want to travel far away to get to the places I want to visit. Therefore, I always compare the price with the location. Furthermore, London’s transportation fare may be quite expensive, so cutting the cost of transportation can help much of your budget.

3.      Transportation

The first thing about transportation in London is: Oyster Card. It is a must card if you are traveling to London. You can buy the card online or in travel information centers around London. It is a one-for-all ticket to get around London as you can use it to pay for the bus fare, tube, and waterway. Just top-up your card and you are ready to go! There are two different types of Oyster Card, the traveler one and the ordinary one. My suggestion is to buy the ordinary one. Yes, the traveler one has better design and cost less, but you can redeem your credit as well as the card when you finish using it. It costs £5 for the card and you will get your money back upon your redemption.

As you may already know, there are many means of transportation in London. There are tubes, buses, waterways, and bicycle. There is a London information website to find out live transportation report,https://tfl.gov.uk/. Using this website, I could avoid closed roads, late buses, etc. It is very helpful; especially to find out which tube line is in trouble or under maintenance.

Traveling around London is not difficult. Google maps and other mapping aps can direct you to certain places. What I need to be aware of is when it is difficult to get signal for my phone. A sense of simple direction, like North, South, West, and East, is important. Whenever you are going to get a tube or bus, think about your position and where you want to go to. Pretty simple, actually.

4.      Planning your itinerary

As I said, London is a big city. It is impossible to visit all places in one trip, believe me! Therefore, you itinerary should be made carefully. Choose the places you really want to go to, based on your interest. If you are just going to pass along some famous landmarks, you can do it in maybe 2-3 days. However, if you plan to visit museums, you have to allow one full day for one museum. Indeed, museums in London are big! British Museum has tens of galleries, the same as Natural History Museum. Just, don’t go too big in your itinerary. Be realistic, allow yourself to soak the London vibe. Oh, and a simple tips that I just figured out is that you can actually match your place of stay (hotel/hostels/others) to the places you want to visit. Visiting London per area is also a good option. For example, you can stay in Greenwich and visit only Greenwich attractions, and so on, and so on.

For this reason, too, the AdventureNotes on London is going to be divided into several parts, depending on the itinerary.

5.      Holiday season

It is pretty complicated to take this holiday season into consideration because most of us can only go to London during our holiday. BUT everything can be quite expensive during the holiday period. Besides, the city will be very crowded. I went to London during the Christmas holiday twice. On both occasions, the city was full – except on the exact Christmas date.

Another thing to be considered if you are traveling in holiday season is the availability of public transportations. They are usually limited on exact holiday. For example, I had to use the Santander Bike, https://tfl.gov.uk/modes/cycling/santander-cycles, to go around London on the Christmas day. It is okay for me, but for you with children or if you cannot ride bicycle, it may not be the best option. Another alternative is to walk. Yeaa… but you couldn’t go too far, could you?

Oh and one more thing! Not only the public transportation, other facilities such as toilets, shops, and restaurants are also usually closed on the exact celebration day. I really don’t want to experience the lack of those public facilities again during my trip, ever! It was quite horrible to not be able to find toilets and restaurants for a day.

6.      Budgeting

The last but certainly not least important thing to consider is your budget. London can be very expensive, so I usually set my daily budget to eat, etc. I also try to find the cheapest possible alternative to stay and travel. There are also lots of attraction tickets deals available for you. Do search for this and use the offers. It is worth to save one to two pounds, right?

Read the next AdventureNotes for more on London!

Jan 29, 2016

AdventureNotes #12: Milan

Fashion, festive, fun! Those are the words people use to describe this city. Milan! Milan is not only popular because of its status as the capital of fashion design, it is also popular because of football as the city has 2 famous football clubs, AC Milan and Inter Milan.

Honestly, Milan is hardly missed if you are traveling to Europe. Its strategic location makes it a transportation hub between the southern Italy and western Europe. In my first Europe solo travel, I landed in Milan and departed from Milan. My main reason? Cheaper flights!

I had a chance to explore Milan in one day. If you’re not that into fashion nor excited about football, like I am, I think a day is enough to stroll around the city – noting that you’re not going into museums or other attractions. That was what I did.

The same as traveling to other cities, we need to be aware of when we are traveling. I visited Milan during my Easter break. Unfortunately, it was the exact Easter day that I visited the city. Such a shame! Everything was closed! Well, not literally everything, but most places were. Adapting to the situation, what I did was sightseeing.

First, I went to see Sforzesco Castle. Obviously, I couldn’t get in. Fortunately, the view was quite interesting. It is basically a beautiful castle. I also walked around a park called Parco Sempione. There is a landmark at the end of the park called Arco della Pace.

In the park, I had a once-in-a-lifetime experience. I saw a wedding! With the bride and the groom, and the bridesmaids and the family. Wow! I know that I won’t or have a very little chance of seeing such thing. A wedding in the park. Cute!

Then, I went to see Milan Cathedral or the Duomo. I have to admit that it is so grand and so beautiful. Located in the middle of an open space, it was just mesmerising. Anyway, I saw another wedding outside the Duomo. Two weddings in a day, it must be a sign, right?

Near the Duomo, there is this shopping arcade called Galleria Vittorio Emanuelle II. The place was quiet that day, but I figure that it is very chic and trendy on normal days, with its cool restaurants and cafes and high-end stores.

After struggling to find a place to have lunch – believe me it’s not easy, especially wit the Easter day, my friend and I had some kind of Turkish food for lunch. Then, my friend suggested us to go to Navigli. Navigli is an area near a canal. There are many cafes, restaurants, and indie shops there. I like the environment.

So those are the main places I visited in Milan. However, as I walked or took public transportation to explore the city, I got to pass some other attractions, such as Santa Maria delle Grazie, where Da Vinci’s Last Supper painting is located and Chiesa di San Maurizio al Monastero Maggiore. I couldn’t get into those places due to the celebration.

