Beberapa waktu belakangan ini saya rutin membantu seorang teman Indonesia mengantar-jemput anaknya sekolah. Salah satu hal yang saya sadari adalah it’s a common thing to see bapak-bapak dorong stroller berisi anak dibawah 3 tahun tanpa istrinya. Menarik ya? Kadang mereka terlihat pagi-pagi dengan baju kantor rapi. Those yummy daddies. Kadang-kadang, mereka terlihat menjemput anaknya dari sekolah atau di jalan entahlah kemana. Pemandangan ini menjadi semakin biasa di mata saya. Sepertinya, fenomena para lelaki ber-stroller ini juga dipengaruhi oleh meningkatnya kesadaran mengenai peran ayah dalam pengasuhan anak. Indeed, di banyak negara maju, penekanan dan sosialisasi mengenai peran ayah gencar dilakukan melalui berbagai media. Sudah menjadi hal yang umum, para ayah dilibatkan dalam kelas-kelas yang diberikan bagi ibu hamil, diberikan hak cuti pada saat istrinya melahirkan, dan berbagi peran dalam mengurus anak di dalam keluarga. Pergeseran pandangan pun mulai terjadi sehingga tidak ada juga komentar ‘ibunya kemana? Kok anaknya nggak diurus?’ karena ayah juga dianggap memiliki tanggung jawab yang sama dalam mendidik dan mengasuh anak.
How about Indonesia? Sepanjang ingatan dan pengamatan saya, pemandangan lelaki ber-stroller jarang saya temui. Beberapa kali saya melihat bapak-bapak mendorong stroller anak mereka saat berjalan-jalan dengan istri di pusat perbelanjaan atau di tempat rekreasi. Namun, sepertinya sebatas itu saja. Sehari-hari, kegiatan mengasuh anak ada di tangan para istri. Sungguh berbeda dengan keadaan disini, dimana para ayah pun naik-turun bus dan berjalan kaki dengan mendorong-dorong stroller. Rasanya, semua hal tentang mengasuh dan mendidik anak adalah urusan ibu di Indonesia. Entahlah… mungkin juga karena ada anggapan dan beliefs mengenai maskulinitas, bahwa laki-laki memiliki peran tertentu, ada kegiatan-kegiatan yang ‘tabu’ untuk dilakukan oleh laki-laki, sampai ada warna-warna tertentu yang tidak lazim digunakan oleh laki-laki. Keyakinan ini jugalah yang menampar para wanita, para ibu untuk tidak membagi tanggung jawab pengasuhan anak kepada suami mereka. Nanti, apa kata masyarakat? Bisa-bisa saya dianggap sebagai ibu dan istri yang bossy karena suami saya yang bertugas menyuapi anak. Well, ini semua hanya asumsi dari hasil observasi saya. Sungguh, hanya opini pribadi. Bisa saja yang saya lihat salah, bisa saja ternyata banyak sekali suami-suami yang sangat suportif membantu istri mengasuh dan mendidik anak.
I sound like I’m a feminist. Well, I don’t say that men and women are the same. Saya sadar bahwa perempuan dan laki-laki memiliki peran masing-masing. Misalnya, laki-laki adalah kepala keluarga dan perempuan adalah sekolah pertama bagi anak. Pun, hak dan kewajiban suami dan istri masing-masing berbeda. Tapi, bukankah to some extent laki-laki dan perempuan harusnya memiliki kemampuan yang sama, tanggung jawab yang sama, dan harus saling membantu?
Lalu, apa akibatnya apabila tidak ada sosok ayah dalam pengasuhan anak? Disini saya berbicara dari sudut pandang keluarga dengan orang tua lengkap (ayah dan ibu masih hidup, regardless of their status). Saya rasa sebagian besar orang akan setuju bahwa anak belajar sangat banyak melalui contoh. Mereka belajar sangat banyak dengan cara melihat. Keabsenan ayah dalam pengasuhan, perbedaan ‘status’ yang mencolok antara ibu dan ayah, serta mungkin perlakuan yang berbeda kepada anak perempuan dan anak laki-laki, pada akhirnya mengarahkan anak untuk berpikir bahwa laki-laki memiliki derajat yang lebih tinggi dari perempuan, memiliki hak yang lebih dari perempuan. Tidak dapat dipungkiri, budaya patriarki masih sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Then, what’s wrong with that?
Ingatkah kita tentang kasus Yuyun? Seorang remaja wanita yang dilecehkan secara seksual dan kemudian dibunuh. Banyak orang berargumen bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh pengaruh alkohol. Namun, saya sebagai mantan mahasiswa psikologi tahu bahwa hal yang mempengaruhi perilaku seseorang ada banyak sekali. Untuk kasus tersebut, saya juga melihat ada faktor minimnya pendidikan seksualitas dan pengasuhan orang tua, terutama ayah.
I go way back when talking about fatherhood. Entah mengapa, topik ini selalu menggelitik saya. Indeed, penelitian skripsi saya pun membahas mengenai keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Anak-anak yang memiliki kedekatan dengan ayah dan merasakan dididik dan diasuh ayah ternyata terbukti menunjukkan prestasi akademis yang baik. Mereka memiliki hubungan sosial yang baik, percaya diri, dan dapat beradaptasi dengan lingkungan baru dan menerima tantangan. Selain itu, keterlibatan ayah dalam pengasuhan pun berhubungan dengan moralitas yang baik pada anak, seperti dalam hal pengembangan empati dan dorongan untuk menolong orang lain. Khususnya pada anak laki-laki, mereka banyak mencontoh perilaku baik ayah dan memiliki karakter personal yang lebih baik. Berbagai hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa peran laki-laki dalam pengasuhan dan pendidikan anak tidak kecil, tidak seperti yang pada umumnya dipahami oleh masyarakat. Indeed, ayah memiliki peran penting dalam kehidupan anak.
Oleh karena itu, mungkin harus ada lebih banyak laki-laki ber-stroller di Indonesia. Laki-laki yang sadar bahwa perannya bukan sekedar ‘dilayani’ oleh perempuan. Laki-laki yang mengerti bahwa mereka sebaiknya dapat mendampingi istri saat harus mengurus kebutuhan yang berhubungan dengan anak, entah itu memandikan anak atau menghadiri pertemuan orang tua di sekolah. Laki-laki yang sadar bahwa ia juga memiliki peran dalam mendidik dan mengasuh anak. Laki-laki yang tidak sombong sehingga tidak mau ‘merendah’ untuk perempuan just because dia laki-laki. At the end, bukankah semua manusia sama dihadapan Tuhan dan yang membedakan adalah amal ibadah?
Kirim ke magazine aja
LikeLike