Sudah lama sebenarnya ingin menulis ini, tapi entah kenapa selalu tertunda. Tema ini bagi saya sangat menggelitik. Sesuatu yang mungkin tidak kita sadari saat tinggal di tempat yang homogen, tetapi sangat terasa saat berada di lingkungan yang sangat multikultural. Keberagaman alias diversity. Kata yang akhir-akhir ini seringkali di dengar, entah karena zaman yang sudah mengglobal, semakin tipisnya jarak antarbudaya, atau karena paham-paham pluralisme. Meskipun baru populer, bukan berarti keberagaman baru saja terjadi. Oh no! Sejak zaman dahulu pun, manusia sudah tersebar di seluruh muka bumi, berbeda-beda.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْناكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثى وَجَعَلْناكُمْ شُعُوباً وَقَبائِلَ لِتَعارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Qs. al-Hujurat: 13)
Yak! Di Al Quran pun ada loh, ayat yang membahas mengenai keberagaman. Berarti, ini adalah suatu hal yang niscaya, hal yang pasti adanya dan manusia perlu belajar darinya.
Ngapain sih Za, bahas ini? Pertama, saya ter-trigger oleh percakapan-percakapan kecil dengan seorang anak mengenai dirinya yang berbeda dengan teman-temannya. Maklum saja, saya dan banyak orang Indonesia lain yang tinggal di UK ini kan menjadi anak rantau, diaspora, yang tentu berbeda dengan orang-orang asli UK. Namun, yang berbeda bukan hanya kami. UK adalah negara multikultural. Ada banyak sekali ras, agama, budaya, dan warna kulit yang beragam. Jadi, di negara ini, keberagaman adalah suatu hal yang kasat mata. Berbeda tentunya dengan kondisi di Indonesia yang orang-orangnya pun secara fisik tidak jauh berbeda. Istilahnya, di UK kami terpapar keberagaman eksplisit, sedangkan di Indonesia kita terpapar keberagaman implisit. Ya, kan? Secara fisik mirip bukan berarti tidak berbeda.
Lalu, beberapa waktu terakhir ini saat sudah memasuki bulan Ramadan, si anak kecil ini berkomentar ‘ih, kan nggak boleh ya makan siang hari waktu Ramadan. Orang lain kan ada yang puasa? Nanti yang makan ditangkap’. Jiahaha…. Namanya juga anak-anak, kan? Konsep saling menghormati, otoritas moral, dan perbedaan masih jadi suatu hal yang sangat vague. Saya jadi ingat teori mengenai perkembangan moral-nya Kohlberg yang mengatakan bahwa anak-anak (dan banyak juga orang dewasa yang tidak berkembang penalaran moralnya) masih berada di tahap membedakan benar dan salah karena ada otoritas dan peraturan. Segalanya diterjemahkan secara literal sehingga tidak ada proses berpikir lebih dalam. Jadi, wajar toh si anak berkomentar seperti itu? Penalaran sederhana dan berdasarkan pengamatan. Lah? Memangnya di UK ada aturan orang yang makan siang saat orang lain puasa harus ditangkap? No. Mungkin si anak belajar dari perkataan orang dewasa lain? Mungkin juga ia belajar dari pengamatan bahwa di Indonesia, makan dengan terang-terangan pada saat siang hari di bulan Ramadan adalah hal yang tabu dan perlu mendapatkan semacam ‘punishment’. Terbukti kan, tindakan penutupan warung makan secara paksa berakar dari penalaran pendek macam anak-anak, merupakan bentuk ‘punishment’, dan menurut saya, bentuk nyata dari kurangnya kesadaran akan keberagaman. Bahayanya, masyarakat luas, bahkan anak-anak, lalu belajar dari perilaku mereka dan menginternalisasi penalaran pendek.
Saya sangat bersyukur mendapatkan kesempatan untuk hidup di sebuah negara dengan kultur yang berbeda dengan Indonesia. Saya juga bersyukur bisa merasakan hidup di lingkungan multicultural, dimana saya adalah minoritas. Yah, kita tidak akan selamanya jadi kaum mayoritas, kan? Apa rasanya, Za? Rasanya… saya jadi selalu diingatkan untuk terus menerus menyadari adanya keberagaman dan perbedaan dan untuk terus menerus berusahan untuk menghargai orang lain dan bertoleransi. Yang berbeda belum tentu buruk, yang berbeda belum tentu salah. Slogan ‘Don’t judge a book by its cover’ jadi ucapan yang tidak hanya ucapan, tapi berusaha untuk dipraktikkan.
Terbayang nggak, kalau di negeri minoritas Muslim ini orang-orang yang makan di siang hari saat bulan Ramadan ditangkap? Bisa-bisa perekonomian mati dan tinggal segelintir orang yang masuk sekolah, kantor, dan tempat-tempat publik lainnya. Lalu, apakah jadinya terbalik, justru umat Islam yang harus bertoleransi terhadap orang-orang yang tidak berpuasa? Well, toh orang-orang non Muslim disini yang mengetahui bahwa kita berpuasa pun menghargai kok. Setidaknya dengan mengucap ‘Ramadan Kareem’ atau dengan meminta maaf saat harus makan di hadapan kita.
Bagi saya, toleransi adalah two-way interaction. Kalau dulu di Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah umat Islam dan berasal dari ras Melayu, maka bukan berarti hanya yang minoritas yang harus bertoleransi pada yang mayoritas. Saat yang minoritas bertoleransi dengan tidak makan di area umum, maka yang mayoritas pun harus bertoleransi dengan memahami bahwa ada orang yang tidak berpuasa dan harus makan. Ya, nggak? Sama juga seperti saya di sini. Ketika saya bertoleransi dengan mereka yang tidak berpuasa dan harus melihat di depan mata orang-orang tersebut makan dan minum, mereka pun bertoleransi dengan menghargai keputusan saya untuk berpuasa. It goes around.
Mungkin kita semua harus lebih banyak lagi terpapar keberagaman sehingga bisa belajar lebih banyak lagi tentang toleransi. Suatu hal yang saat diukur, mungkin tidak ada titik tertingginya juga. Oleh karena itu, kita, terutama saya, harus lebih banyak lagi berefleksi, menghayati, mengalami, dan mengamati sehingga bisa menjadi orang yang lebih bijak dalam menghadapi perbedaan.
Selamat berpuasa, selamat tidak berpuasa, selamat berlatih bertoleransi.