I didn’t visit any stadium in Milan, but if you are planning to, do consider about the weather, the location, and the cost. Doing a stadium tour can be expensive and can take a lot of time. Most stadiums are also located quite far from the city center so you have to allocate time to visit them.

I’d really like to visit Milan again some other time. I’d like to see the city when everything is business as usual. I want to see the fashionable Milan!

Jan 22, 2016

Academic Writing 101: Part 3

Menulis

Ya, kedua bagian mengenai academic writing sebelumnya adalah bagian teori. Now, let’s get practical!Setelah mengetahui dasar tulisan akademis yang baik dan berlatih mengenai critical thinking, tentunyaacademic writing mengharuskan kita untuk menulis.

Kaidah penulisan akademis memang sedikit berbeda dengan penulisan non-akademis. Pada academic writing, penulis biasanya diminta untuk mengajukan suatu argumen atau pendapat mengenai suatu isu. Lalu, berbeda juga dengan tulisan saya ini, penulisan akademis mengharuskan si penulis untuk memberikan bukti-bukti yang mendukung argumen atau pendapatnya. Sulitnya, dalam critical thinking, kan kita diminta untuk objektif? Lalu bagaimana caranya?

Pada bagian ini, saya akan mencoba untuk menceritakan pengalaman saya dalam menulis. Tips ini bisa berlaku bagi Anda, tapi mungkin Anda memiliki cara yang lebih efektif. Here it goes..

Dalam menulis sebuah esai, saya biasa memulai dengan memberikan gambaran mengenai masalah atau isu yang saya angkat. Saya belajar cukup banyak mengenai hal ini pada saat menyusun skripsi saya. Dosen pembimbing saya selalu menekankan untuk mencari topik atau isu penelitian (atau esai) dari masalah yang terjadi di kehidupan. Ada dua alasan yang mendasari hal ini. Pertama, data mengenai masalah yang terjadi biasanya cukup banyak tersedia, baik yang sudah dieksplorasi maupun yang belum dieksplorasi. Kedua, dengan melakukan penelitian atau menulis esai mengenai isu yang benar-benar terjadi, kita bisa mencoba untuk menyelesaikan atau menjawab masalah yang ada. Manfaat penelitian menjadi praktis dan tepat guna. Namun, tidak mudah untuk menemukan topik atau isu yang cocok untuk dieksplorasi lebih lanjut. Oleh karena itu, saya menyarankan untuk banyak-banyak membaca koran. Dengan begitu, wawasan mengenai current issues akan bertambah dan memudahkan untuk mencari topik yang sesuai. Bagi saya, tahapan ini adalah tahapan yang cukup krusial dalam menulis karena topik lah yang menentukan kelangsungan penulisan akademis saya. Saya mencoba untuk mencari saran dari dosen-dosen saya. Ketika mereka merasa bahwa topik tersebut bisa dituliskan dalam bentuk esai akademis, barulah saya mulai menulis. Tentunya, saya mengajukan topik tidak hanya berupa judul, tetapi berupa framework tulisan sehingga dosen saya bisa mengerti apa yang ingin saya tunjukkan melalui esai saya. Sulit? Hmmm… tergantung. Pada awalnya saya seringkali bolak balik bertemu dan konsultasi dengan dosen untuk mendapatkan topik yang tepat. Ditolak sampai 3 kali? Biasa… Namun, lama-lama terbiasa juga mengira-ngira sendiri apakah topik yang saya pilih dapat dibahas dalam sebuah tulisan akademis.

Setelah topik saya dapatkan dan saya tuangkan dalam pendahuluan esai saya, saya akan membaca dan menulis mengenai teori-teori mendasar yang berhubungan dengan topik tersebut. Saya akan menghubungkan masalah yang ada di realita dengan apa yang tertulis di dalam teori. Disini, critical thinking mulai bisa digunakan. Lihat, apa sih perbedaan antara realita dengan teori yang idealis itu? Mengapa masalah bisa terjadi padahal teori-nya bilang begini? Selain itu, coba lihat faktor-faktor lain yang bisa jadi mempengaruhi isu tersebut. Open wide. Buka selebar-lebarnya kemungkinan yang ada. Lihat sisi ideal dari isu yang dihadapi. Pertanyakan berbagai hal sehingga langkah selanjutnya bisa dilakukan.

Ya, langkah selanjutnya adalah mengumpulkan dan menuliskan bukti-bukti. Setelah teori mendasar didapatkan dan dituliskan, mari beralih pada kasus-kasus spesifik yang relevan dengan topik atau isu yang Anda bahas. Disinilah peran dari jurnal-jurnal dan hasil-hasil penelitian sebelumnya. Perhatikan konteks penelitian-penelitian tersebut, lihat perbedaan hasil penelitian, lihat metode apa yang digunakan, dan lihat kembali faktor-faktor eksternal yang mungkin mempengaruhi perbedaan-perbedaan yang ada. Jangan lupa, kaitkan kembali bukti-bukti yang Anda dapatkan dari jurnal dan penelitian terdahulu dengan isu yang Anda bahas. Analisis, kemudian simpulkan. Hal yang perlu diperhatikan pada bagian ini adalah bagaimana mengelaborasi berbagai penelitian yang ada untuk dituliskan dengan baik dan mudah dibaca. Saya pribadi merasa bahwa dengan membaca banyak jurnal, kemampuan melakukan elaborasi pun terlatih. Saya jadi semakin mudah untuk menemukan hubungan antara hasil-hasil penelitian dan menggabungkan bukti-bukti yang ada menjadi tulisan yang mudah dimengerti.

Setelah bukti-bukti terkumpul dan selesai dibahas dalam tulisan, saatnya untuk membuat kesimpulan. Hal yang saya lakukan biasanya adalah refleksi kembali mengenai isu yang saya angkat. Saya lihat dan pertimbangkan teori dan bukti yang ada untuk membuat kesimpulan mengenai argumen saya. Tentunya, argumen saya harus bisa dijustifikasi oleh bukti yang ada. Kunci di langkah ini adalah logika berpikir. Sudah benarkah kesimpulan yang saya ambil? Masih adakah ruang-ruang yang bisa digunakan untuk membantah argumen saya? Kalau ada, lalu apa yang harus saya lakukan? Kesalahan yang seringkali terjadi pada bagian ini adalah memperpanjang pembahasan setelah mengambil kesimpulan. Ingat, kesimpulan Anda harus valid and sound. Oleh karena itu, kesimpulan harus menjadi klimaks dari esai Anda. Jangan kemudian ditambahkan lagi teori-teori atau bukti penelitian lain. Jelaskan argumen Anda dan bukti-buktinya dengan tegas, lalu beri kalimat penutup.

Pada dasarnya, langkah-langkah di atas sudah cukup dalam penulisan akademis. Namun, biasanya ada beberapa dosen yang menginginkan lebih. Setelah argumen saya valid, lalu apa? Apa gunanya argumen yang valid tanpa ada follow up? Hal yang biasa saya tambahkan di akhir esai adalah saran. Saya akan memberikan saran yang relevan dengan isu yang saya bahas dan tentunya relevan dengan argumen saya. Tidak perlu panjang, satu paragraf pun cukup karena kita tidak perlu membuka diskusi lagi, kan? Basi, esainya sudah selesai!

Selamat menulis.

Jan 27, 2016

Academic Writing 101: Part 2

The Difficult Part: Critical Thinking

Setelah ketiga aspek mendasar dari academic writing dapat membuat esai Anda lulus kriteria dasar, kategori berikutnya yang perlu diperhatikan dalam menulis esai di tingkat pascasarjana di Britania Raya, dan mungkin di negara-negara lain, adalah seberapa baik analisis Anda mengenai suatu masalah. Disini, hal tersebut lebih populer dengan nama critical thinking.

Critical in University work means being thoughtful, asking questions, not taking things you read (or hear) at face value. It means finding information and understanding different approaches and using them in your writing.

Getting Critical (Pocket Study Skills), pviiii, Kate Williams

(http://www.ed.ac.uk/institute-academic-development/postgraduate/taught/learning-resources/critical)

Sebagai seseorang yang sejak kecil hingga perguruan tinggi bersekolah di Indonesia seperti saya, critical thinking adalah hal yang paling menantang saat menempuh jenjang pascasarjana. Ya, saya tidak terbiasa. Saya rasa, pandangan bahwa guru paling benar dan ilmu pengetahuan sebaiknya ‘ditelan’ saja mentah-mentah masih banyak membayangi saya pada awal berkuliah di Inggris. Sepertinya, sistem pendidikan di Indonesia pun hingga sekarang masih juga menggunakan pendekatan yang sama sehingga siswa tidak didorong untuk mencari ilmu pengetahuan dari berbagai sumber dan untuk bertanya. Saya beruntung karena pada masa kuliah S1, saya mendapatkan kesempatan untuk berlatih berpikir kritis (walaupun pada saat itu ya saya tidak dong juga). Setidaknya, saya tidak terlalu kaget walaupun masih kesulitan untuk melakukannya.

Salah satu cara yang ditempuh oleh beberapa universitas di Britania Raya untuk melatih kemampuan berpikir kritis para mahasiswa, terutama mahasiswa internasional, adalah dengan menyarankan mahasiswa untuk membaca berbagai buku mengenai keterampilan berpikir kritis dan menyelenggarakan kelas yang biasa disebut sebagai study skills class. Kelas seperti ini tidak populer di kalangan mahasiswa lokal, mungkin mereka sudah muak dengan pembahasan mengenai hal ini. Namun, bagi mahasiswa internasional, kelas tersebut bagai surga. Bagaimana tidak, berbagai keterampilan dilatih, mulai dari menulis, berpikir kritis, menulis referensi, sampai cara menggunakansoftware-software canggih untuk penelitian. Saya sangat menyarankan Anda untuk mengikuti kelas-kelas seperti ini untuk meningkatkan keterampilan akademis apabila universitas memang menyediakan fasilitas tersebut.

Apa sih sebenarnya mahluk bernama critical thinking ini? Seperti kutipan di atas, berpikir kritis berarti mempertanyakan segala sesuatu dan memperdalam pemahaman tentang suatu topik dengan mempertimbangkan berbagai perspektif yang ada. Berpikir kritis bukan berarti menolak suatu pandangan atau argumen, berpikir kritis adalah mempertanyakan. Pada bagian ini, saya akan mencoba memberikan beberapa tips untuk melatih kemampuan berpikir kritis. Beberapa tips yang saya sebutkan sudah pernah saya coba sendiri.

1.      Question EYERYTHING

Bagi saya pribadi, poin ini adalah inti dari critical thinking. Lihat anak kecil yang selalu bertanya ‘Ini apa?’ dan ‘Kenapa bisa begitu?’. Mereka sedang berlatih berpikir kritis, loh. Jadi, coba untuk mempertanyakan segala sesuatu, bahkan sesuatu yang sudah kita tahu. Kalau sudah merasa tahu tentang suatu hal, coba lihat dari sudut pandang lain, coba bertanya lagi. Salah satu hal yang menjadi kebiasaan saya pada saat berkuliah pascasarjana adalah menulis pertanyaan di buku catatan. Jujur saja, saya malas mencatat pada saat kuliah S2 karena hampir semua dosen sudah memberikan materi mereka online dan buku rujukan pun tersedia. Jadi, buku catatan atau hand out materi kuliah saya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan mengapa begini mengapa begitu untuk melatih saya berpikir kritis. Seringkali saya juga mendapatkan inspirasi untuk esai-esai saya dari corat coret saya saat mendengarkan dosen. Mungkin cara ini bisa juga Anda coba. Tidak sulit, kan?

Lalu, apa yang harus ditanyakan? Banyak sekali hal yang bisa ditanyakan. Mulai dari kata tanya yang paling tinggi derajatnya ‘mengapa’ hingga yang paling dangkal ‘masa sih?’. Dalam hal akademis seperti teori, pandangan, pendekatan, dan hasil penelitian, saya menyarankan untuk bertanya ‘Apa sih yang mendasari orang ini berkata demikian? Apa buktinya? Mengapa dia bisa mengambil kesimpulan seperti itu?’. Tidak sebentar saya berusaha mencerna konsep mempertanyakan ‘apa yang mendasari sesuatu’ ini. Baru pada saat dosen S2 saya yang bule tulen itu ‘memaksa’ saya untuk membaca buku Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia, baru saya menyadari bahwa maksudnya adalah melihat aspek ekstrinsik dari suatu argumen sehingga dapat melihatnya secara utuh, sesuai dengan konteksnya. Bukan secara pragmatis dan mengambil yang kita suka saja.

2.      Free yourself from judgment

Berpikir kritis juga berkaitan dengan melihat segala sesuatu dengan skeptis. Oleh karena itu, kecenderungan untuk mempercayai sesuatu juga perlu diminimalisir. Tentu saja, semua orang memiliki hak untuk berpihak pada suatu teori atau percaya pada suatu hal. Tapi, demi mahluk bernama critical thinking ini, saya harus membebaskan diri dari judgment tertentu. Bahkan suatu teori atau pandangan yang saya suka dan saya yakini pun harus saya pertanyakan.

Saya rasa, perumpamaan Hipotesis Nul dan Hipotesis Alternatif dalam penelitian bisa menggambarkan poin ini dengan cukup baik. Dalam penelitian ilmiah dengan pendekatan kuantitatif positivis, peneliti diminta untuk membuat dua jenis hipotesis, yaitu Hipotesis Nul yang berisi pernyataan netral mengenai prediksi hasil penelitian dan Hipotesis Alternatif yang berisi pernyataan tidak netral mengenai prediksi penelitian. Lalu, peneliti mengambil data dan menganalisis data tersebut dalam konteks Hipotesis Nul. Jadi, yang diuji adalah pandangan netral, bukan pandangan dengan judgment tertentu. Pendekatan ini juga lah yang harus digunakan pada saat berpikir kritis. Saya sendiri selalu mencoba untuk berhati-hati saat membentuk argumen, bahkan opini saya pribadi, karena saya tahu bahwa selalu ada sudut pandang lain yang berbeda dengan sudut pandang saya dan selalu ada kemungkinan bahwa apa yang saya yakini tidak tepat (Hmmm… aneh juga paragraf ini dimulai dengan pendekatan positivis dan ditutup dengan pendekatan relativis). Ya, intinya seimbang lah dalam berpikir, lepaskan diri dan pikiran dari judgment.

3.      Reading before writing

Anda suka membaca? Suka atau tidak, berkuliah pascasarjana mewajibkan Anda untuk membaca. Betul? Kebiasaan membaca hanya ketika diminta dosen dan ketika akan ujian harus dibuang jauh-jauh.Kenapa? Coba jelaskan bagaimana Anda dapat membentuk argumen dan berpikir kritis tanpa dasar pengetahuan dan informasi yang luas. Bisa? Berpikir kritis membutuhkan usaha untuk mendalami suatu hal, melihat berbagai perspektif, dan mempertanyakan banyak hal (yang tidak sekedar dipertanyakan tapi dicari jawabannya). Oleh karena itu, membaca sangat diperlukan. Dalam hal ini, membaca tidak diartikan secara sempit, ya. Mungkin bahasa yang lebih tepat adalah information literate. Saat ini, banyak sekali sumber yang tidak membosankan untuk mendapatkan informasi. Selain buku dan jurnal, media non-mainstream seperti video, program TV, surat kabar, talkshow, buku fiksi, dan siaran radio bisa digunakan sebagai sumber informasi ilmiah maupun non ilmiah. Coba mampir kehttps://www.ted.com/talks untuk melihat video yang berkaitan dengan minat Anda atau cek surat kabar harian online. Bahkan, saat ini di http://www.channel4.com/programmes/the-secret-life-of-4-5-and-6-year-olds ada sebuah penelitian mengenai perkembangan anak yang disiarkan online.Menarik dan tidak membosankan.

Nah, membaca pun tidak sekedar membaca dan menelan informasi. Lagi-lagi, kedua poin di atas harus kembali diperhatikan: mempertanyakan segala sesuatu dan tanpa judgment. Selain itu, perhatikan juga konteks tulisan karena tentunya perbedaan konteks bisa menyebabkan perbedaan hasil dan pandangan. Corat coret kembali bahan-bahan yang Anda baca. Pertanyakan lagi, cari lagi jawabannya.

Lalu, kapan berhenti membaca dan mulai menulis? Apa ada jumlah tertentu yang menjadi patokan? Berkaca dari pengalaman pribadi saya, biasanya saya akan mulai membaca dari teori-teori yang mendasar mengenai topik esai saya. Setelah itu, saya beralih ke bacaan yang lebih dalam mengenai topik tersebut untuk melihat dimana posisi argumen saya. Setelah merasa cukup memiliki dasar pengetahuan, saya akan mulai merancang framework penulisan saya. Saya akan mulai membuat poin-poin untuk struktur esai saya (lihat bagian sebelumnya dari tulisan ini). Sambil mulai menulis sedikit-sedikit, saya meneruskan membaca. Saya akan berhenti ketika informasi yang saya dapatkan sudah ‘jenuh’. Maksudnya, ketika saya sudah tidak bisa lagi menemukan informasi baru. Saat itulah saya akan berkonsentrasi menulis, menyudahi proses membaca saya.

Pengalaman saya sendiri, membaca merupakan hal yang sangat penting dalam mendukung proses penulisan esai-esai akademis saya. Saya membuka diri terhadap berbagai informasi dari berbagai sumber. Membaca berita menjadi kegiatan saya setiap hari. Selain itu, saya juga membaca buku rujukan dan jurnal-jurnal. Saat bosan, saya beralih ke TED talks. Sebagai contoh, untuk membuat satu esai dengan panjang 4000-6000 kata, saya biasanya membaca 100-150 rujukan. Hasilnya? Hard work pays off. Alhamdulillah, nilai saya cukup baik untuk ukuran mahasiswa internasional.

4.      Start with verb on your title

Tips keempat ini cukup ampuh digunakan ketika akan menulis esai. Saya mendapatkan tips ini dari kelas study skills saya di University of Hull. Contoh kata-kata yang diasosiasikan dengan critical thinkingadalah evaluating, critiquing, arguing, dan analyzing. Masih ada berbagai kata lain, tentunya. Lalu, mengapa harus memulai judul esai dengan kata-kata tersebut? Bagi saya sendiri, kata-kata tersebut berfungsi sebagai pengingat bahwa saya harus selalu menerapkan keterampilan berpikir kritis saya sepanjang pengerjaan esai. Dengan kata-kata pengingat tersebut, saya terus-menerus berusaha untuk melakukan pendekatan kritis terhadap topik yang saya diskusikan. Pretty straight forward, pretty easy.Sayangnya, tidak semua dosen memperbolehkan mahasiswa untuk menentukan judul esai secara individual. Tapi intinya adalah bagaimana pendekatan Anda akan sebuah topik lah yang menentukan apakah Anda telah berpikir secara kritis. Tanpa kata-kata tersebut di judul esai Anda, selama Anda memang bertujuan untuk menggunakan critical thinking dalam menulis esai, it should be just fine.

Tentunya masih banyak lagi tips mengenai cara mengasah kemampuan berpikir kritis. Silahkan cekwebsite universitas masing-masing karena biasanya ada panduan mengenai crtical thinking. Saya merasa critical thinking adalah backbone dari esai-esai saya. Tanpa critical thinking, esai saya cenderung deskriptif dan mungkin sudah dianggap seperti kacang goreng bagi para dosen.

Well, setelah penjelasan yang cukup abstrak di atas, saya akan memberikan salah satu contoh tulisan yang menggunakan critical thinking. Tulisan ini,http://izzadinillah.tumblr.com/post/51553369997/humanising-human, saya buat sebagai salah satu tugas portfolio di sebuah mata kuliah mengenai isu kontemporer dalam konteks pendidikan. Pada kuliah tersebut memang semua mahasiswa dituntut untuk membuat tulisan dengan menggunakancritical thinking setiap minggu. Mudah-mudahan dapat cukup menggambarkan bagaimana bentuk sebuah tulisan dengan critical analysis ya.

Fiuh, bagian tersulit sudah selesai,

now let’s get practical!

~ stay tuned

Jan 22, 2016

Academic Writing 101: Part 1

Beberapa kali saya mendapat pertanyaan bagaimana cara agar mendapatkan nilai distinction di esai yang dikumpulkan untuk tugas akhir suatu mata kuliah di perkuliahan pascasarjana di Inggris. Jelas, saya bukan ahlinya dalam hal ini. Banyak orang yang memiliki kredibilitas lebih untuk berbicara mengenai hal ini, bukan saya yang mendapatkan nilai distinction saja bisa dihitung dengan jari. Namun, saya ingin berbagi (disamping cape juga ya, menjawab pertanyaan yang sama berkali-kali) mengenai bagaimana menulis sebuah esai dengan standar academic writing yang baik. Untuk membuat tulisan ini, saya merujuk pada pengalaman saya, sebuah materi kuliah yang diberikan oleh Dr. Natalia Vershinina dari Birmingham Business School, kuliah online mengenai academic writing skills, dan berbagai websiteuniversitas terkemuka di Britania Raya (tautan dari website tersebut akan saya lampirkan kemudian). Berbagai sumber tersebut akan saya elaborasi untuk memberikan sedikit penjelasan mengenaiacademic writing. Tentunya, kalau Anda ingin penjelasan yang lebih terpercaya dan reliabel, silahkan datang ke academic support service yang pasti ada di setiap universitas. Mereka akan memberikan penjelasan dan arahan yang sangat membantu untuk meningkatkan keterampilan menulis akademis.

Pertama-tama, apa sih bedanya academic writing dan menulis biasa? Tentunya perbedaan paling mendasar adalah dalam hal tujuan penulisan. Namanya saja academic writing, tentu saja tujuan dari tulisan tersebut adalah untuk membahas suatu isu dari sudut pandang akademis. Lalu, ada banyak hal yang menjadi konsekuensi dari academic writing, seperti bahasa yang harus formal, logika berpikir yang harus jelas, dan tulisan yang menggunakan referensi yang baik. Etika penulisan dan etika ilmiah lain juga perlu diperhatikan, tentunya sesuai dengan bidang ilmu masing-masing.

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam academic writing. Saya akan membagi hal-hal tersebut ke dalam enam kategori. Ini adalah kategori saya pribadi, hasil dari elaborasi saya terhadap berbagai sumber yang telah disebutkan. Kategori-kategori tersebut adalah dasar academic writing, critical thinking, menulis argument dalam academic writing, fokus penulisan, konsultasi pada ahli, dan latihan menulis.

Dasar Academic Writing

Apabila Anda pernah mengikuti kelas persiapan IELTS, tentunya Anda pasti pernah mendengar mengenai dasar academic writing. Terdapat tiga bagian dari academic writing, yaitu content, organization, dan language – isi, struktur, dan bahasa. Untuk membuat sebuah tulisan yang baik, secara umum, ketiga hal tersebut harus dipenuhi. Bagi saya, ketiga hal tersebut tidak hanya harus ada di dalamacademic writing, tetapi dalam semua bentuk tulisan.

1.      Isi

Isi dari tulisan adalah nyawa. Menurut saya, ini adalah hal yang menentukan keberhasilan tulisan. Isi dari sebuah esai akademis harus bisa menjawab pertanyaan atau permasalahan yang menjadi fokus dari tulisan tersebut. Tentunya, pertanyaan atau permasalahan tersebut tertuang di judul esai yang ditulis. Isi sebuah tulisan akademis biasanya terdiri dari teori, ide, bukti, dan contoh-contoh yang relevan dengan topik yang diangkat. Tulisan dengan isi yang tidak relevan tidak akan mendapatkan nilai yang baik, meskipun memiliki struktur yang baik dan ditulis dengan bahasa yang sempurna.

2.      Struktur

Struktur esai mencerminkan logika berpikir si penulis. Walaupun isi dari esai tersebut sangat baik, apabila tidak didukung dengan struktur yang jelas dan tepat, tentu orang yang membaca akan sulit mengerti tulisan tersebut. Secara umum, struktur dari sebuah esai akademis terdiri dari pendahuluan, isi, dan kesimpulan. Seluruh bagian tulisan harus terkait satu sama lain sehingga pembaca dapat mengerti alur berpikir si penulis. Berkesinambungan, bahasa sederhananya.

Bagian pendahuluan sebaiknya berisi mengenai pengenalan topik yang dibahas di esai dan alur penulisan esai tersebut. Bagi saya, pendahuluan harus dibuat dengan menarik dan harus menggunakan bahasa yang sederhana sehingga pembaca tidak mundur teratur. Siapa yang suka dihadapkan dengan tulisan yang dari awal saja sudah membuat pusing kepala?

Kemudian, bagian isi merupakan diskusi penulis mengenai topik yang diangkat. Bagian ini harus pelan-pelan mengarahkan pembaca kepada jawaban dari masalah atau argument penulis terhadap isu tertentu. Biasanya, bagian ini adalah bagian yang paling susah, sekaligus paling mudah. Mengapa? Susah karena menyusun diskusi dari berbagai teori dan hasil penelitian hingga menjadi suatu bagian yang mengalir dengan baik dan mudah dimengerti bukanlah hal yang sederhana. Mudah, karena di bagian ini, penulis tidak perlu sering-sering memutar otak untuk menyampaikan argumen pribadi. Kunci di bagian ini adalah kemampuan elaborasi dan kemampuan untuk melakukan paraphrase.

Akhir dari sebuah esai akademis adalah kesimpulan. Setelah pusing-pusing merangkai bagian diskusi, kesimpulan ini biasanya tidak lebih dari satu atau dua kalimat. Cape-cape menulis 2000 kata hanya sekalimat lah jadinya. Kesimpulan adalah jawaban dari pertanyaan yang dibahas di dalam esai tersebut. Kesimpulan juga bisa merupakan argumen si penulis mengenai suatu topik. Tentunya, kesimpulan didapatkan dengan mempertimbangkan berbagai hal yang sebelumnya didiskusikan di bagian isi esai. Pengalaman saya, seringkali orang-orang susah untuk move on dari pembahasan sehingga di kesimpulan pun, masih ada sedikit-sedikit pembahasan colongan. Hal ini sebaiknya dihindari karena kesimpulan harusnya menutup esai, bukannya membuka diskusi kembali. Selain kesimpulan, pada bagian akhir esai, Anda juga bisa menambahkan sedikit saran terhadap topik yang dibahas.

Saya selalu melihat struktur sebuah esai seperti cermin (well, at least di bayangan saya ini seperti cerita cermin cekung-cembung pada saat SMP). Bagian pendahuluan menceritakan suatu topik secara fokus, lalu melebar untuk eksplorasi berbagai teori dan hasil penelitian mengenai topik tersebut. Lalu, menuju akhir dari esai, fokus kembali menyempit untuk menarik kesimpulan dari diskusi. Akhirnya adalah suatu titik, titik fokus dari cermin (atau lensa atau apalah itu, saya tidak jago fisika). Mudah-mudahan penjelasan ini bisa Anda mengerti, despite perumpamaan saya yang abstrak.

3.      Bahasa

Aspek ini adalah yang biasanya paling ditakuti oleh international students. Iya lah, secara bahasa Inggris bukan bahasa utama yang digunakan sehari-hari. Mungkin, esai-esai saat pascasarjana ini adalah percobaan pertama menulis dalam bahasa Inggris formal. Masalahnya, concern yang paling besar ini, justru kontributor paling kecil dalam nilai. Ya, tentunya bahasa yang tidak bisa dimengerti akan membuat esai Anda gagal karena si penilai tidak mampu mencerna apa yang Anda sampaikan. Tapi, ketika bahasa Anda cukup bisa dimengerti, salah-salah sedikit di bagian grammar masih bisa ditoleransi (wah, ini tapi bahaya ya, terhadap kelangsungan bisnis proofreading saya). Aspek bahasa tidak hanya mencakup grammar, tapi juga kosa kata yang Anda gunakan. Keluasan dan ketepatan kosa kata yang digunakan akan menjadi nilai lebih. Kebanyakan proofreader berperan penting di aspek ini, meskipun ada juga lembaga proofreader professional yang menyediakan layanan yang lebih komprehensif untuk memberikan masukan mengenai aspek-aspek lain dari esai akademis Anda – dengan biaya yang lebih, tentunya.

Tulisan yang memperhatikan ketiga aspek diatas adalah tulisan yang baik. Saya jamin, Anda tidak akan tidak lulus. Tapi, kita tidak hanya mencari lulus, kan? Kita mencari distinction! (Iya, bermimpi setinggi langit itu wajib supaya kalau gagal, jatuhnya di merit, ya kan?). Nah, kategori-kategori selanjutnya lah yang menentukan seberapa baik nilai kelulusan Anda.

~ stay tuned

Jan 22, 2016

Salah Jurusan

Menulis mengenai cerita perjalanan saya ke Itali, saya menyadari bahwa dalam perjalanan tersebut, sering sekali saya nyasar, salah jurusan. Lucu sih melihat bagaimana dalam sebuah perjalanan yang hanya berdurasi beberapa hari saja, saya bisa-bisanya hampir setiap hari tersesat. Untungnya, saya bisa kembali ke jalan yang benar. Hehehe…

Pernah salah jurusan? Mungkin hampir semua orang pernah, ya.. Ada yang seperti saya, salah jurusan di perjalanan. Ada juga yang salah jurusannya melibatkan hal yang lebih besar dalam hidup, seperti…. jurusan hidup? Wah, jangan sampai tersesat di hal yang satu itu. Well, selain pengalaman nyasar saya, saya juga pernah salah jurusan dan untungnya lagi, saya bisa kembali ke jalan yang benar. Salah jurusan dalam hal apa? Dalam hal cita-cita.

Tentu semua orang punya cita-cita. Mulai dari hal yang kecil, seperti saya yang bercita-cita ingin makan baso besok malam, sampai cita-cita besar seperti ingin menjadi pembawa perubahan (bahasanya mahasiswa yang masih berapi-api banget, ya). Saya ingat, cita-cita saya pertama kali bukan ingin menjadi dokter seperti kebanyakan anak-anak. Saat saya masih duduk di kelas awal SD, saya bercita-cita ingin menjadi arkeolog. Terima kasih kepada buku ensiklopedia yang membuat saya tahu bahwa ada dinosaurus, fosil, dan berbagai peradaban purba lainnya. Anehnya, saya tidak tertarik ingin meneliti fosil dan dinosaurus. Saya lebih tertarik pada peradaban dan budaya manusia di zaman dahulu kala. Yak, itu sih salah saya ya, namanya bukan arkeolog, kalii… Saya baru-baru ini saja sadar bahwa dulu, saya sebenarnya ingin jadi antropolog. Sayangnya, saya tidak tahu istilah tidak populer itu, sehingga saya bilang saja arkeolog tapi yang meneliti manusia. Hahaha.

Kemudian, cita-cita kedua saya adalah ingin menjadi jurnalis. Masih di masa SD, ekstrim-nya, saya ingin jadi wartawan perang. Menyatakan keinginan saya kepada orang tua, ibu saya melarang. Katanya, jadi wartawan perang itu berbahaya, nanti tidak bisa berkeluarga dan banyak pergi ke daerah konflik. Sedih sih, saat itu. Saya sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan saya bercita-cita ingin jadi wartawan perang. Tapi saya ingat, dari dulu saya suka menulis. Mungkin itu yang menjadi alasan saya ingin jadi wartawan, ditambah lagi dengan karakter saya yang memang suka bertualang (mungkin ini akibat terlalu banyak membaca novel Lima Sekawan).

Seperti anak kecil pada umumnya, cita-cita saya berubah lagi. Come on, siapa sih sekarang yang benar-benar menjalankan pekerjaan sesuai dengan cita-citanya? Bahkan si Susan-nya Kak Ria Enez saja tidak berhasil menjadi dokter (ya, iya lah yaa..). Kali ini, saya ingin jadi psikolog. Dan ini adalah perubahan cita-cita saya yang terakhir, well at least perubahan terakhir yang saya jiwai. Alasan saya ingin jadi psikolog? Saat itu sangat sederhana: Semua psikolog wanita yang saya temui cantik. Za, za… menentukan cita-cita kok alasannya tidak logis seperti itu. Masih lebih bagus logika di kedua cita-cita saya sebelumnya, toh? Untungnya, kemudian saya ingat sebuah peristiwa yang bisa jadi mendasari keinginan saya untuk jadi psikolog juga, peristiwa yang tidak bisa dianggap cetek. Saya pernah ditantang ibu saya untuk bermain bersama seorang anak dengan autisme. Kata ibu saya, kalau saya bisa berarti saya hebat. Bisakah saya? Tentu tidak. Sekarang sudah bisa? Ya belum tentu juga. Anyway,intinya ini yang sekarang menjadi alasan saya mengapa saya ingin menjadi psikolog.

Cita-cita tersebut tidak pernah berubah. Saya lulus SMP dan masuk ke SMA yang saya inginkan. Pada saat itu, budaya ke-IPA-an memang dijunjung tinggi, tidak hanya di sekolah tetapi juga di rumah. Kesannya, apabila tidak masuk IPA, maka saya akan jadi second class citizen. Sialnya, jurusan psikologi di Universitas Indonesia adalah jurusan IPS. Nah loh… Sekolah saya pada saat itu memfasilitasi siswa dengan tes minat dan bakat. Hasil tes tersebut digunakan untuk memberikan masukan bagi siswa dalam memilih jurusan. Guess what? Sekolah saya punya 10 kelas reguler dan 9 diantaranya adalah kelas IPA. Tidak aneh jika kemudian saya pun diberi masukan bahwa saya cocok untuk melanjutkan ke jurusan IPA. Waktu itu, saya bertanya kepada beberapa orang mengenai masalah penjurusan ini. Suara yang diberikan sama: pilih saja jurusan IPA, peluangnya lebih terbuka. Pada saat itu, tidak hanya saya yang mengalami dilema (iya, anak SMA zaman saya dilemanya adalah pemilihan jurusan). Banyak yang merasa lebih suka IPS, ingin melanjutkan kuliah di jurusan IPS, dan berbagai alasan lainnya. Sebagian akhirnya dengan berani meminta pindah jurusan, sebagian lainnya seperti saya, memilih jalan aman. Pikiran saya waktu itu, toh bisa belajar lagi nanti.

Dan saya pun salah jurusan.

Memang nilai saya tidak terlalu jelek, tapi tidak terlalu bagus juga. Saya berjuang keras untuk mengerti segala rumus fisika dan kimia, selalu minta teman saya untuk menggambar tiga dimensi di pelajaran seni rupa, dan beberapa kali mengulang ujian karena nilai saya kurang. Saya tidak bangga dengan hal-hal tersebut, tapi apa daya, saya memang tidak bisa. Kalau kata orang-orang yang optimis, tidak ada yang tidak bisa – well, mungkin saya tidak mau. Saya menolak untuk belajar lebih keras lagi. Sepanjang dua tahun terakhir saya di SMA, saya hanya menyukai dua pelajaran, matematika dan bahasa Inggris.The rests were nightmare! Terbayang nggak sih, setiap hari datang ke sekolah dan belajar semua hal yang saya tidak suka, saya tidak tertarik? Yang jelas, saya tidak mau mengulanginya lagi! Not in a lifetime. 

Memasuki kelas 3, saya mulai fokus pada tes masuk perguruan tinggi. Tentu saja, bukan jurusan IPA yang saya ambil pada saat tes, tetapi jurusan IPS. Bahkan IPC (percampuran antara IPA dan IPS) pun tidak saya lirik. Saya banting setir. Saya belajar IPA hanya untuk lulus SMA. Saya tidak peduli berapa nilai saya, yang penting saya lulus. Pada saat itu, memang kriteria penerimaan perguruan tinggi murni hasil tes SPMB (ketauan ya, tuanya saya) jadi, berapa pun nilai saya di SMA tidak akan berpengaruh. Oleh karena itu, saya belajar IPA secukupnya dan belajar IPS sekuat tenaga. Rajin sekali saya saat itu belajar, demi cita-cita menjadi psikolog. Sempat beberapa kali saya tergoda ingin menjadi dokter, atau memilih jurusan teknik industri. Namun, keinginan tersebut luntur oleh kekeraskepalaan saya ingin masuk psikologi UI.

Belajar tidak serius begitu, memang boleh? Untungnya, orang tua saya cukup demokratis dan tidak pernah memaksa saya melakukan sesuatu yang saya tidak suka (bukan berarti saya dimanja, ya). Memang, jurusan psikologi bukan jurusan favorit mereka untuk saya pilih. Ayah saya menyarankan saya untuk memilih jurusan teknik industri. Katanya, mirip-mirip lah ada sisi psikologi-nya. Saya tidak mau. Lalu beliau menyarankan lagi, pilihlah psikologi, tapi fokus pada peminatan industri organisasi (ketebak banget ya, secara beliau pada saat itu manager HRD). Lagi-lagi saya tidak mau. Orang saya mau belajar tentang manusia kok malah disuruh belajar tentang kantor (anggapan saya waktu itu, belum tahu kan, isinya psikologi industri dan organisasi seperti apa – setelah tahu ya tetap tidak mau karena masuk kelas dalam satu semester saja hanya 3 kali – ini jangan dicontoh ya).

Pada akhirnya, seluruh perjuangan (dan kemalasan saya belajar IPA) saya terbayar. Saya diterima di jurusan psikologi di UI. Berkuliah dan meniti cita-cita saya untuk menjadi psikolog. Sekarang sudah jadi psikolog? Belum, dan sepertinya tidak. Ternyata, saya lebih suka dunia pendidikan, bukan dunia klinis. Sudah cantik seperti psikolog wanita yang dulu saya cita-citakan? Kalau kata suami saya sih sudah, but objectively speaking, ngarep lo, Za!

Kembali lagi ke salah jurusan, jadi menyesal? Seperti cerita perjalanan saya, rasanya memori saya tidak akan berwarna apabila saya tidak salah jurusan. Mungkin saya tidak punya pengalaman unik dan menarik kalau saya tidak tersesat. Mungkin saya jadi tidak hafal peta kota Roma kalau saya tidak nyasar2 jam disana. Tentang jurusan SMA saya? Saya sedikit menyesal, tapi mungkin saya tidak akan mendapat nilai bagus di psikologi faal kalau saya bukan anak IPA. Saya beruntung, salah jurusan saya pada saat itu bisa saya perbaiki. Saya bisa kembali ke jalan yang benar sehingga dapat belajar sesuai dengan passion saya. Tapi, kedua salah jurusan yang saya alami punya akibat yang sama: sama-sama membuat saya harus bekerja lebih keras. Nyasar membuat saya harus membaca peta, bertanya kesana kemari, berjalan jauh dan bolak-balik. Salah jurusan saat SMA membuat saya harus belajar dua cabang ilmu, IPA dan IPS. Rasanya otak saya seperti terbelah dua. Lelah!

Intinya, seperti semua hal di dunia, salah jurusan memiliki upside dan downside. Kalau saya boleh sarankan, terutama untuk hal-hal yang besar dalam hidup seperti cita-cita, jangan sampai salah jurusan. Mungkin saya salah satu orang yang beruntung sehingga bisa kembali ke jalan yang benar. Kalau tidak? Mungkin saya akan terjebak melakukan hal yang tidak saya suka seumur hidup saya. Lalu, bagaimana caranya agar tidak salah jurusan?

Sebenarnya kalau melihat track record cita-cita saya, jelas sekali terlihat kemana minat saya. Saya adalah orang yang tertarik pada hal-hal yang sifatnya sosial. Ingin menjadi antropolog, ingin menjadi jurnalis. Semua berhubungan dengan ilmu-ilmu sosial. Kalau saja saat itu saya melakukan refleksi dan mengenal diri saya dengan lebih baik, mungkin saya tidak salah jurusan. Jadi, sebenarnya caranya mudah, kenali diri sendiri! Kita yang paling mengenal diri kita sendiri, kita yang paling mengetahui apa yang kita inginkan.

Selamat berefleksi, selamat kembali ke jalan yang benar!

Jan 19, 2016